Eksposisi 2 Raja-Raja 4:1-7
PDT. BUDI ASALI, M. DIV.
Eksposisi 2 Raja-Raja 4:1-7. 2 Raja-Raja 4:1-7 - “(1) Salah seorang dari isteri-isteri para nabi mengadukan halnya kepada Elisa, sambil berseru: ‘Hambamu, suamiku, sudah mati dan engkau ini tahu, bahwa hambamu itu takut akan TUHAN. Tetapi sekarang, penagih hutang sudah datang untuk mengambil kedua orang anakku menjadi budaknya.’ (2) Jawab Elisa kepadanya: ‘Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah.’ Berkatalah perempuan itu: ‘Hambamu ini tidak punya sesuatu apapun di rumah, kecuali sebuah buli-buli berisi minyak.’ (3) Lalu berkatalah Elisa: ‘Pergilah, mintalah bejana-bejana dari luar, dari pada segala tetanggamu, bejana-bejana kosong, tetapi jangan terlalu sedikit. (4) Kemudian masuklah, tutuplah pintu sesudah engkau dan anak-anakmu masuk, lalu tuanglah minyak itu ke dalam segala bejana. Mana yang penuh, angkatlah!’ (5) Pergilah perempuan itu dari padanya; ditutupnyalah pintu sesudah ia dan anak-anaknya masuk; dan anak-anaknya mendekatkan bejana-bejana kepadanya, sedang ia terus menuang. (6) Ketika bejana-bejana itu sudah penuh, berkatalah perempuan itu kepada anaknya: ‘Dekatkanlah kepadaku sebuah bejana lagi,’ tetapi jawabnya kepada ibunya: ‘Tidak ada lagi bejana.’ Lalu berhentilah minyak itu mengalir. (7) Kemudian pergilah perempuan itu memberitahukann ya kepada abdi Allah, dan orang ini berkata: ‘Pergilah, juallah minyak itu, bayarlah hutangmu, dan hiduplah dari lebihnya, engkau serta anak-anakmu.’”.
I) Problem hutang.
1) 2 Raja-Raja 4:1 menunjukkan keluarga orang percaya yang terlibat hutang.
Ay 1: “Salah seorang dari isteri-isteri para nabi mengadukan halnya kepada Elisa, sambil berseru: ‘Hambamu, suamiku, sudah mati dan engkau ini tahu, bahwa hambamu itu takut akan TUHAN. Tetapi sekarang, penagih hutang sudah datang untuk mengambil kedua orang anakku menjadi budaknya.’”.
Berkenaan dengan ini saya akan membahas pertanyaan: Bolehkah orang kristen berhutang?
Dalam Roma 13:8 dikatakan: “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.”.
Catatan: ada banyak penafsir yang menganggap kata-kata yang saya garis-bawahi dari Roma 13:8 ini tak melarang hutang. Kontextnya bukan bicara soal uang, tetapi tentang kewajiban kepada negara dan sebagainya. Tetapi ada banyak juga yang beranggapan, ini berurusan dengan uang. Saya setuju dengan tafsiran Albert Barnes, yang nanti akan saya berikan di bawah.
Perhatikan beberapa tafsiran tentang ayat ini di bawah ini:
a) Pulpit Commentary: “The command, ‘Owe no man anything,’ if obeyed, would hinder many a bankruptcy and prevent many a business scandal.” [= Perintah ‘janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga’, jika ditaati, akan menghindarkan banyak kebangkrutan dan mencegah banyak skandal bisnis.] - ‘The Epistle of Paul to the Romans’, hal 401.
b) William Hendriksen: “‘Owe no man anything ...’ This rendering would create the impression that Paul calls all borrowing wrong, a position that is clearly contrary to Scripture. See Exod. 22:25; Ps. 37:26; Matt. 5:42; Luke 6:35. ... ‘Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another ... ,’ ... I can find no fault whatever with this excellent rendering. It is completely true to the original. ... this is a condemnation of the practice of some, who are ever ready to borrow but very slow to repay the borrowed sum. In this connection see Ps. 37:21, ‘The wicked person borrows but does not repay ...’” [= ‘Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga ...’. Terjemahan ini menciptakan kesan bahwa Paulus menyebut semua peminjaman salah, suatu posisi yang jelas bertentangan dengan Kitab Suci. Lihat Kel 22:25; Mazmur 37:26; Matius 5:42; Lukas 6:35. ... ‘Jangan biarkan ada hutang yang tetap tidak diselesaikan, kecuali hutang yang terus menerus untuk saling mengasihi ...’, ... Saya tidak bisa mendapatkan kesalahan apapun dalam terjemahan yang sangat baik ini. Ini sepenuhnya sesuai dengan bahasa aslinya. ... ini merupakan kecaman terhadap praktek dari beberapa orang, yang selalu siap untuk meminjam tetapi lambat dalam mengembalikan pinjaman itu. Sehubungan dengan ini lihat Mazmur 37:21: ‘Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali ...’] - ‘Romans’, hal 438-439.
Jadi Hendriksen menganggap orang kristen boleh meminjam, asal membayarnya tenpa berlambat-lamba t.
c) John Murray: “In accord with the analogy of Scripture this cannot be taken to mean that we may never incur financial obligations, that we may not borrow from others in case of need (cf. Exod. 22:25; Psalm 37:26; Matt. 5:42; Luke 6:35). But it does condemn the looseness with which we contract debts and particularly the indifference so often displayed in the discharging of them. ‘The wicked borroweth, and payeth not again’ (Psalm 37:21). Few things bring greater reproach upon the Christian profession than the accumulation of debts and refusal to pay them.” [= Sesuai dengan analogi Kitab Suci ini tidak bisa diartikan bahwa kita tidak pernah boleh mengadakan kewajiban keuangan, bahwa kita tidak boleh meminjam dari orang lain pada saat membutuhkan (bdk. Kel 22:25; Maz 37:26; Mat 5:42; Luk 6:35). Tetapi itu memang mengecam orang yang terlalu gampang berhutang dan khususnya sikap acuh tak acuh yang begitu sering ditunjukkan dalam pembayaran hutang itu. ‘Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali ...’ (Maz 37:21). Hanya sedikit hal yang menyebabkan celaan lebih besar pada kekristenan dari pada penumpukan hutang dan penolakan pembayarannya.] - ‘The Epistle to the Romans’ (NICNT), hal 158-159.
Jadi, sama dengan Hendriksen, Murray juga berpendapat bahwa orang kristen boleh berhutang. Tetapi ia menyalahkan orang yang terlalu gampang berhutang, dan orang yang berhutang tetapi lalai dalam membayarnya.
Sekarang mari kita perhatikan apakah ayat-ayat yang digunakan oleh William Hendriksen maupun John Murray di atas itu betul-betul bertentangan dengan pandangan bahwa hutang itu sama sekali dilarang.
1. Keluaran 22:25 - “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatKu, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.”.
2. Mazmur 37:25-26 - “(25) Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; (26) tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat.”.
3. Matius 5:42 - “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”.
4. Lukas 6:35 - “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”.
1. Keluaran 22:25 - “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatKu, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.”.
2. Mazmur 37:25-26 - “(25) Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; (26) tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat.”.
3. Matius 5:42 - “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”.
4. Lukas 6:35 - “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”.
Saya sendiri tidak melihat bahwa ayat-ayat ini bertentangan dengan pandangan yang melarang orang untuk berhutang. Ayat-ayat ini menyuruh untuk mau meminjamkan uang sebagai tanda kasih, memberikan peraturan dalam meminjamkan (untuk ‘saudara’ yang miskin tidak boleh pakai bunga), tetapi sama sekali tidak memberi ijin untuk berhutang.
Bandingkan ini dengan:
Bandingkan ini dengan:
a. Adanya hukum yang mengatur perceraian (Ul 24:1-4), atau hukum yang mengatur orang yang beristri dua (Ul 21:15-17) dsb, yang jelas bukan merupakan ijin untuk bercerai ataupun beristri dua.
Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.”.
Ulangan 21:15-17 - “(15) ‘Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai, (16) maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung. (17) Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan.’”.
Sebaliknya Tuhan melarang perceraian maupun istri dua, tetapi karena Ia tahu bahwa hal itu toh akan terjadi, maka Ia memberikan peraturan yang harus digunakan pada waktu hal-hal seperti itu terjadi.
b. Lukas 6:30 - “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.”.
Ini tentu tak bisa diartikan bahwa orang kristen boleh meminta / mengambil barang orang lain. Demikian juga kalau orang kristen disuruh meminjami sebagai tanda kasih, itu tak berarti bahwa orang kristen boleh meminjam.
Ini tentu tak bisa diartikan bahwa orang kristen boleh meminta / mengambil barang orang lain. Demikian juga kalau orang kristen disuruh meminjami sebagai tanda kasih, itu tak berarti bahwa orang kristen boleh meminjam.
Jadi, saya berpendapat bahwa Roma 13:8 bisa dipakai sebagai dasar untuk melarang orang kristen berhutang.
Matthew Henry (tentang Ro 13:8): “Many that are very sensible of the trouble think little of the sin of being in debt.” [= Banyak orang yang sangat bagus penilaiannya tentang problem / kesukaran, berpikir sedikit tentang dosa dari hutang.].
Barnes’ Notes (tentang Ro 13:8): “‘Owe no man anything.’ ... In the previous verse the apostle had been discoursing of the duty which we owe to magistrates. He had particularly enjoined on Christians to pay to ‘them’ their just dues. From this command to discharge fully this obligation, the transition was natural to the subject of debts ‘in general,’ and to an injunction not to be indebted to ‘any one.’” [= ‘Jangan berhutang apapun kepada siapapun’. ... Dalam ayat sebelumnya sang rasul telah berbicara tentang kewajiban untuk mana kita berhutang kepada pejabat-pejabat . Ia secara khusus telah menyuruh orang-orang Kristen untuk membayar ‘mereka’ apa yang layak mereka dapatkan. Dari perintah untuk melaksanakan sepenuhnya kewajiban ini, transisinya kepada pokok tentang hutang secara umum adalah wajar, dan pada suatu perintah untuk tidak berhutang kepada siapapun.].
Pandangan atau penafsiran ini tidak bertentangan dengan ayat manapun. Mengapa Tuhan melarang orang kristen berhutang? Menurut saya, karena itu dianggap sebagai sesuatu yang memalukan Tuhan / Bapa kita. Apakah Tuhan / Bapa kita, yang katanya adalah pencipta dan penguasa seluruh langit dan bumi beserta segala isinya, tidak sanggup mencukupi kebutuhan kita, sehingga kita harus berhutang?
Ada hutang yang tidak memalukan, dan menurut saya ini boleh dilakukan. Misalnya:
a. Mengambil kredit dari bank untuk bekerja, atau kredit mobil / rumah. Ini dilakukan bukan oleh orang yang hidupnya kekurangan, dan karena itu saya menganggap ini tidak memalukan Tuhan dan boleh dilakukan. Tetapi ini tetap tidak boleh dilakukan tanpa perhitungan yang teliti tentang apakah ia memang bisa membayar kembali hutang itu atau tidak. Memang dalam perhitungan yang bagaimanapun selalu ada resiko. Krismon beberapa waktu yang lalu sudah menunjukkan apa yang bisa terjadi dengan orang yang berhutang, apalagi dalam dolar.
b. Pada waktu pergi dengan teman, saudara tidak membawa uang (tetapi punya uang di rumah), dan saudara lalu meminjam kepada teman itu, dan lalu dibayar di rumah atau beberapa hari setelahnya. Ini lagi-lagi tidak menunjukkan saudara kekurangan, dan karenanya tidak memalukan Tuhan.
Tetapi ‘tutup lubang gali lubang’ atau ‘berhutang setiap pertengahan bulan dan membayarnya pada awal bulan’, merupakan hal yang memalukan Tuhan. Lebih-lebih berhutang lalu tidak membayarnya kembali! Kalau saudara sering melakukan hal ini, bertobatlah!
Sebagai tambahan dalam persoalan ini, ada beberapa ayat dalam Kitab Suci yang menunjukkan bahwa kalau seseorang hidup benar, maka ia sebetulnya tidak perlu berhutang, karena Tuhan pasti mencukupi kebutuhan hidupnya (Ulangan 28:12 Ul 15:6 Maz 37:25-26 Mat 6:33).
Dalam Ul 28, salah satu janji berkat kalau Israel taat adalah: “Tuhan akan membuka bagimu perbendaharaanN ya yang melimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala pekerjaanmu, sehingga engkau memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak meminta pinjaman.” (Ul 28:12).
Ul 15:5-6 - “(5) asal saja engkau mendengarkan baik-baik suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segenap perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini. (6) Apabila TUHAN, Allahmu, memberkati engkau, seperti yang dijanjikanNya kepadamu, maka engkau akan memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak akan meminta pinjaman; engkau akan menguasai banyak bangsa, tetapi mereka tidak akan menguasai engkau.”.
Dalam tafsirannya tentang Ul 15:6 ini Calvin berkata: “whence it follows, that if there were any in want among them, it would arise from the wickedness and depravity of the people themselves.” [= akibatnya / konsekwensinya adalah bahwa jika ada siapapun kekurangan di antara mereka, itu ditimbulkan dari kejahatan dan kebejatan dari bangsa itu sendiri.] - hal 157.
Maz 37:25-26 - “(25) Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; (26) tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat.”.
Kata-kata yang menunjukkan bahwa ‘orang Kristen akan / harus memberi pinjaman’ dalam Ul 15:6 Ul 28:12 Maz 37:26 dan juga dalam Mat 5:42, sering dianggap sebagai bukti bahwa Alkitab tidak melarang untuk berhutang.
Mat 5:42 - “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”.
Ada 2 hal yang harus kita pikirkan berkenaan dengan ayat-ayat seperti ini:
a. Kita tetap harus berhati-hati dalam memberi pinjaman, untuk menghindari penipuan yang begitu banyak terjadi. Jadi Mat 5:42 tentu tak bisa dimutlakkan!
b. Bahwa dikatakan kita akan / harus memberi pinjaman, itu tidak berarti bahwa kita sendiri boleh meminjam / berhutang. Ini menurut saya merupakan 2 hal yang sangat berbeda.
a. Kita tetap harus berhati-hati dalam memberi pinjaman, untuk menghindari penipuan yang begitu banyak terjadi. Jadi Mat 5:42 tentu tak bisa dimutlakkan!
b. Bahwa dikatakan kita akan / harus memberi pinjaman, itu tidak berarti bahwa kita sendiri boleh meminjam / berhutang. Ini menurut saya merupakan 2 hal yang sangat berbeda.
Mat 6:33 - “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”.
Jadi, kalau seseorang terpaksa berhutang untuk kebutuhan hidupnya, maka itu berarti ada sesuatu yang salah dalam hidupnya. Apakah ini termasuk ‘menghakimi’ orang yang menderita / miskin? Apa bedanya dengan mengatakan seseorang berdosa kalau ia sakit? Bedanya adalah dalam hal ini ada janji Tuhan. Dalam hal sakit tidak ada janji Tuhan yang menjamin bahwa kita tidak akan sakit.
2) Ay 1 ini menunjukkan bahwa hutang menyebabkan problem bagi keluarga ini.
Ay 1: “Salah seorang dari isteri-isteri para nabi mengadukan halnya kepada Elisa, sambil berseru: ‘Hambamu, suamiku, sudah mati dan engkau ini tahu, bahwa hambamu itu takut akan TUHAN. Tetapi sekarang, penagih hutang sudah datang untuk mengambil kedua orang anakku menjadi budaknya.’”.
Ay 1: “Salah seorang dari isteri-isteri para nabi mengadukan halnya kepada Elisa, sambil berseru: ‘Hambamu, suamiku, sudah mati dan engkau ini tahu, bahwa hambamu itu takut akan TUHAN. Tetapi sekarang, penagih hutang sudah datang untuk mengambil kedua orang anakku menjadi budaknya.’”.
Pulpit Commentary: “This incident, and there are many like it happening every day, shows us the folly and danger of getting into debt. One of the worst features of it is that so often the innocent - the wife or children who perhaps know nothing at all of the debt - have to suffer for the folly or the dishonesty of others. We need to have a more awakened conscience on this subject of using money which really is not our own.” [= Peristiwa ini, dan ada banyak peristiwa lain seperti ini terjadi setiap hari, menunjukkan kepada kita kebodohan dan bahaya dari hutang. Satu segi terburuk darinya adalah begitu sering orang yang tak bersalah - istri atau anak-anak yang mungkin sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hutang itu - harus menderita untuk kebodohan atau ketidakjujuran dari orang-orang lain. Kita harus memiliki hati nurani yang lebih peka dalam persoalan penggunaan uang yang sebetulnya bukan milik kita ini.] - hal 73.
Catatan: Kadang-kadang yang hutang adalah istri atau anak, dan suami / ayah yang harus membayar.
3) Ay 1 ini juga menunjukkan bahwa keluarga nabi ini berantakan keuangannya, setelah sang nabi mati.
Gereja harus memikirkan hal ini, supaya tidak menimpa keluarga pendeta pada saat pendetanya mati.
Gereja harus memikirkan hal ini, supaya tidak menimpa keluarga pendeta pada saat pendetanya mati.
Pulpit Commentary: “provision should be made for the widows of ministers. The incomes of very many ministers in England to-day are not sufficient to enable them to make provision for their wives and children in case of their death. Churches which have committees for sending out missionaries, for distributing Bibles (which are cheap enough now), and for distributing tracts, ... ought certainly to see that provision is made for the future of their ministers’ families.” [= harus dibuat persediaan untuk janda-janda dari pendeta-pendeta . Penghasilan dari sangat banyak pendeta di Inggris saat ini tidak cukup untuk memungkinkan mereka membuat persediaan untuk istri dan anak-anak mereka jika mereka mati. Gereja-gereja yang mempunyai panitia-panitia untuk mengirimkan misionaris, untuk membagikan Alkitab (yang cukup murah sekarang ini), dan untuk membagikan traktat, ... jelas harus mengusahakan supaya persediaan dibuat untuk masa depan dari keluarga pendeta mereka.] - hal 80.
Catatan: Perlu diingat bahwa pendeta mendapat ‘biaya hidup’, sehingga tidak memungkinkan mereka menabung! Tentu saja saya tidak berbicara tentang pendeta-pendeta mewah jaman sekarang ini.
4) Kekejaman penagih hutang (ay 1).
Diperkirakan nabi itu terlibat hutang pada saat masih hidup. Pada saat ia mati, keluarganya yang ditagih. Karena tidak bisa membayar, maka kedua anaknya akan diambil untuk dijadikan budak.
Pada saat itu sering terjadi peristiwa dimana orang tua terpaksa menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutangnya. Ini menyebabkan munculnya ayat-ayat seperti:
Diperkirakan nabi itu terlibat hutang pada saat masih hidup. Pada saat ia mati, keluarganya yang ditagih. Karena tidak bisa membayar, maka kedua anaknya akan diambil untuk dijadikan budak.
Pada saat itu sering terjadi peristiwa dimana orang tua terpaksa menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutangnya. Ini menyebabkan munculnya ayat-ayat seperti:
a) Yes 50:1b - “Atau kepada siapakah di antara penagih hutangKu Aku pernah menjual engkau?”. Maksud ayat ini adalah untuk menunjukkan kasih Tuhan, yang tidak pernah ‘menjual anakNya’ kepada penagih hutang.
b) Mat 18:25 - “Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak istrinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.”.
Apakah memperbudak anak sebagai pembayaran hutang diijinkan oleh hukum Musa? Dalam persoalan ini saya tidak mengerti mengapa hampir semua penafsir mengatakan bahwa hukum Musa mengijinkan hal ini, berdasarkan Im 25:39-43. Saya berpendapat bahwa Im 25:39-43 itu justru melarang memperbudak orang dalam keadaan seperti ini!
Im 25:39-43 - “(39) Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. (40) Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. (41) Kemudian ia harus diizinkan keluar dari padamu, ia bersama-sama anak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek moyangnya. (42) Karena mereka itu hamba-hambaKu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, janganlah mereka itu dijual, secara orang menjual budak. (43) Janganlah engkau memerintah dia dengan kejam, melainkan engkau harus takut akan Allahmu.”.
Orang-orang itu memang diharuskan bekerja kepada orang kepada siapa mereka berhutang, tetapi bukan sebagai budak. Dan lalu mereka harus dibebaskan pada tahun Yobel.
Tetapi penagih hutang dalam 2Raja 4:1 ini kelihatannya tidak mempedulikan hukum Musa di atas, dan ia ingin mengambil kedua anak janda itu untuk betul-betul dijadikan budak. Andaikata ia melakukan ini terhadap keluarga biasa itu sudah sangat jahat, lebih-lebih lagi karena ia melakukan hal ini terhadap keluarga nabi yang semasa hidupnya takut kepada Tuhan. Tetapi ini tidak mengherankan, karena pada jaman penyembahan berhala seperti itu, siapa yang mau mempedulikan hukum Musa atau nabi yang takut kepada Yahweh?
Penerapan: kalau ada orang berhutang kepada saudara, memang saudara boleh menagihnya, tetapi janganlah menagihnya secara tak berperasaan. Kita mesti melihat bagaimana keadaan keuangan orang itu.
5) Janda ini datang kepada Elisa dan menceritakan persoalannya (ay 1).
Sesuatu yang baik dari janda itu adalah bahwa ia bukannya pergi kepada orang kaya untuk minta pinjaman. Ini nanti menjadi ‘tutup lubang gali lubang’, dan jelas tidak menyelesaikan persoalan. Ia pergi kepada Elisa / Tuhan.
Sesuatu yang baik dari janda itu adalah bahwa ia bukannya pergi kepada orang kaya untuk minta pinjaman. Ini nanti menjadi ‘tutup lubang gali lubang’, dan jelas tidak menyelesaikan persoalan. Ia pergi kepada Elisa / Tuhan.
Sesuatu yang salah dari keluarga ini adalah: seharusnya dari dulu mereka sudah datang kepada Tuhan / Elisa, yaitu pada waktu mereka mau berhutang.
Memang banyak orang pada waktu mendapat problem, berusaha menangani sendiri problemnya. Setelah semua jadi kacau, barulah ia membawa problem itu kepada Tuhan. Marilah kita belajar untuk membawa problem kita sedini mungkin kepada Tuhan.
Memang banyak orang pada waktu mendapat problem, berusaha menangani sendiri problemnya. Setelah semua jadi kacau, barulah ia membawa problem itu kepada Tuhan. Marilah kita belajar untuk membawa problem kita sedini mungkin kepada Tuhan.
II) Mujijat Elisa.
1) Ada alasan yang kuat bagi Elisa untuk menolong janda ini:
a) Ia adalah seorang janda dan hukum Musa mengharuskan memperhatikan janda dan anak yatim (Kel 22:22-24 Ul 14:29 24:17,19 26:12 27:19).
b) Dulu suaminya adalah seorang nabi yang takut kepada Tuhan (ay 1b).
2) Setelah mengetahui bahwa janda itu mempunyai sedikit minyak (ada yang mengatakan bahwa minyak di sini adalah minyak yang digunakan untuk melakukan pengurapan), maka Elisa menyuruh janda itu untuk meminta kepada tetangga-tetang ganya banyak bejana-bejana yang kosong. Lalu Elisa menyuruh menutup pintu dan menuangkan minyak dalam buli-buli itu untuk mengisi bejana-bejana kosong itu (ay 2-4).
2 Raja-Raja 4: 2-4: “(2) Jawab Elisa kepadanya: ‘Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah.’ Berkatalah perempuan itu: ‘Hambamu ini tidak punya sesuatu apapun di rumah, kecuali sebuah buli-buli berisi minyak.’ (3) Lalu berkatalah Elisa: ‘Pergilah, mintalah bejana-bejana dari luar, dari pada segala tetanggamu, bejana-bejana kosong, tetapi jangan terlalu sedikit. (4) Kemudian masuklah, tutuplah pintu sesudah engkau dan anak-anakmu masuk, lalu tuanglah minyak itu ke dalam segala bejana. Mana yang penuh, angkatlah!’”.
3) Maunya janda itu untuk menuruti perintah Elisa yang sebetulnya tidak masuk akal ini (ay 5), menunjukkan imannya.
2 Raja-Raja 4: 5: “Pergilah perempuan itu dari padanya; ditutupnyalah pintu sesudah ia dan anak-anaknya masuk; dan anak-anaknya mendekatkan bejana-bejana kepadanya, sedang ia terus menuang.”.
4) Terjadi suatu mujijat, dimana minyak dalam buli-buli itu terus mengalir sehingga memenuhi semua bejana yang ada (ay 5-6). Setelah semua bejana penuh, barulah minyak itu berhenti mengalir (ay 6b).
2 Raja-Raja 4:5-6: “(5) Pergilah perempuan itu dari padanya; ditutupnyalah pintu sesudah ia dan anak-anaknya masuk; dan anak-anaknya mendekatkan bejana-bejana kepadanya, sedang ia terus menuang. (6) Ketika bejana-bejana itu sudah penuh, berkatalah perempuan itu kepada anaknya: ‘Dekatkanlah kepadaku sebuah bejana lagi,’ tetapi jawabnya kepada ibunya: ‘Tidak ada lagi bejana.’ Lalu berhentilah minyak itu mengalir.”.
Adam Clarke: “This is a good emblem of the grace of God. While there is an empty, longing heart, there is a continual overflowing fountain of salvation. If we find in any place or at any time that the oil ceases to flow, it is because there are no empty vessels there, no souls hungering and thirsting for righteousness.” [= Ini merupakan lambang yang bagus dari kasih karunia Allah. Sementara di sana ada hati yang merindukan dan kosong, maka di sana ada aliran mata air keselamatan yang terus menerus. Jika kita mendapatkan di sembarang tempat atau di sembarang waktu bahwa minyak itu berhenti mengalir, itu disebabkan karena tidak ada lagi tempat kosong di sana, tidak ada jiwa yang lapar dan haus akan kebenaran.] - hal 491.
Sekalipun ajarannya bagus, tetapi ini pengalegorian yang salah, karena cerita sejarah tak boleh dilambangkan / dialegorikan.
5) Elisa lalu menyuruh janda itu menjual minyak itu untuk membayar hutangnya dan membiayai kehidupan mereka (ay 7).
2 Raja-Raja 4:7: “Kemudian pergilah perempuan itu memberitahukann ya kepada abdi Allah, dan orang ini berkata: ‘Pergilah, juallah minyak itu, bayarlah hutangmu, dan hiduplah dari lebihnya, engkau serta anak-anakmu.’”.
Dengan demikian kehidupan keluarga nabi yang takut akan Tuhan ini tercukupi. Ini sesuai dengan Maz 37:25 yang berbunyi: “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti;”.
Penutup / kesimpulan.
Kalau saudara mempunyai problem / kebutuhan, khususnya problem / kebutuhan keuangan, jangan menguatirkannya. Bawalah semua itu kepada Tuhan dalam doa. Ia bisa dan mau menolong saudara.
-AMIN-