MAKNA PENEBUSAN KRISTUS BAGI KELUARGAKU (Matius 20:20-28)
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th. M.
Penebusan Kristus tidak hanya menjadi pondasi kehidupan orang Kristen, tetapi sekaligus sebagai fokus. Seluruh aspek kehidupan kita harus berorientasi pada karya Kristus di kayu salib. Bagaimana kita hidup di tengah keluarga kita juga tidak luput dari prinsip Kristosentris ini.
Walaupun penebusan Kristus berkaitan dengan banyak aspek dalam keluarga, minggu ini kita hanya menyoroti persoalan “kekuasaan”. Salah satu akibat tragis dari kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah perebutan kekuasaan antara suami dan istri. Perempuan akan “berahi” kepada laki-laki, tetapi laki-laki akan menguasai dia (Kej 3:16b).
Terjemahan “berahi” di ayat ini sebenarnya tidak tepat. Kata Ibrani yang digunakan secara hurufiah berarti “mengingini”, tetapi yang diinginkan bukanlah seks. Berdasarkan konteks yang ada (“engkau akan mengingini suamimu tetapi ia akan berkuasa atasmu”) dan penggunaan kata Ibrani yang sama di 4:7, yang diinginan perempuan adalah kekuasaan atas suami. Sejak saat itu perebutan kekuasaan dan dominasi dalam keluarga menjadi hal yang sangat umum ditemui, bahkan dalam keluarga Kristen sekalipun.
Kristus menebus umat pilihan dari semua dosa mereka, termasuk dosa perebutan kekuasaan dalam keluarga. Tidak hanya itu penebusan Kristus juga memberikan teladan yang sempurna bagaimana kita seharusnya berebut melayani orang, bukan menguasai mereka. Kita seharusnya menjadi hamba bagi orang lain, bukan menjadi tuan.
Harapan seorang ibu dan ambisi dua anaknya (20:20-21)
Dalam kisah ini Matius terlihat memberikan perhatian yang cukup besar bagi ibu dari anak-anak Zebedeus. Hal ini terlihat dari beberapa hal. Kalau pada kisah yang sama di Injil Markus anak-anak Zebedeus sendiri yang mengajukan permohonan (bdk. Mar 10:35-36), di sini Matius menyertakan ibu mereka. Di samping itu, semua kata kerja di ayat 20 berbentuk tunggal dan mengarah pada ibu Yakobus dan Yohanes. Dialah yang terlihat mengambil inisiatif dan proaktif dalam permintaan kepada Yesus.
Kita tidak tahu secara pasti mengapa Matius merasa perlu untuk menekankan hal tersebut. Sebagian penafsir menghubungkan hal ini dengan kekerabatan yang ada antara keluarga Zebedeus dan Yesus. Perbandingan antar kitab-kitab Injil memberikan petunjuk bahwa ibu dari anak-anak Zebedeus kemungkinan besar adalah Salome, yang tidak lain merupakan saudara perempuan Maria ibu Yesus (bdk. Mat 27:56; Mar 15:40; Yoh 19:25). Sebagai seorang bibi, ia mungkin berpikir bahwa permohonannya akan lebih dihargai oleh keponakannya. Ia pun tidak segan sujud di hadapan Yesus (ayat 20).
Gambaran di atas sejak awal memberikan sinyal bahwa yang dia inginkan adalah sesuatu yang tidak biasa pula. Dia memohon agar Yesus mengatakan sebuah keputusan penting yaitu supaya dua anaknya diperbolehkan duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam kerajaan Allah. Perkataan Yesus yang dimaksud jelas bukan perkataan biasa, tetapi sebuah deklarasi yang bersifat mengikat dan tidak berubah. Tidak heran beberapa versi Alkitab berusaha mempertegas arti di balik kata tersebut dengan cara menerjemahkan kata itu dengan “memerintahkan” (NASB/RSV), “menganugerahkan” (KJV/NIV) atau “mendeklarasikan” (NRSV).
Ambisi untuk mendapatkan posisi terhormat dalam kerajaan Allah sebelumnya sudah menjadi isu di antara murid-murid Tuhan (18:1-6). Pada kesempatan tersebut Yesus mengajarkan bahwa kebesaran dicapai melalui kerendahhatian (menjadi seperti anak kecil). Dari penjelasan ini terlihat bahwa murid-murid belum memahami arti dan prinsip kerajaan yang sebenarnya. Mereka masih memikirkan kerajaan secara duniawi (politik dan militer). Dalam kaitan dengan kekeliruan ini, mereka tidak heran sangat ambisius terhadap kekuasaan dan kehormatan. Terlepas dari kekeliruan ini, permohonan keluarga Zebedeus mengandung dua hal positif.
Pertama, permohonan tersebut menyiratkan iman mereka yang cukup besar. Mereka meyakini perkataan Yesus sebelumnya di 19:28 tentang tahta kemuliaan Anak Manusia. Bukan hanya meyakini, mereka bahkan tidak mau ketinggalan dalam kemuliaan itu. Karena itulah mereka berusaha memastikan tempat terhormat dengan jalan menggunakan posisi ibu mereka. Jika dilihat dari jumlah pengikut Yesus yang masih sangat sedikit pada waktu itu dan konsep mereka yang keliru tentang kerajaan Allah secara duniawi yang akan mengalahkan kekuasaan bangsa Romawi yang sangat besar, iman keluarga Zebedeus terbilang luar biasa. Bagaimanapun, iman yang besar tidak selalu merupakan iman yang benar. Tidak peduli betapa besar keyakinan kita, kalau yang kita inginkan adalah salah, maka hal itu tidak akan diberikan Tuhan kepada kita (Yak 4:1-3).
Kedua, permohonan mereka secara logika tidak terlalu berlebihan. Yakobus dan Yohanes termasuk murid spesial bagi Yesus. Pada waktu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung, hanya mereka berdua dan Petrus yang diijinkan Tuhan untuk menyaksikan peristiwa luar biasa tersebut (17:1-13). Ketika Yesus bergumul di Getsemani, dia ditemani oleh tiga orang murid yang sama (26:26-27). Ditambah dengan hubungan kekerabatan dengan Yesus, tidak heran mereka merasa bahwa permintaan mereka tidaklah berlebihan. Sayangnya, apa yang sekilas terlihat “masuk akal” ternyata belum tentu sesuai dengan kebenaran Allah.
Kekeliruan dalam permohonan (20:22-28)
Berdoa merupakan disiplin rohani yang mudah sekaligus sulit. Mudah, karena doa pada dasarnya adalah percakapan sehari-hari dengan Allah. Kita tidak perlu menguasai prinsip komunikasi tertentu atau memiliki kefasihan dalam berbicara baru boleh berdoa kepada Allah. Sulit, karena kita seringkali tidak tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita sering salah meminta. Demikian pula dengan keluarga Zebedeus. Walaupun apa yang diminat oleh ibu anak-anak Zebedeus terlihat baik untuk anakanaknya, tetapi ternyata itu sebuah kekeliruan. Dia tidak tahu apa yang dia minta (ayat 22a). Berdasarkan bentuk jamak “kamu tidak tahu” di ayat 22a dapat disimpulkan bahwa anak-anak Zebedeus termasuk dalam kategori orang yang tidak tahu. Mereka tidak memahami beberapa prinsip yang berlaku dalam kerajaan Allah.
Pertama, kerajaan Allah berhubungan dengan penderitaan dan pengorbanan, bukan kehormatan duniawi (ayat 22b). Yesus menantang kerelaan anak-anak Zebedeus untuk meminum cawan yang Ia harus minum. Dalam Alkitab cawan seringkali digunakan sebagai gambaran untuk penderitaan atau hukuman Allah (Mzm 75:8; Yes 51:17, 22; Yer 25:15-16). Dalam doa Yesus di Getsemani cawan merujuk pada penderitaan salib yang Ia akan jalani sebagai pengganti hukuman dosa umat pilihan (26:39; Mar 14:36; Luk 22:42).
Tanpa berpikir panjang, anak-anak Zebedeus meresponi pertanyaan Yesus dengan jawaban “ya, kami dapat”. Jawaban ini jelas tanpa disertai pemahaman yang tepat maupun kesiapan mental mereka. Ketakutan yang melingkupi mereka dan upaya mereka melarikan diri pada waktu Yesus ditangkap di Getsemani (26:56) menunjukkan bahwa mereka belum siap untuk meminum cawan itu. Kesalahan mereka sangat mirip dengan Petrus. Sebelumnya Petrus sudah dihardik Tuhan Yesus gara-gara melarang Yesus pergi ke Yerusalem untuk menderita di sana (16:21-23). Dia tidak sadar bahwa mengikut Yesus berarti penyangkalan diri dan pemikulan salib setiap hari (16:24-28). Tidak ada jalan mudah menuju kerajaan Allah (7:14).
Kedua, kehormatan dalam kerajaan Allah adalah penentuan Bapa (20:23). Jawaban anak-anak Zebedeus tidak disangkal oleh Yesus, walaupun Ia tahu bahwa mereka akan meninggalkan dia di Getsemani. Yesus tampaknya memandang jauh ke depan. Dia tahu bahwa Yakobus akan mati martir di tangan Herodes (Kis 12:1-2). Yohanes pun mengalami penganiayaan dan pembuangan di Pulau Patmos (Why 1:9). Menariknya, walaupun mereka nanti akan meminum cawan, tetapi hal itu tidak menjadikan mereka duduk di sebelah kanan atau kiri Tuhan Yesus. Semua itu menjadi wewenang Bapa sepenuhnya. Jadi, Bapa bukan hanya menentukan waktu (Kis 1:6-7), tetapi juga tingkat kemuliaan masing-masing orang di dalam kerajaan-Nya. Jawaban ini mengajarkan bahwa kemuliaan surgawi bukanlah upah atas pengorbanan seseorang, walaupun kerajaan Allah memang berkaitan dengan pengorbanan dan penderitaan. Kemuliaan dalam kerajaan Allah bukan hasil usaha dan kerja keras manusia. Ini adalah penentuan Bapa.
Ketiga, yang terpenting dalam kerajaan Allah adalah pelayanan, bukan kekuasaan (ayat 24-28). Kemarahan sepuluh murid yang lain (ayat 24) bukan berarti bahwa mereka memahami atau menyetujui ucapan Yesus. Reaksi mereka lebih didorong oleh perasaan iri hati karena kuatir mereka sendiri tidak mendapatkan posisi yang baik dalam kerajaan Allah. Karena itulah Yesus memanggil mereka semua (ayat 25a) dan mengajarkan prinsip lain yang penting (ayat 25b-28).
Kerajaan Allah berbeda dengan kerajaan duniawi. Perbedaan ini bukan hanya terlihat dari dimensi yang berbeda (rohani dan jasmani). Prinsip pemerintahannya pun sangat kontras. Para penguasa dunia menggunakan kuasa yang mereka miliki untuk menindas orang lain (ayat 25b). Dalam teks Yunani terdapat tambahan kata depan “di bawah” yang digabugkan dengan kata kerja “memerintah” maupun “menjalankan kuasa”. Penggabungan ini berfungsi untuk menekankan jurang hirarki atau posisi yang memisahkan para penguasa dan orang-orang yang mereka kuasai.
Pendeknya, para penguasa duniawi cenderung meletakkan diri di atas orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan prinsip pemerintahan dalam kerajaan Allah. Dalam sebuah kalimat yang paralel (sejajar) Yesus mengajarkan bahwa kebesaran atau ketermukaan dicapai melalui peletakan diri di bawah orang lain (ayat 26-27). Orang yang terbesar bukanlah kaisar, raja atau jendral perang. Yang terkemuka justru adalah pelayan atau hamba. Kata “hamba” memiliki arti yang lebih tegas dan rendah daripada pelayan. “Hamba” merujuk pada “budak”.
Dalam konteks kuno waktu itu para budak hanya dianggap sebagai milik tuan mereka. Para budak tidak memiliki hak apapun. Para tuan berhak melakukan apa saja kepada mereka tanpa dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, budak adalah golongan masyarakat yang paling rendah. Mereka hidup hanya untuk melayani tuan mereka. Begitulah halnya dengan prinsip kerajaan Allah. Orang-orang percaya harus berlombalomba untuk menghambakan diri di bawah orang lain, bukan berebut kekuasaan dan kekuatan. Tuhan memberikan kelebihan tertentu kepada kita masing-masing supaya kita bisa lebih efektif melayani orang lain sesuai dengan kelebihan tersebut.
Pekerjaan, bukan penghargaan; pelayanan, bukan jabatan; kerendahhatian, bukan kekuasaan. Tuhan Yesus bukan hanya memberikan teori belaka. Ia menjadikan dirinya sebagai teladan konkrit (ayat 28). Apa yang dilakukan Yesus jelas merupakan bentuk kerendahhatian yang tidak terbayangkan. Sebagai Anak Manusia yang ilahi (Dan 7:13-14) Ia mau meninggalkan kemuliaan-Nya dan menjadi hamba manusia (Flp 2:6-8). Dengan demikian Ia menjadi lebih rendah daripada manusia. Allah yang tidak terbatas mau menjadi manusia yang terbatas saja sudah menjadi hal yang begitu luar biasa. Menjadi hamba manusia jelas jauh lebih rendah daripada itu! Yesus bukan hanya rela melayani (ayat 28a), tetapi Ia juga memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi umat pilihan (ayat 28b).
Berdasarkan perspektif kuno, seorang budak dianggap lebih mulia daripada uang tebusan untuk mereka. Kerelaan seseorang untuk mengeluarkan sejumlah materi demi mendapatkan seorag budak di pasar menunjukkan bahwa bagi orang itu sang budak lebih berharga daripada materi yang ia harus korbankan. Ketika Yesus menjadikan dirinya sebagai tebusan, Ia menjadikan dirinya lebih rendah daripada budak. Ia mengorbankan diri-Nya supaya Ia bisa membebaskan umat pilihan dari perbudakan dosa. Ia bukan mati untuk seorang raja. Ia bukan mati membela kebesaran sebuah kerajaan yang besar. Ia mati untuk menebus sekumpulan budak!
Bagaimana dengan kita? Sudahkah prinsip kerajaan berlaku di dalam keluarga kita? Apakah kita justru sedang asyik berebut kekuasaan dan dominasi? Suami menggunakan kekuatan fisik dan uang untuk menguasai isteri? Isteri tidak mau melayani kebutuhan suami di rumah sebagai bentuk protes terhadap dia? Orang tua menggunakan kekerasan supaya dapat menaklukkan anak-anak? Anak-anak mogok makan atau lari dari rumah supaya bisa menekan orang tua mereka? Seandainya hal ini terjadi dengan keluarga kita saat ini, marilah kita bersamasama bertobat dan mengambil komitmen untuk mempraktikkan prinsip penebusan dan kerajaan Allah di dalam keluarga kita. Ingatlah, dosa membuat kita haus kekuasaan atas orang lain, namun penebusan Kristus memberikan kebebasan dari dosa tersebut. Kristus sudah memberikan teladan sempurna. Kini giliran kita untuk menaati Dia yang sudah menebus dosa kita. Soli Deo Gloria
Penebusan Kristus tidak hanya menjadi pondasi kehidupan orang Kristen, tetapi sekaligus sebagai fokus. Seluruh aspek kehidupan kita harus berorientasi pada karya Kristus di kayu salib. Bagaimana kita hidup di tengah keluarga kita juga tidak luput dari prinsip Kristosentris ini.
Walaupun penebusan Kristus berkaitan dengan banyak aspek dalam keluarga, minggu ini kita hanya menyoroti persoalan “kekuasaan”. Salah satu akibat tragis dari kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah perebutan kekuasaan antara suami dan istri. Perempuan akan “berahi” kepada laki-laki, tetapi laki-laki akan menguasai dia (Kej 3:16b).
Terjemahan “berahi” di ayat ini sebenarnya tidak tepat. Kata Ibrani yang digunakan secara hurufiah berarti “mengingini”, tetapi yang diinginkan bukanlah seks. Berdasarkan konteks yang ada (“engkau akan mengingini suamimu tetapi ia akan berkuasa atasmu”) dan penggunaan kata Ibrani yang sama di 4:7, yang diinginan perempuan adalah kekuasaan atas suami. Sejak saat itu perebutan kekuasaan dan dominasi dalam keluarga menjadi hal yang sangat umum ditemui, bahkan dalam keluarga Kristen sekalipun.
Kristus menebus umat pilihan dari semua dosa mereka, termasuk dosa perebutan kekuasaan dalam keluarga. Tidak hanya itu penebusan Kristus juga memberikan teladan yang sempurna bagaimana kita seharusnya berebut melayani orang, bukan menguasai mereka. Kita seharusnya menjadi hamba bagi orang lain, bukan menjadi tuan.
Harapan seorang ibu dan ambisi dua anaknya (20:20-21)
Dalam kisah ini Matius terlihat memberikan perhatian yang cukup besar bagi ibu dari anak-anak Zebedeus. Hal ini terlihat dari beberapa hal. Kalau pada kisah yang sama di Injil Markus anak-anak Zebedeus sendiri yang mengajukan permohonan (bdk. Mar 10:35-36), di sini Matius menyertakan ibu mereka. Di samping itu, semua kata kerja di ayat 20 berbentuk tunggal dan mengarah pada ibu Yakobus dan Yohanes. Dialah yang terlihat mengambil inisiatif dan proaktif dalam permintaan kepada Yesus.
Kita tidak tahu secara pasti mengapa Matius merasa perlu untuk menekankan hal tersebut. Sebagian penafsir menghubungkan hal ini dengan kekerabatan yang ada antara keluarga Zebedeus dan Yesus. Perbandingan antar kitab-kitab Injil memberikan petunjuk bahwa ibu dari anak-anak Zebedeus kemungkinan besar adalah Salome, yang tidak lain merupakan saudara perempuan Maria ibu Yesus (bdk. Mat 27:56; Mar 15:40; Yoh 19:25). Sebagai seorang bibi, ia mungkin berpikir bahwa permohonannya akan lebih dihargai oleh keponakannya. Ia pun tidak segan sujud di hadapan Yesus (ayat 20).
Gambaran di atas sejak awal memberikan sinyal bahwa yang dia inginkan adalah sesuatu yang tidak biasa pula. Dia memohon agar Yesus mengatakan sebuah keputusan penting yaitu supaya dua anaknya diperbolehkan duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam kerajaan Allah. Perkataan Yesus yang dimaksud jelas bukan perkataan biasa, tetapi sebuah deklarasi yang bersifat mengikat dan tidak berubah. Tidak heran beberapa versi Alkitab berusaha mempertegas arti di balik kata tersebut dengan cara menerjemahkan kata itu dengan “memerintahkan” (NASB/RSV), “menganugerahkan” (KJV/NIV) atau “mendeklarasikan” (NRSV).
Ambisi untuk mendapatkan posisi terhormat dalam kerajaan Allah sebelumnya sudah menjadi isu di antara murid-murid Tuhan (18:1-6). Pada kesempatan tersebut Yesus mengajarkan bahwa kebesaran dicapai melalui kerendahhatian (menjadi seperti anak kecil). Dari penjelasan ini terlihat bahwa murid-murid belum memahami arti dan prinsip kerajaan yang sebenarnya. Mereka masih memikirkan kerajaan secara duniawi (politik dan militer). Dalam kaitan dengan kekeliruan ini, mereka tidak heran sangat ambisius terhadap kekuasaan dan kehormatan. Terlepas dari kekeliruan ini, permohonan keluarga Zebedeus mengandung dua hal positif.
Pertama, permohonan tersebut menyiratkan iman mereka yang cukup besar. Mereka meyakini perkataan Yesus sebelumnya di 19:28 tentang tahta kemuliaan Anak Manusia. Bukan hanya meyakini, mereka bahkan tidak mau ketinggalan dalam kemuliaan itu. Karena itulah mereka berusaha memastikan tempat terhormat dengan jalan menggunakan posisi ibu mereka. Jika dilihat dari jumlah pengikut Yesus yang masih sangat sedikit pada waktu itu dan konsep mereka yang keliru tentang kerajaan Allah secara duniawi yang akan mengalahkan kekuasaan bangsa Romawi yang sangat besar, iman keluarga Zebedeus terbilang luar biasa. Bagaimanapun, iman yang besar tidak selalu merupakan iman yang benar. Tidak peduli betapa besar keyakinan kita, kalau yang kita inginkan adalah salah, maka hal itu tidak akan diberikan Tuhan kepada kita (Yak 4:1-3).
Kedua, permohonan mereka secara logika tidak terlalu berlebihan. Yakobus dan Yohanes termasuk murid spesial bagi Yesus. Pada waktu Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung, hanya mereka berdua dan Petrus yang diijinkan Tuhan untuk menyaksikan peristiwa luar biasa tersebut (17:1-13). Ketika Yesus bergumul di Getsemani, dia ditemani oleh tiga orang murid yang sama (26:26-27). Ditambah dengan hubungan kekerabatan dengan Yesus, tidak heran mereka merasa bahwa permintaan mereka tidaklah berlebihan. Sayangnya, apa yang sekilas terlihat “masuk akal” ternyata belum tentu sesuai dengan kebenaran Allah.
Kekeliruan dalam permohonan (20:22-28)
Berdoa merupakan disiplin rohani yang mudah sekaligus sulit. Mudah, karena doa pada dasarnya adalah percakapan sehari-hari dengan Allah. Kita tidak perlu menguasai prinsip komunikasi tertentu atau memiliki kefasihan dalam berbicara baru boleh berdoa kepada Allah. Sulit, karena kita seringkali tidak tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita sering salah meminta. Demikian pula dengan keluarga Zebedeus. Walaupun apa yang diminat oleh ibu anak-anak Zebedeus terlihat baik untuk anakanaknya, tetapi ternyata itu sebuah kekeliruan. Dia tidak tahu apa yang dia minta (ayat 22a). Berdasarkan bentuk jamak “kamu tidak tahu” di ayat 22a dapat disimpulkan bahwa anak-anak Zebedeus termasuk dalam kategori orang yang tidak tahu. Mereka tidak memahami beberapa prinsip yang berlaku dalam kerajaan Allah.
Pertama, kerajaan Allah berhubungan dengan penderitaan dan pengorbanan, bukan kehormatan duniawi (ayat 22b). Yesus menantang kerelaan anak-anak Zebedeus untuk meminum cawan yang Ia harus minum. Dalam Alkitab cawan seringkali digunakan sebagai gambaran untuk penderitaan atau hukuman Allah (Mzm 75:8; Yes 51:17, 22; Yer 25:15-16). Dalam doa Yesus di Getsemani cawan merujuk pada penderitaan salib yang Ia akan jalani sebagai pengganti hukuman dosa umat pilihan (26:39; Mar 14:36; Luk 22:42).
Tanpa berpikir panjang, anak-anak Zebedeus meresponi pertanyaan Yesus dengan jawaban “ya, kami dapat”. Jawaban ini jelas tanpa disertai pemahaman yang tepat maupun kesiapan mental mereka. Ketakutan yang melingkupi mereka dan upaya mereka melarikan diri pada waktu Yesus ditangkap di Getsemani (26:56) menunjukkan bahwa mereka belum siap untuk meminum cawan itu. Kesalahan mereka sangat mirip dengan Petrus. Sebelumnya Petrus sudah dihardik Tuhan Yesus gara-gara melarang Yesus pergi ke Yerusalem untuk menderita di sana (16:21-23). Dia tidak sadar bahwa mengikut Yesus berarti penyangkalan diri dan pemikulan salib setiap hari (16:24-28). Tidak ada jalan mudah menuju kerajaan Allah (7:14).
Kedua, kehormatan dalam kerajaan Allah adalah penentuan Bapa (20:23). Jawaban anak-anak Zebedeus tidak disangkal oleh Yesus, walaupun Ia tahu bahwa mereka akan meninggalkan dia di Getsemani. Yesus tampaknya memandang jauh ke depan. Dia tahu bahwa Yakobus akan mati martir di tangan Herodes (Kis 12:1-2). Yohanes pun mengalami penganiayaan dan pembuangan di Pulau Patmos (Why 1:9). Menariknya, walaupun mereka nanti akan meminum cawan, tetapi hal itu tidak menjadikan mereka duduk di sebelah kanan atau kiri Tuhan Yesus. Semua itu menjadi wewenang Bapa sepenuhnya. Jadi, Bapa bukan hanya menentukan waktu (Kis 1:6-7), tetapi juga tingkat kemuliaan masing-masing orang di dalam kerajaan-Nya. Jawaban ini mengajarkan bahwa kemuliaan surgawi bukanlah upah atas pengorbanan seseorang, walaupun kerajaan Allah memang berkaitan dengan pengorbanan dan penderitaan. Kemuliaan dalam kerajaan Allah bukan hasil usaha dan kerja keras manusia. Ini adalah penentuan Bapa.
Ketiga, yang terpenting dalam kerajaan Allah adalah pelayanan, bukan kekuasaan (ayat 24-28). Kemarahan sepuluh murid yang lain (ayat 24) bukan berarti bahwa mereka memahami atau menyetujui ucapan Yesus. Reaksi mereka lebih didorong oleh perasaan iri hati karena kuatir mereka sendiri tidak mendapatkan posisi yang baik dalam kerajaan Allah. Karena itulah Yesus memanggil mereka semua (ayat 25a) dan mengajarkan prinsip lain yang penting (ayat 25b-28).
Kerajaan Allah berbeda dengan kerajaan duniawi. Perbedaan ini bukan hanya terlihat dari dimensi yang berbeda (rohani dan jasmani). Prinsip pemerintahannya pun sangat kontras. Para penguasa dunia menggunakan kuasa yang mereka miliki untuk menindas orang lain (ayat 25b). Dalam teks Yunani terdapat tambahan kata depan “di bawah” yang digabugkan dengan kata kerja “memerintah” maupun “menjalankan kuasa”. Penggabungan ini berfungsi untuk menekankan jurang hirarki atau posisi yang memisahkan para penguasa dan orang-orang yang mereka kuasai.
Pendeknya, para penguasa duniawi cenderung meletakkan diri di atas orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan prinsip pemerintahan dalam kerajaan Allah. Dalam sebuah kalimat yang paralel (sejajar) Yesus mengajarkan bahwa kebesaran atau ketermukaan dicapai melalui peletakan diri di bawah orang lain (ayat 26-27). Orang yang terbesar bukanlah kaisar, raja atau jendral perang. Yang terkemuka justru adalah pelayan atau hamba. Kata “hamba” memiliki arti yang lebih tegas dan rendah daripada pelayan. “Hamba” merujuk pada “budak”.
Dalam konteks kuno waktu itu para budak hanya dianggap sebagai milik tuan mereka. Para budak tidak memiliki hak apapun. Para tuan berhak melakukan apa saja kepada mereka tanpa dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, budak adalah golongan masyarakat yang paling rendah. Mereka hidup hanya untuk melayani tuan mereka. Begitulah halnya dengan prinsip kerajaan Allah. Orang-orang percaya harus berlombalomba untuk menghambakan diri di bawah orang lain, bukan berebut kekuasaan dan kekuatan. Tuhan memberikan kelebihan tertentu kepada kita masing-masing supaya kita bisa lebih efektif melayani orang lain sesuai dengan kelebihan tersebut.
Pekerjaan, bukan penghargaan; pelayanan, bukan jabatan; kerendahhatian, bukan kekuasaan. Tuhan Yesus bukan hanya memberikan teori belaka. Ia menjadikan dirinya sebagai teladan konkrit (ayat 28). Apa yang dilakukan Yesus jelas merupakan bentuk kerendahhatian yang tidak terbayangkan. Sebagai Anak Manusia yang ilahi (Dan 7:13-14) Ia mau meninggalkan kemuliaan-Nya dan menjadi hamba manusia (Flp 2:6-8). Dengan demikian Ia menjadi lebih rendah daripada manusia. Allah yang tidak terbatas mau menjadi manusia yang terbatas saja sudah menjadi hal yang begitu luar biasa. Menjadi hamba manusia jelas jauh lebih rendah daripada itu! Yesus bukan hanya rela melayani (ayat 28a), tetapi Ia juga memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi umat pilihan (ayat 28b).
Berdasarkan perspektif kuno, seorang budak dianggap lebih mulia daripada uang tebusan untuk mereka. Kerelaan seseorang untuk mengeluarkan sejumlah materi demi mendapatkan seorag budak di pasar menunjukkan bahwa bagi orang itu sang budak lebih berharga daripada materi yang ia harus korbankan. Ketika Yesus menjadikan dirinya sebagai tebusan, Ia menjadikan dirinya lebih rendah daripada budak. Ia mengorbankan diri-Nya supaya Ia bisa membebaskan umat pilihan dari perbudakan dosa. Ia bukan mati untuk seorang raja. Ia bukan mati membela kebesaran sebuah kerajaan yang besar. Ia mati untuk menebus sekumpulan budak!
Bagaimana dengan kita? Sudahkah prinsip kerajaan berlaku di dalam keluarga kita? Apakah kita justru sedang asyik berebut kekuasaan dan dominasi? Suami menggunakan kekuatan fisik dan uang untuk menguasai isteri? Isteri tidak mau melayani kebutuhan suami di rumah sebagai bentuk protes terhadap dia? Orang tua menggunakan kekerasan supaya dapat menaklukkan anak-anak? Anak-anak mogok makan atau lari dari rumah supaya bisa menekan orang tua mereka? Seandainya hal ini terjadi dengan keluarga kita saat ini, marilah kita bersamasama bertobat dan mengambil komitmen untuk mempraktikkan prinsip penebusan dan kerajaan Allah di dalam keluarga kita. Ingatlah, dosa membuat kita haus kekuasaan atas orang lain, namun penebusan Kristus memberikan kebebasan dari dosa tersebut. Kristus sudah memberikan teladan sempurna. Kini giliran kita untuk menaati Dia yang sudah menebus dosa kita. Soli Deo Gloria