APAKAH IMAN DAN AKAL ITU KONTRAS
Samuel T. Gunawan.
APAKAH IMAN DAN AKAL ITU KONTRAS. Manusia dalam hal-hal tertentu merupakan refleksi dari Allah yang hidup, cerdas dan bermoral.[1] Manusia pada waktu diciptakan dibekali dengan kecerdasan dan hasrat oleh Tuhan. Misalnya, apabila menghadapi suatu peristiwa atau masalah, pada umumnya manusia akan bertanya : “apakah itu, apakah persoalannya, mengapa demikian, bagaimana terjadinya, bagaimana cara mengatasinya, dan lain sebagainya?” Manusia selalu berusaha untuk memperoleh jawaban yang dapat dipegang sebagai “kebenaran yang diyakini”. [2] Hal ini sangat berhubungan dengan apa yang disebut dengan istilah “epistemonologis”, yaitu teori filsafatis tentang pengetahuan yang benar atau cara menemukan kebenaran. Istilah “epistemonologi” ini untuk pertama kalinya dipakai oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Kata epistemonologi berasal dari kata “epistime” yang berarti “pengetahuan” dan “logia” yang berarti “ilmu”. Istilah ini kemudian dipakai dalam filsafat dengan pengertian bahwa epistemonologi adalah cara mencari dan menemukan substansi (hakikat) pengetahuan dan juga cara mencari dan menemukan kebenaran.[3]
BAGAIMANA MANUSIA MENEMUKAN KEBENARAN?
Ada berbagai cara untuk menemukan kebenaran dan menghilangkan keraguan serta ketidaktahuan, antara lain melalui : (1) Wahyu, yaitu kebenaran yang datang dari Tuhan melalui alam semesta, orang-orang yang dipilihnya, dan Kitab Suci. Kekristenan mengakui Kitab Suci sebagai kebenaran mutlak yang diwahyukan. Allah telah mewahyukan diriNya (dan Ia telah melakukannya), dan apabila penyataan tentang hal itu telah secara akurat dinyatakan dalam keenam puluh enam kitab dari kitab suci (dan memang demikian halnya), maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia tentang Allah dan kebenaranNya; (2) Penalaran, yaitu berpikir kritis, rasional dan berdasarkan akal sehat. Manusia banyak memperoleh kebenaran melalui pengalaman (empiris). Kebenaran diungkapkan melalui proses berpikir rasional, kritis dan logis dengan cara deduktif (analitik) dan induktif (sintetik). Cara ini bergantung pada kemampuan berpikir dan jenis-jenis pengalaman yang dimiliki; dan (3) Penyelidikan dan penelitian ilmiah. Disini penyaluran hasrat ingin tahu manusia sampai pada taraf keilmuan. Seseorang baru akan menyimpulkan atau membenarkan sesuatu jika terdapat bukti-bukti yang meyakinkan yang dikumpulkan dengan prosedur yang sistematik dan jelas. [4]
1. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Teologi
Penelitian dalam bidang teologi tidaklah sama dengan bidang sains. Penelitian teologi dalam arti sempit tidak temasuk penelitian ilmiah (penelitian sains dalam pengetian ilmu alam) karena refleksi dengan akal budi dalam teologi menekankan ide-ide diluar kenyataan inderawi. Dalam pengertian itu teologi bukanlah sains karena menangani objek yang supersensible. Walau berbeda, penelitian teologi tidaklah berarti berbeda sama sekali dengan metode penelitian non teologi. Akan tetapi ada masalah jika metode penelitian sains diterapkan secara ketat dalam studi agama.[5]
Lalu, apakah teologi itu dan bagaimana kita menemukan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan melalui studi teologi? Istilah “teologi” berasal dari kata Yunani “theos” artinya “Allah”, dan “logos” artinya “perkataan, uraian, pikiran, ilmu” atau secara harfiah “pernyataan yang rasional”.[6] Charles C. Ryrie secara ringkas mendefinisikan teologi sebagai “suatu interpretasi yang rasional mengenai iman Kristen”.[7] Sementara itu, Millard J. Erickson dalam Christian Theology memberikan suatu definisi yang baik dan komprehensif tentang teologi, yaitu “disiplin yang berjuang untuk memberikan pernyataan koheren dari doktrin-doktrin iman Kristen, terutama berdasarkan pada kitab suci, ditempatkan dalam konteks budaya secara umum, dibahasakan dalam ungkapan yang relevan dengan zaman itu, dan berkaitan dengan isu-isu kehidupan”.[8] Selanjutnya Erickson mengusulkan lima rumusan dalam sebuah definisi teologi yang merupakan ciri-ciri dari penelitian teologi, yaitu : (1) Teologi harus Alkitabiah, menggunakan alat-alat dan metode-metode penelitian biblika (termasuk menggunakan pengetahuan-pengetahuan dari wilayah kebenaran ini); (2) Teologi harus sistematik, yang bahannya diambil dari keseluruhan kitab suci serta mengkorelasikannya satu dengan yang lain; (3) Teologi harus relevan pada budaya dan pengajaran, diambil dari kosmologi, psikologi, dan filsafat sejarah; (4) Teologi harus kontemporer, mengaitkan kebenaran Allah dengan pertanyaan-pertanyaan dan tantangan pada zaman ini; dan (5) Teologi harus praktikal, tidak hanya sekedar mendeklarasikan doktrin objektif, tetapi mengaitkannya pada kehidupan itu sendiri. [9]
Sementara itu, Charles C. Ryrie menyebutkan tiga unsur (ciri) di dalam konsep umum teologi yaitu : (1) Teologi dapat dimengerti, artinya teologi dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang teratur dan rasional; (2) Teologi menuntut adanya penjelasan, dimana selanjutnya melibatkan eksegesis dan sistematisasi; (3) Iman Kristen bersumber pada Alkitab. Dengan demikian teologi Kristen merupakan suatu studi yang berdasarkan Alkitab (biblika).[10] Selanjutnya Ryrie dalam penjelasannya menambahkan bahwa seorang teolog harus berpikir secara teologis. Hal ini melibatkan pemikiran secara : (1) Eksegetik, untuk memahami arti yang tepat; (2) Sistematis, untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama; (3) Kritis, untuk mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan; dan (4) Sintetik, untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran sebagai suatu keseluruhan.[11]
Jadi, penelitian dengan pendekatan teologis, melalui proses yang ketat dengan metode yang Alkitabiah, ekesegetis dan analitis, sintetis, kritis dan evaluatif, sistematis, praktis dan kontekstual, diharapkan seseorang dapat menemukan kebenaran.
2. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Ilmiah
Melalui pendekatan ilmiah orang berusaha untuk menemukan kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan yang benar dan kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya. Pendekatan ilmiah akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam tindakan dalam rangka menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan (sains) itu mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan untuk menghadapi persoalan sehari-hari. Ilmu pengetahuan harus diperoleh melalui metode ilmiah dan tanpa metode ilmiah hanya akan merupakan himpunan pengetahuan saja mengenai berbagai gejala.[12]
Ilmu dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : aspek statis dan aspek dinamis. (1) Dari aspek statis, ilmu merupakan himpunan informasi yang sistematis mengenai prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-hukum. Sedangkan di aspek dinamis, ilmu adalah suatu proses. Teori-teori dan prinsip-prinsip akan menjadi dogma atau ajaran apabila tidak dengan penelitian dan pengembangan.[13]
Ada perbedaan antara cara penelitian ilmiah dan yang tidak ilmiah. Perbedaan itu terletak pada : (1) Objektivitas peneliti. Pendapat atau pertimbangan yang diambil berdasarkan atas fakta, berbeda dengan metode non ilmiah yang hanya berdasarkan asumsi atau praduga; (2) Ketelitian pengukuran. Metode ilmiah berusaha memperoleh ketelitian pengukuran semaksimal mungkin. Hal ini dipenuhi oleh ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan elektronika. Tetapi bisa juga melalui ilmu pengetahuan sosial yang ukurannya menggunakan statistik, atau kuesioner yang pengukurannya berdasarkan skala; (3) Sifat penelitian yang dilakukan terus mnerus dan menuju kesempurnaan. Penelitian ilmiah mempertimbangkan semua fakta yang berkenaan dengan masalah yang bersangkutan; bersifat agresif untuk mencari tambahan bukti guna mendukung atau membenarkan kesimpulan yang ada.
PERLUNYA PENGGUNAAN RASIO DALAM HUBUNGANNYA DENGAN IMAN
Setiap orang Kristen seharusnya berani mengambil sikap tegas menguji segala sesuatu, apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Rasa takut untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu.[14] Karena itu penolakan penggunaan rasio untuk menguji kebenaran bukanlah bentuk spritualitas yang tinggi.
Satu pelajaran penting dalam kitab Amsal yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa kita harus menggunakan pikiran (rasio) kita untuk memahami dan melakukan apapun. Perhatikan ayat-ayat berikut: “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak” (Amsal 1:5-6). “Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian” (Amsal 4:7). “Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan” (Amsal 15:14). Ini berarti bahwa kita perlu melatih pikiran dan mengembangkannya. Sebagai orang Kristen, kita memiliki kesempatan dan keharusan menggunakan pikiran dan penalaran kita untuk melayani Tuhan. Kita perlu mendisiplin pikiran kita seperti halnya para atlit melakukan latihan. Kita harus menjaga pikiran kita dan melatihnya sehingga tetap baik, tajam dan sehat untuk digunakan. Karena itu kita perlu memperhatikan nasihat yang mengatakan “Apakah orang yang mempunyai hikmat menjawab dengan pengetahuan kosong, dan mengisi pikirannya dengan angin?” (Ayub 15:2).
Pemazmur mengingatkan kita “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mamur 90:12). Pada saat seseorang menjadi cukup dewasa untuk menyadari betapa singkatnya hidup ini, maka ia mulai sadar betapa berharganya seandainya ia telah belajar lebih awal untuk menjadi bijaksana dalam kehidupan. Paulus menasihati, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Amsal 5:15-17).
Pertanyaan penting untuk dipertimbangkan adalah “Mengapa kita perlu melatih pikiran dan mengembangkan kapasitas berpikir kita? Apa manfaatnya bagi keyakinan dan kehidupan kita?” Menjawab pertanyaan tersebut, saya memberikan lima alasan untuk penggunaan pikiran kita, yaitu:
1. Kapasitas berpikir kita merupakan bagian dari gambar Allah di dalam diri kita. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Alkitab menyatakan “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1). Tujuan penciptaan untuk kemuliaanNya (Roma 11:36; Kolose 1:16). Saat Tuhan menciptakan, semua yang diciptakannya itu baik dan sempurna (Kejadian 1:12,18,21,25,31). Manusia pun diciptakan oleh Allah.[15] Manusia pada waktu diciptakan sempurna tanpa cacat atau cela sedikitpun dalam seluruh keberadaannya. Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi.[16] Manusia adalah mahluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan kuasa atas seluruh ciptaan kerena Ia adalah “gambar” dan “rupa” Allah (Kejadian 1:26). Tidak heran jika Pemazmur dalam kekagumannya berkata, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub 7:17,18). Kata “gambar” diterjemahkan dari kata Ibrani “tselem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Kata “rupa” dalam bahasa Ibrani adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral.[17] Jadi kita melihat bahwa rasionalitas manusia menggambarkan rasionalitas Pencipta. Penggunaan pikiran atau akal budi kita merupakan tindakan yang memuliakan Allah. Matius 22:37 mencatat, Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Kata Yunani untuk “akal budi” disini adalah “nous” yang berarti “rasio atau pikiran”.
2. Kepercayaan kita, yaitu iman Kristen adalah iman yang dipikirkan. Iman Kristen bukanlah tidak masuk akal. Tidak satupun yang irasional dari kepercayaan yang diwariskan kepada kita. Iman selalu melibatkan unsur-unsur pengetahuan (fakta-fakta), ketaatan (kebenaran) dan tindakan kehendak (percaya). Kita mendengar, memproses, dan merespon Tuhan (firman) dengan menggunakan pikiran kita. Ketika seseorang mengambil keputusan untuk menjadi Kristen, tidaklah berarti ia menjadi tidak logis. Sebagai orang Kristen justru kita seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-sungguh dan bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab.5 Kecerobohan yang disebabkan oleh suatu pemikiran yang tidak logis tidaklah merefleksikan kerohanian, tetapi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kerohanian itu. Justru orang-orang Kristen yang irasional dan tidak logis menyatakan kurangnya rasa kasih kepada Allah, dasar dari segala pemikiran dan kelogisan.[18]
3. Rasio kita adalah sahabat iman kita. Iman dan rasio saling berhubungan, keduanya tidaklah bertentangan dan tidak dapat dipisahkan. Perhatikan contoh berikut dalam Ibrani 11:17-19, “Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu. Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali. Perhatikanlah frase “Karena iman maka Abraham...” dalam ayat 17, dan frase “karena ia berpikir...” dalam ayat 19. Disini kita melihat keselarasan antara iman dan berpikir yang tidak kontradiktif dalam diri Abraham. Pemikiran yang benar tentang Allah, mengantarkan Abraham melakukan tindakan-tindakan iman. Dan kita tahu bahwa Abraham mendapat predikat sebagai “bapa orang beriman” dan “sahabat Allah” (Galatia 3:7,9; Yakobus 2:23). Karena itu, berkaitan dengan iman dan akal ini, saya setuju dengan apa yang dikatakan Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “Akal budi itu berkaitan dengan kebenaran; melaluinya kita dapat mengenal kebenaran: memahaminya, menemukannya, atau membuktikannya. Iman juga berkaitan dengan kebenaran; melaluinya seseorang dapat menemukan kebenaran... iman dan akal itu berperan menjadi jalan menuju kebenaran”.[19]
4. Pikiran kita berperan penting dalam menentukan apa yang benar. Manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan sesuatu yang baik, kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar. Yang harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium. Emosi tidak memiliki muatan dan informasi dimana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini.[20]
Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya. Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan. Orang Kristen harus mengikuti teladan Yesus dan juga rasul Paulus yang menggunakan emosi mereka dengan baik dengan menaruhnya pada tempatnya. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral. Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin kita dalam jalan Allah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).[21] Lukas mencatat, bagaimana pikiran murid-murid yang telah dicerahkan dapat mengerti Kitab Suci, “Ia berkata kepada mereka: ‘Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.’ Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Lukas 24:44-45).
5. Rasio tidak bertentangan dengan Kebenaran sejati. Thomas Aquinas menyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “mustahil kebenaran itu dipertentangkan dengan prinsip-prinsip yang dapat diketahui atau dikenal oleh akal pikiran manusia”.[22] Apabila akal digunakan secara benar, pastilah tidak bertentangan dengan kebenaran. Filsuf Kristen, Arthur F. Holmes menyatakan, “segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan”.[23] Selanjutnya Holmes menyatakan, “Jika Allah adalah Pencipta yang kekal dan yang maha bijaksana dari segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh orang Kristen, maka hikmatNya yang kreatif itu merupakan sumber dan norma semua kebenaran mengenai segala sesuatu. Dan karena Allah dan hikmatNya senantiasa tidak berubah, maka kebenaran itu tidak berubah dan bersifat universal”.[24] Dengan demikian, apabila ada pernyataan kebenaran yang dianggap keliru dan bertentangan dengan akal, sedangkan kita mengetahui bahwa kebenaran itu tidak bertentangan dengan akal, maka hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) pernyataan itu bukan kebenaran; atau (2) pikiran kita yang keliru atau salah memahaminya. Sekali lagi, Arthur F. Holmes menyatakan, “kebenaran itu tidak relatif, tapi absolut, artinya tidak berubah dan universal”.[25] Karena akal tidak bertentangan dengan kebenaran, maka belasan abad yang lalu Augustinus menggunakan kebenaran-kebenaran logika dan matematika seperti A = A atau 2 + 2 = 4 untuk menunjukkan satu Kebenaran universal dan yang tidak berubah, dan menjelaskan bahwa kebenaran-kebenaran yang lebih rendah itu didasarkan kepada Kebenaran yang lebih tinggi, yang ia identifikasikan sebagai Allah.[26]
PENUTUP
Setiap orang Kristen seharusnya berani mengambil sikap tegas menguji segala sesuatu, apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Rasa takut untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu.[27] Karena itu penolakan penggunaan rasio untuk menguji kebenaran bukanlah bentuk spritualitas yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita sebagai orang Kristen untuk terus menerus melatih dan mengembangkan pikiran kita, sehingga menjadi semakin tajam, tepat dan benar. Kita juga perlu untuk memiliki standar penalaran yang tinggi. Dan, logika adalah bagian penting dari suatu penalaran yang tajam. Sebagai contoh, beberapa orang Kristen dengan mudahya mengadopsi satu kepercayaan atau melakukan praktek tertentu tanpa secara seksama mengevaluasi argumen-argumen yang digunakan untuk mendukung kepercayaan atau praktek-praktek tersebut. Kita perlu menerapkan kembali metode orang-orang Berea yang mempelajari Kitab Suci setiap hari untuk mencari tahu apakah yang diajarkan para rasul itu benar (Kisah Para Rasul 17:10-11).[28] Jadi, pada dasarnya kita harus berpikir sebagaimana Allah memberi dan merancangnya bagi kita. Kita perlu berpikir tentang Allah, tentang iman kita, dan tentang hidup kita.
Ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah, mana yang kebenaran dan yang bukan kebenaran, sangat dibutuhkan. Apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Hal ini penting bagi kemurnian iman kita dan supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Rasul Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus... Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala, dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kolose 2:8,18-19). Dengan melakukan pengujian kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal.
Profil : Samuel T. Gunawan, memposisikan diri sebagai teolog Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Bintang Fajar Palangka Raya; mengajar Filsafat dan Apologetika Kharismatik. Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (S.E) dari Universitas Negeri Palangka Raya; S.Th (Christian Education); M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity, Tangerang. Setelah mempelajari Alkitab lebih dari 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu : (1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; (2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan (3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal., 2010. Filsafat Ilmu. Edisi revisi. Penerbit, PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy. Terjemahan, Universal Press Sindicate.
Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Ferguson, Sinclair B, D.F. Wraight & J.I Packer, ed. 2009. New Dictionary of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang.
Frame, John M., 2004. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, jilid 1 & 2. Terjemahan, Pernerbit Literatur SAAT: Malang.
Frame, John M., 2010. Apologetics To The Glory Of God: An Introduction. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Geisler, Norman & David Geisler., 2010. Conversational Evangelism: Bagaimana Mendengaran dan Berbicara Agar Didengarkan. Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta.
Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Hugiono & P.K, Poerwantana., 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta
Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta.
Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung.
Lasiyo & Yuwono., 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Marzuki., 2005. Metodologi Riset: Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan Sosial. Penerbit Ekonisia: Yogyakarta.
Pratt, Richard L, Jr., 1994. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung.
Purwantara, Iswara Rintis., 2012. Prapenginjilan: Menyingkirkan Kendala-Kendala Intelektual Dalam Penginjilan. Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 36.
Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Subagyo, Andreas., 2004. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Kalam Hidup: Bandung.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
[1] Lihat. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, jilid 1. Penerbit Andi: Yogyakarta, hal 245.
[2] Lihat. Marzuki., 2005. Metodologi Riset: Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan Sosial. Penerbit Ekonisia: Yogyakarta, hal 1.
[3] Lihat. Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado, hal. 35-36).
[4] Bandingkan: Marzuki, Metodologi Riset: Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan Sosial, hal 1-4; Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology, jilid 1, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 180-182.
[5] Lihat. Subagyo, Andreas., 2004. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal 45.
[6] Lihat, Charles C. Ryrie, Basic Theology, jili 1, hal 15-16; Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 1, hal 177.
[7] Lihat, Charles C. Ryrie, Basic Theology, jilid 1, hal. 16.
[8] Lihat, Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. hal 27- 30.
[9] Lihat. Ibid
[10] Lihat. Off.cit, hal 15-16
[11] Lihat. Ibid, hal 23.
[12] Lihat. Marzuki, Metodologi Riset: Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan Sosial, hal 4
[13] Lihat. Ibit.
[14] Lihat. Ibid.
[15] Menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah berarti sekaligus juga menyangkal teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia berasal dari bentuk kehidupan yang lebih primitif (sejenis hewan primata) yang mengalami proses evolusi yang sangat panjang serta dipengaruhi oleh faktor mutasi dan seleksi alam. Di dalam Kejadian 1:27, kata “menciptakan” merupakan terjemahan kata kerja Ibrani “bara” yang berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, terkenal dengan frase “creatio ex nihilo”. Kata “bara” ini juga digunakan dalam Kejadian 1:1 dan 1:21.
[16] Saat menyatakan bahwa manusia adalah “mahluk ciptaan yang berpribadi”, disatu sisi hal ini menekankan bahwa manusia sebagai ciptaan bergantung kepada Allah bagi keberlagsungan hidup mereka dan disisi lain menyatakan kemandirian manusia yang relatif dalam pengertian bahwa manusia mampu membuat keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri. (Hoekema, Anthony A., Created in God’s Image. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta., hal, 7-14).
[17] Lihat. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, jilid 1, hal 245.
[18] Lihat. Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Ter, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal 36-38.
[19] Lihat. Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 47
[20] Lihat. off.cit, hal 39-42.
[21] Lihat. Ibit.
[22] Lihat. Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., Pedoman Apologetika Kristen, hal. 47.
[23] Lihat. Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth,, hal. 20.
[24] Lihat. Ibit.
[25] Lihat. Ibit, hal. 59-60.
[26] Penjelasan tentang kebenaran menurut pandangan Alkitab, lihat: Groothuis, Douglas., Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme, hal. 48-71. Douglas Grootus mempopulerkan pernyataan Arthur F. Holmes bahwa, “segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan” dan bahwa “kebenaran itu absolut, tidak berubah, dan universal”.
[27] Lihat. Ibid.
[28] Lihat. Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy. Terjemahan, Universal Press Sindicate, hal. 4.