MAKNA PENDAMAIAN DI DALAM KEMATIAN KRISTUS DI KAYU SALIB

Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th.

MAKNA PENDAMAIAN DI DALAM KEMATIAN KRISTUS DI KAYU SALIB
MAKNA PENDAMAIAN DI DALAM KEMATIAN KRISTUS DI KAYU SALIB. “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Roma 5:10-11) Makna pendamaian besar (the great atonement) yang dilakukan oleh Kristus dalam kematianNya tidaklah dapat ditangkap dalam satu atau dua kalimat atau pernyataan, namun makna dasarnya dapat dan harus dipusatkan pada beberapa gagasan yang sangat mendasar, yaitu : pengorbanan (sakrifasi), pengantaraan (mediasi) , pencurahan darah, peredaan murka (propisiasi), penghapusan kesalahan (ekspiasi), korban pengganti (substitusi), penebusan (rendempsi) dan pengampunan (amnesti). PENGORBANAN (SAKRIFASI) Rasul Paulus memandang kematian Kristus sebagai kematian korban. Di dalam beberapa ayat referensi Paulus jelas menghubungkan kematian Kristus dengan ritual Perjanjian Lama dan konsep pengorbanan. George Eldon Ladd menjelaskan, “Kata ‘hilastérion’ atau yang diterjemahkan dengan ‘jalan pendamaian’ yang digunakan Paulus dalam Roma 3:25 menunjuk langsung kepada korban dosa yang dipersembahkan oleh imam besar pada hari Pendamaian. Paulus menggambarkan kematian Kristus sebagai korban yang harum bagi Allah (Efesus 5:2).”[1] Selanjutnya, perkataan rasul Paulus “peri hamartias” atau yang diterjemahkan dengan “karena dosa” menunjuk pada kematian Kristus yang berkorban, atau “sebagai korban dosa”. Sekali lagi, Paulus membicarakan tentang Kristus sebagai domba Paskah yang tersembelih (1 Korintus 5:7).[2] Kematian Kristus dipandang bukan sebagai kematian biasa saja, melainkan penyerahan hidup dan pengorbanan hidup. Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa sebagai ganti korban bakaran, maka tubuh Kristus dipersembahkan sebagai korban (Ibrani 10:5-18). PengorbananNya terlihat dari kerelaanNya dalam menanggung hinaan dan penderitaan sampai Ia mati di kayu salib. Penulis Kitab Ibrani mengatakan bahwa Kristus, “mengalami maut bagi semua manusia” (Ibrani 2:9). PENGANTARAAN (MEDIASI) Kata Yunani “pengantara” dalam Perjanjian Baru adalah “mesites”, yang berarti “ pergi diantara, yakni secara sederhana, perwakilan, atau (dengan implikasi) seorang pendamai, seorang pensyafaat”.[3] Seorang perantara adalah “seorang yang berada di tengah” atau “seorang yang menengahi antara pihak-pihak yang berbeda, untuk tujuan mendamaikan mereka”.[4] Keunikan dari pengorbanan Kristus dan yang sangat penting adalah bahwa Kristus adalah korban dan sekaligus Imam Besar yang mempersembahkan korban itu. Dua pihak dalam sistem keimaman tergabung menjadi satu. Herbert Wolf menjelaskan pelayanan imam besar dalam Perjanjian Lama sebagai berikut, “Fokus utama dalam Kitab Keluaran dan Imamat terletak pada pelayanan imam besar, yang adalah pengantara di antara Allah dan bangsa Israel”.[5] Lebih lanjut Herbert Wolf menjelaskan, “Hari yang paling penting dalam satu tahun ialah Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) yang jatuh pada tanggal 10 dari bulan ketujuh (September-Oktober). Pada hari itu, imam besar memasuki Tempat Mahakudus lalu memercikkan darah dihadapan Tabut Perjanjian”.[6] Karya Kristus dalam Ibrani 9:6-15 disamakan dengan Hari Raya Pendamaian di Perjanjian Lama. Kristus digambarkan sebagai Imam Besar yang memasuki tempat yang kudus untuk mempersembahkan korban. Namun korban yang dibawa oleh Kristus bukan domba jantan atau lembu jantan melainkan diriNya sendiri.[7] Herbert Wolf menjelaskan demikian, “Kebanyakan ayat Perjanjian Baru yang membandingkan antara Hari Raya Pendamaian dengan kematian Kristus menekankan tersediaNya jalan masuk ke Tempat Mahakudus. Pada waktu Kristus mati, tabir di Bait Suci terbelah dua (Matius 27:51), dan Kristus sebagai Imam Besar kita ‘masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus ... dengan membawa darahNya sendiri’ (Ibrani 9:12)”.[8] Dengan demikian sebagai Imam Besar, Kristus melakukan pendamaian sebagai pengantara. Rasul Paulus menjelaskan pekerjaan pengantaraan Kristus dalam pendamaian itu demikian, “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya” (2 Korintus 5:18a). Kristus ditunjuk sebagai Imam Besar yang telah menjadi korban pendamaian bagi dosa (Ibrani 2:17; 9:15;12:24).[9] PENCURAHAN DARAH Aspek korban dari kematian Kristus terlihat dari beberapa ayat referensi yang berbicara tentang darahNya. Allah telah membuat Kristus menjadi jalan pendamaian melalui darahNya (Roma 3:25); kita dibenarkan oleh darahNya (Roma 5:9); Kita memiliki penebusan melalui darahNya (Efesus 1:7); Kita telah didekatkan kepada Allah oleh darah Kristus (Efesus 2:13); kita memiliki damai melalui darah yang dicurahkan di salib (Kolose 1:20).[10] Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Penulis Kitab Ibrani yang menyatakan bahwa “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22; Bandingkan Matius 26:26-29; Yohanes 19:34-35; 1 Yohanes 1:7). Kevin J. Conner dan Ken Malmin mengatakan, “Darah Yesus yang berharga dan yang tidak mungkin bercacat adalah darah Perjanjian Baru (Wahyu 12:11; Ibrani 9). Semua darah korban perjanjian sebelumnya menunjuk pada darahNya. Darah Yesus menggenapi dan mengakhiri semua darah binatang korban. Darah Yesus adalah darah Perjanjian Kekal (Ibrani 13:20).”[11] PEREDAAN MURKA (PROPISIASI) Propisiasi berarti seorang berdosa yang melawan Allah dijauhkan dari murka karena Allah telah dipuaskan oleh suatu pembayaran. Paul Enns menjelaskan propisiasi sebagai berikut, “propisiasi berarti bahwa kematian Kristus secara penuh memuaskan semua tuntutan kebenaran Allah terhadap orang berdosa. Karena Allah adalah kudus dan benar, maka Ia tidak dapat mengabaikan dosa; melalui karya Yesus Kristus, Allah telah dipuaskan dan standar kebenaranNya telah dipenuhi”.[12] J. Knox Chamblin menjelaskan, “propisiasi adalah tindakan yang tertuju pada Allah, yaitu dengan meredakan murka atau mengalihkan murka Allah dengan korban tebusan”.[13] Kata Ibrani yang dipakai untuk menjelaskan propisiasi adalah “khapar” yang berarti “menutupi”, merupakan kata yang menyangkut upacara menutupi dosa dalam Perjanjian Lama (Imamat 4:35; 10:17).[14] Sedangkan kata kerja Yunani “hilaskomai” artinya “untuk mempropisiasikan”, muncul dua kali di Perjanjian Baru (Lukas 18:13; Ibrani 2:7); Kata bendanya muncul tiga kali dalam Perjanjian Baru, yaitu “hilasmos” (1 Yohanes 2:2; 4:10) dan “hilasterion” di Roma 3:25).[15] Kenyataan akan adanya murka Allah menimbulkan keharusan untuk meredakan murka itu. Adanya murka Allah atas manusia ini dinyatakan dengan jelas di dalam Alkitab. Menurut Charles C. Ryrie, “Lebih dari dua puluh kata yang berlainan dan yang digunakan sebanyak kira-kira 580 kali menyatakan murka Allah dalam Perjanjian Lama (2 Raja-raja 13:3; 23:26; Ayub 21:20; Yeremia 21:12; Yeheskiel 8:18; 16:38; 23:25; 24:13). Disetiap tempat selalu dinyatakan bahwa dosa merupakan penyebab murka Allah”.[16] Masih menurut Ryrie, bahwa murka dalam Perjanjian Baru merupakan konsep dasar untuk menyatakan perlunya pendamaian. Perjanjian baru memakai kata yang terpenting, yaitu “orge” menyataan murka yang lebih tetap (Yohanes 3:36; Roma 1:18; Efesus 2:23; 1 Tesalonika 2:16; Wahyu 6:16); dan “thumos” menyatakan murka yang lebih bernafsu (Wahyu 14:10,19; 15:1,7; 16:1; 19:15). Kedua kata itu dengan jelas menyatakan permusuhan ilahi terhadap dosa secara pribadi.[17] Untuk meredakan murka ini bukan merupakan soal balas dendam melainkan soal keadilan, dan hal itu menuntut pengorbanan Anak Allah.[18] Dengan demikian jelaslah bahwa propisiasi berhubungan dengan peredaan murka Allah. Karena Allah itu kudus, murkaNya ditujukan pada dan harus dialihkan supaya manusia dapat luput dari kehancuran kekal. Dan Allah menyediakan jalan keluar bagi dosa dengan mengutus Kristus sebagai pemenuhan tuntutan atas dosa-dosa manusia. AkibatNya, kematian Kristus memuaskan tuntutan Allah dan meredakan murka Allah. Kini, daripada meminta manusia melakukan sesuatu untuk mendapatkan perkenanNya, Allah justru meminta manusia untuk didamaikan denganNya melalui karya yang telah dituntaskan Kristus (2 Korintus 5:20). Rasul Yohanes menjelaskan bahwa peredaan murka ini bukan hanya bagi dosa orang-orang percaya, atau pilihan saja, tetapi juga bagi seluruh dunia ketika ia berkata, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia” (1 Yohanes 2:2). Kata “pendamaian” dalam ayat ini adalah terjemahan dari kata Yunani “hilasmos”, yang dalam King James Version diterjemahkan dengan “propitiation”.[19] PENGHAPUSAN KESALAHAN (EKSPIASI) Sementara propisiasi berhubungan dengan meredakan murka Allah, maka ekspiasi berhubungan dengan penghapusan kesalahan (dosa-dosa) manusia. Charles C. Ryrie menjelaskan, “Ekspiasi adalah penghapusan murka, dosa atau rasa bersalah seseorang. Ekspiasi berhubungan dengan perbaikan terhadap suatu kesalahan”.[20] J. Knox Chamblin menjelaskan, “Ekspiasi adalah tindakan yang tertuju pada dosa, yaitu dengan menghapus dan menetralisir dosa”.[21] Jadi, sebagaimana yang dikatakan Rick Cornish, “Ekspiasi merupakan pembayaran untuk dosa akibat kesalahan, yang membuat si pendosa dibebaskan dari berutang dosa”.[22] Yohanes Pembaptis seperti yang dicatat oleh rasul Yohanes menyebut Yesus dengan gelar “Anak Domba Allah” (Yohanes 1:29,36). Pada sebutan pertama, gelar ini diperjelas dengan keterangan tambahan “yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29).[23] Kata “menghapus” dalam ayat itu adalah terjemahan dari kata kerja Yunani “airôn” yang berarti “menanggung atau menyingkirkan”.[24] Donald Guthrie menjelaskan, “kata kerja Yunani ho airôn, yang berarti ‘mengangkut’, juga ‘menghapus’. Pengertian yang paling logis yakni: perkataan itu menunjuk pada soal menebus dosa”.[25] Beberapa komentar tentang Yohanes 1:29 seperti berikut ini. Everret F. Harrison mengatakan, “Pelayanan Yohanes sendiri didasarkan pada kenyataan tentang dosa; pelayanan Kristus berkaitan dengan penghapusan dosa”.[26] Donald C. Stamps menjelaskan, “Melalui kematianNya, Yesus memungkinkan penghapusan kesalahan dan kuasa dosa dan membuka jalan kepada Allah bagi seluruh dunia”.[27] KORBAN PENGGANTI (SUBSTITUSI) Kematian Kristus disebut sebagai korban pengganti. Kata Inggris “vicarious” berarti “dilaksanakan dengan cara mengadakan subsitusi (menggantikan)”.[28] Doktrin penggantian ini penting sebab berhubungan dengan pemuasan yang sempurna atas tuntutan kebenaran dari Allah yang kudus melalui pembayaran yang sempurna dari Kristus untuk dosa. Atas dasar inilah Allah dapat mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang yang benar dan menerima mereka dalam persekutuan tanpa ada kompromi dari pihakNya. Semua dosa orang percaya ditanggung oleh Kristus, yang sepenuhnya menebus mereka dan membayar untuk mereka melalui kematianNya.[29] Ada dua preposisi (kata depan) Yunani yang menekankan sifat korban pengganti dari kematian Kristus, yaitu : (1) preposisi “anti” yang mempunyai arti “persamaan, penukaran, atau pengganti”. Kata “anti” tidak pernah mempunyai arti yang lebih luas dari “demi” atau “atas nama”; (2) preposisi “huper” yang mempunyai arti “untuk kepentingan” dan juga kadangkala diberarti “pengganti”.[30] Contoh penggunaan preposisi “anti” terdapat dalam Matius 20:28; Markus 1045, sedang contoh penggunaan preposisi “huper” (Galatia 3:13; 1 Timotius 2:6; 2 Korintus 5:1; 1 Petrus 3:18).[31] Ada lagi ayat Alkitab, selain yang disebutkan sebelumnya di atas, yang menekankan korban penggantian Kristus bagi manusia (Yesaya 53:5; 1 Petrus 2:24; 2 Korintus 5:21). Dengan demikian yang dimaksud dengan korban penggantian (substitusi) adalah bahwa Kristus mati bagi orang berdosa dan atau kematianNya menggantikan orang berdosa menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung oleh orang berdosa yang percaya kepadaNya. Kesalahan orang berdosa yang percaya diperhitungkan kepadaNya secara demikian sehingga Ia mewakili mereka menanggung hukuman mereka.[32] Namun, ada orang yang mengganggap bahwa jika Kristus mati sebagai pengganti, tentu semua orang secara otomatis akan selamat. Ini merupakan pemikiran yang keliru. Mengapa? Karena kematian Kristus sebagai korban pengganti memiliki dua aspek, yaitu : (1) Kristus mati bagi orang berdosa (preposisi Yunani “huper”); dan (2) Kristus mati menggantikan orang berdosa yang percaya (preposisi Yunani “anti”). Aspek yang pertama menghubungan kematian Kristus dengan manfaatnya yang bersifat universal bagi orang-orang berdosa, sedangkan aspek yang kedua menghubungkan kematian Kristus sebagi pengganti orang berdosa yang percaya kepadaNya.[33] Jadi, Seperti kata Sir Robert Anderson, “bahwa Kristus mati bagi manfaat dari orang berdosa (huper) dan bukan sebagai ganti orang berdosa (anti) karena huper terutama selalu digunakan dalam pemberitaan Injil kepada mereka yang bukan orang-orang yang diselamatkan. Hanya setelah orang berdosa menerima dengan iman kematian Kristus bagi dirinya, barulah ia menerima aspek penggantian (anti) dari kematian Kristus itu”.[34] PENEBUSAN (REDEMPSI) Kata penebusan bukanlah ajaran yang hanya khas Perjanjian Baru. Faktanya, pada KJV kata “redeem” (tebus) dengan berbagai variasinya muncul sebanyak 139 dalam Perjanjian Lama, dan hanya 22 kali dalam Perjanjian Baru.[35] Kata penebusan berasal dari kata Yunani “agorazo” yang berarti “membeli dari pasar”. Seringkali kata ini berhubungan dengan penjualan budak dipasar. Kata “agorazo” ini digunakan untuk menggambarkan orang percaya yang dibeli dari pasar budak dosa dan dibebaskan dari ikatan dosa. Harga pembayaran untuk kebebasan orang percaya dan pembebasan dari dosa adalah kematian Kristus (1 Korintus 6:20; 7:23; Wahyu 5:9; 14:3,4).[36] Rasul Paulus menggunakan istilah penebusan untuk menggambarkan transaksi Kristus untuk membebaskan kita dari dosa dan hukumannya, sehingga kita menerima pengampunan dari Allah. Paulus mengatakan, “Sebab di dalam Dia dan oleh darahNya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa” (Efesus 1:7; Kolose 1:14). Kita “dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam darah Kristus Yesus” (Roma 3:24). BACA JUGA: 12 KHOTBAH KENGUNAN ROHANI (2)

Tiga kata Yunani lainnya untuk menjelaskan tentang penebusan adalah : (1) exagorazo, yang berarti “membayar harga, menebus, membeli dari pasar, mengambil alih dari kuasa pihak lain”. Kata ini digunakan dua kali behubungan dengan Kristus menebus atau melepaskan orang percaya dari kutuk dan kuasa hukum Taurat (Galatia 3:13; 4:5); (2) lutro, yang berarti “membebaskan melalui pembayaran tebusan”. Kata kerjanya muncul tiga kali dalam Lukas 24:21; Titus 2:14; 1 Petrus 1:18-19. Sedangkan kata benda “lutron” digunakan dua kali dalam Matius 20:28; Markus 10:45 (tebusan), dan kata benda “lutrosis digunakan tiga kali dalam Lukas 1:16; 2:38; Ibrani 9:12 (kelepasan); (3) apolutrosis, yang berarti “kelepasan yang terjadi karena pembayaran tebusan”. Digunakan sembilan kali berkenanan dengan penebusan dari dosa (Lukas 21:28; Roma 3:24; 1 Korintus 1:30; Efesus 1:7, 14; 3:30; Kolose 1:14; Ibrani 9:15).[37] Jadi, Alkitab menunjukkan keadaan manusia yang pada dasarnya telah berada di bawah kuasa dosa, dan dari keadaan tersebut ia tidak berdaya membebaskan dirinya. Untuk membebaskan manusia, suatu tebusan dibayar. Kristus membayar tebusan yang diperlukan itu dengan kematianNya sendiri. PENGAMPUNAN (AMNESTI) Paul Enns menjelaskan bahwa, “Pengampunan merupakan tindakan legal dari Allah dimana Ia mengangkat tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada orang berdosa karena pemuasan atau penebusan yang tepat untuk dosa-dosa itu telah dilakukan”.[38] Dasar obyektif yang menjamin pengampunan kepada semua orang percaya adalah pencurahan darah Kristus melalui kematianNya di kayu salib yang mendamaikan, karena “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22).[39] Jadi kematian Kristus mengakibatkan pengampunan bagi orang berdosa. Allah tidak dapat mengampuni dosa tanpa pembayaran yang seharusnya. Kematian Kristus menyediakan alat yang sah secara hukum, sehingga Allah dapat mengampuni dosa.[40] Pengampunan untuk selamanya menyelesaikan masalah dosa dalam hidup orang percaya, yaitu semua dosa yang telah lalu, sekarang dan dimasa yang akan datang (Kolose 2:13). Rick Cornish menjelaskan bahwa status hukum kita dihadapan Allah tetap tidak berubah, bahwa sekarang tidak ada penghukuman bagi kita yang ada di dalam Kristus (Roma 8:1). Kristus membayar dosa-dosa kita tanpa membedakan masa lalu,sekarang, dan dosa-dosa pada masa yang akan datang (1 Korintus 15:3). Tidak ada petunjuk di dalam Alkitab bahwa kematian Kristus hanya menebus dosa-dosa sebelum keselamatan kita, tetapi tidak efekti untuk dosa-dosa yang berikutnya. Ketika berdosa, kita masih dibenarkan di dalam Kristus – Diadopsi sebagai anak-anak Allah.[41] Ada beberapa kata Yunani yang digunakan untuk menjelaskan pengampunan, yaitu : (1) charizomai, yang berarti “mengampuni berdasarkan anugerah”. Dalam Kolose 2:13 mendeklarasikan bahwa Allah telah “mengampuni (kharisamenos) segala pelanggaran kita”; (2) aphiem, yang berarti “melepaskan atau membebaskan” atau “menyuruh pergi”. Kata ini paling umum digunakan untuk pengampunan. Bentuk kata benda ini digunakan dalam Efesus 1:7 dimana kata itu menekankan dosa orang percaya yang telah diampuni atau disuruh pergi kerena kekayaan dari anugerah Allah yang dinyatakan dalam kematian Kristus. Pengampunan adalah sisi negatif dari keselamatan, sedangkan sisi positifnya adalah pembenaran (jastifikasi).[42] Tidak ada pembenaran tanpa pengampunan! FOOTNOTE: [1] Ladd, Geoge Eldon., Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, hal. 170. [2] Ibid, hal. 171. [3] Conner J. Kevin., A Practical Guide to Christian Bilief, hal. 436. [4] Ibid. [5] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 235. [6] Ibid, hal. 243. [7] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 492. [8] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh, hal. 245. [9] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 144. [10] Ladd, Geoge Eldon., Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, hal. 170-71. [11] Conner, Kevin J. & Ken Malmin., 2004. Interpreting The Scriptures. Terjemahan Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 169-170. [12] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 402. [13] Chamblin, J. Knox.,2006. Paulus dan Diri: Ajaran Rasul Paulus Bagi Keutuhan Pribadi. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 68. [14] Ibid. [15] Ibid. [16] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 40. [17] Ibid, hal. 41. [18] Ibid [19] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 471. [20] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 40. [21] Chamblin, J. Knox.., Paulus dan Diri: Ajaran Rasul Paulus Bagi Keutuhan Pribadi, hal. 68. [22] Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Teologi. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal. 230. [23] Zuck, Roy B, editor., A Biblical of Theology The New Testament,, hal. 219. [24] Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I. Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 479. [25] Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta, hal. 269. [26] Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang, hal. 304. [27] Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 1699. [28] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 439. [29] Ibid, hal. 285. [30] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 33. [31] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 400. [32] Ibid, hal. 400. [33] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 446. [34] Ibid, hal. 446. [35] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 451. [36] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 400. [37] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 453-455. [38] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403. [39] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh, hal. 245. [40] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403. [41] Cornish, Rick., Lima Menit Teologi, hal. 166. [42] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url