Perbandingan Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme.
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Perbandingan Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme. Kita akan membandingkan 3 ajaran berkenaan dengan kebutuhan kasih karunia untuk keselamatan / percaya kepada Yesus, yaitu Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme.
Perbandingan Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme. Kita akan membandingkan 3 ajaran berkenaan dengan kebutuhan kasih karunia untuk keselamatan / percaya kepada Yesus, yaitu Pelagianisme, Calvinisme / Reformed, dan Arminianisme.
1) Pelagius / Pelagianisme percaya bahwa manusia tak membutuhkan kasih
karunia Allah / pekerjaan Roh Kudus untuk berbuat baik ataupun untuk percaya
kepada Yesus.
R. C. Sproul: “According to Harnack, Pelagius ‘preached that God commanded nothing
impossible, that man possessed the power of doing the good if only he willed,
and that the weakness of the flesh was merely a pretext.’ The controlling
principle of Pelagius’s thought was the conviction (noted by Harnack) that God
never commands what is impossible for man to perform. ... Pelagius raised
this question: Is the assistance of grace necessary for a human being to obey
God’s commands? Or can those commands be obeyed without such assistance? For
Pelagius the command to obey implies the ability to obey. This would be true,
not only of the moral law of God, but also of the commands inherent in the
gospel. If God commands people to believe in Christ, then they must have the
power to believe in Christ without the aid of grace. If God commands sinners to
repent, they must have the ability to incline themselves to obey that command.
Obedience does not in any way need to be ‘granted.’ ... For Pelagius, nature
does not require grace in order to fulfill its obligations. Free will, properly
exercised, produces virtue, which is the supreme good and is justly followed by
reward. By his own effort man can achieve whatever is required of him in
morality and religion.” [=
Menurut Harnack, Pelagius ‘mengkhotbahkan / memberitakan bahwa Allah tidak
memerintahkan sesuatu yang mustahil / tidak mungkin, bahwa manusia mempunyai kuasa untuk melakukan yang baik jika saja ia mau, dan bahwa kelemahan daging semata-mata merupakan dalih’. Prinsip yang mengendalikan / mengarahkan dari pemikiran Pelagius
adalah keyakinan (diperhatikan / dilihat
oleh Harnack) bahwa Allah tidak pernah
memerintahkan apa yang mustahil / tidak mungkin untuk dilakukan manusia. ... Pelagius mengemukakan pertanyaan ini: Apakah bantuan dari
kasih karunia perlu bagi seorang manusia untuk mentaati perintah-perintah
Allah? Atau bisakah perintah-perintah itu ditaati tanpa bantuan seperti itu? Bagi Pelagius perintah untuk taat secara implicit menunjukkan
kemampuan untuk taat. Ini adalah benar, bukan hanya tentang hukum moral dari
Allah, tetapi juga tentang perintah-perintah yang terdapat dalam injil. Jika
Allah memerintahkan orang-orang untuk percaya kepada Kristus, maka mereka harus
mempunyai kuasa / kekuatan untuk percaya kepada Kristus tanpa pertolongan kasih
karunia. Jika Allah memerintahkan orang-orang berdosa untuk bertobat, mereka
pasti / harus mempunyai kemampuan untuk mencondongkan diri mereka sendiri untuk
mentaati perintah itu. Ketaatan tidak dengan jalan apapun membutuhkan untuk
‘dianugerahkan’. ... Bagi Pelagius, alam tidak memerlukan kasih karunia untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.
Kehendak bebas, yang digunakan secara benar, menghasilkan kebaikan / perbuatan
baik, yang adalah kebaikan yang tertinggi dan secara adil diikuti dengan
pahala. Oleh usahanya sendiri manusia bisa mencapai apapun yang diharuskan /
diwajibkan bagi dia dalam moral dan agama.] - ‘Willing to Believe’,
hal 33-34,35 (Libronix).
Catatan: Harnack adalah seorang ahli
theologia dan sejarawan Jerman yang hidup pada tahun 1851-1930 (Encyclopedia
Britannica 2010).
2) Arminianisme mengatakan bahwa sejak lahir,
semua manusia sudah menerima pengaruh
istimewa dari Roh Kudus (biasanya disebut dengan istilah ‘Prevenient Grace’ atau ‘kasih karunia yang mendahului’). Tanpa pengaruh
istimewa ini manusia tidak bisa percaya kepada Yesus. Tetapi dengan adanya pengaruh
istimewa dari Roh Kudus ini menyebabkan manusia bisa percaya kepada Yesus, atau
memungkinkan manusia untuk percaya kepada Yesus. Sekarang
hanya tergantung apakah ia mau atau tidak mau melakukan hal itu. Jadi, manusia bisa menolak kasih karunia Allah itu.
Jadi,
berbeda dengan Pelagius, Arminius percaya pada Total Depravity (= Kebejatan Total) seandainya tidak ada ‘prevenient grace’ (= kasih karunia yang
mendahului). Tetapi dalam faktanya Allah telah memberikan ‘prevenient grace’ (= kasih karunia yang mendahului) ini kepada
semua orang sejak lahir, sehingga semua orang bisa / mampu memilih Kristus
jika mereka mau.
Bahwa ini memang merupakan ajaran Arminian,
terlihat dari kutipan-kutipan di bawah ini.
R. C. Sproul: “James Arminius was emphatic in his rejection of Pelagianism,
particularly with respect to the fall of Adam. The fall leaves man in a ruined
state, under the dominion of sin. Arminius declares: ‘In this state, the Free
Will of man towards the True Good is not only wounded, maimed, infirm, bent,
and weakened (attenuatem); but it is also imprisoned (captivatum), destroyed, and lost. And its powers are not only debilitated and
useless unless they be assisted by grace, but it has no powers whatever except
such as are excited by Divine grace.…’” [= Yakobus Arminius bersikap tegas dalam penolakannya tentang
Pelagianisme, khususnya berkenaan dengan kejatuhan Adam. Kejatuhan itu
meninggalkan manusia dalam keadaan hancur, di bawah kuasa dosa. Arminius
menyatakan: ‘Dalam keadaan ini, Kehendak Bebas manusia terhadap Kebaikan yang
Benar bukan hanya terluka, buntung, lemah, bengkok, dan dilemahkan (attenuatem); tetapi itu juga dipenjarakan (captivatum), hancur dan hilang. Dan kuasa /
kekuatannya bukan hanya dilemahkan dan tak berguna kecuali mereka ditolong oleh
kasih karunia, tetapi itu tidak mempunyai kuasa-kuasa / kekuatan-kekuatan
apapun kecuali yang dibangkitkan oleh kasih karunia Ilahi ...’] - ‘Willing to Believe’, hal 125
(Libronix).
R.
C. Sproul:
“The beginning of the work of grace
is called ‘preventing grace’ or more popularly ‘prevenient grace’, referring to the grace that comes before conversion and on which
conversion depends. ... The term ‘preventing grace’ is open to misunderstanding. ‘To
prevent’ in modern usage usually means
‘to keep something from happening.’ This is not how Arminius uses the term. The
word ‘prevent’ derives from the
Latin venio,
which means simply ‘to come.’ The prefix ‘pre’ means ‘before.’ Therefore, ‘preventing grace’ does not keep salvation from happening but
necessarily ‘comes before’ salvation.”
[= Permulaan dari pekerjaan kasih karunia disebut ‘preventing grace’ atau secara lebih
populer ‘prevenient
grace’ / ‘kasih karunia yang mendahului’,
yang menunjuk pada kasih karunia yang datang sebelum pertobatan dan pada mana
pertobatan tergantung. ... Istilah ‘preventing grace’ terbuka terhadap
kesalah-mengertian. ‘To prevent’
dalam penggunaan modern biasanya berarti ‘menjaga sesuatu supaya tidak terjadi’
/ ‘mencegah’. Ini bukanlah cara Arminius menggunakan istilah itu. Kata ‘prevent’
diturunkan dari kata bahasa Latin VENIO, yang sekedar berarti ‘datang’. Awalan ‘pre’ berarti ‘sebelum’. Karena itu, ‘preventing grace’ tidak menjaga supaya
keselamatan tidak terjadi, tetapi secara perlu ‘datang sebelum’ keselamatan.]
- ‘Willing to Believe’, hal 129 (Libronix).
R. C. Sproul: “PREVENIENT
GRACE. As the name suggests, prevenient grace is grace that ‘comes before’
something. It is normally defined as a work that God does for everybody.
He gives all people enough grace to respond to Jesus. That is, it is
enough grace to make it possible
for people to choose Christ. Those who cooperate with and assent to this grace
are ‘elect.’ Those who refuse to cooperate with this grace are lost.” (= KASIH
KARUNIA YANG mendahului. Seperti ditunjukkan oleh namanya, kasih karunia yang
mendahului adalah kasih karunia yang ‘datang sebelum’ sesuatu. Itu biasanya
didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang Allah lakukan bagi setiap orang. Ia
memberi semua orang kasih karunia yang cukup untuk memberi tanggapan kepada
Yesus. Artinya, itu adalah kasih karunia yang cukup untuk membuatnya mungkin bagi
orang-orang untuk memilih Kristus. Mereka yang
bekerja sama dengan dan memberi persetujuan kepada kasih karunia ini adalah
‘orang-orang pilihan’. Mereka yang menolak untuk bekerja sama dengan kasih
karunia ini terhilang.) - ‘Chosen By
God’, hal 123.
R. C. Sproul: “The Point of Departure. Arminius declares that ‘internal vocation is granted (contingit)
even to those who do not comply with the call.’ Here, at last, we see the
critical point of departure from the view of Luther and Calvin. For the
Reformers, the internal call is effectual. That is, all whom God calls
internally comply with his call. This sets the stage for the debate over the
resistible or irresistible grace of regeneration. Arminius declares: ‘All
unregenerate persons have freedom of will, and a capability of resisting the
Holy Spirit, of rejecting the proffered grace of God, of despising the counsel
of God against themselves, of refusing to accept the Gospel of grace, and of
not opening to Him who knocks at the door of the heart; and these things they
can actually do, without any difference of the Elect and of the
Reprobate.’ Arminius makes it clear that prevenient grace is resistible.
This grace is necessary for salvation, but does not insure that salvation will
ensue. Grace is a necessary condition
for salvation, but not a sufficient
condition for salvation. Arminius distinguishes between sufficient and
efficient grace: ‘Sufficient grace must necessarily be laid down; yet this
sufficient grace, through the fault of him to whom it is granted (contingit),
does not (always) obtain its effect. Were the fact otherwise, the justice of
God could not be defended in his condemning those who do not believe.’
Prevenient grace is ‘sufficient’ in that it provides everything the sinner
needs in order to be saved. The sinner is unable to do the good without it. We
can see here that Arminius’s chief concern is to defend the justice of God. If
only irresistible grace is given, then in the final analysis God determines who
will and who will not be saved. The unspoken question is this: If the sinner
cannot respond to the gospel without irresistible grace and if this grace is
not given to all, then how can God justly condemn those to whom he has not
given it? Arminius goes on to say: ‘The efficacy of saving grace is not
consistent with that omnipotent act of God, by which He so inwardly acts in the
heart and mind of man, that he on whom that act is impressed cannot do any
other than consent to God who calls him. Or, which is the same thing, grace is
not an irresistible force.’” [= Titik
penyimpangan. Arminius menyatakan bahwa ‘pekerjaan internal / di dalam diberikan (contingit) bahkan kepada mereka yang
tidak memenuhi / mentaati panggilan itu’. Di sini, akhirnya, kita melihat titik penyimpangan yang
kritis dari pandangan Luther dan Calvin. Bagi para tokoh Reformasi, panggilan
internal / di dalam adalah efektif / pasti berhasil. Artinya, semua orang yang
Allah panggil dalam panggilan internal / dalam memenuhi / mentaati panggilanNya. Ini mengatur panggung
untuk perdebatan berkenaan dengan kasih karunia dari kelahiran baru yang bisa
ditolak atau tidak bisa ditolak. Arminius menyatakan: ‘Semua orang yang
belum lahir baru mempunyai kebebasan kehendak, dan suatu kemampuan untuk
menolak Roh Kudus, untuk menolak kasih karunia Allah yang ditawarkan, untuk
meremehkan rencana Allah terhadap diri mereka sendiri, untuk menolak untuk
menerima Injil kasih karunia, dan untuk tidak membuka bagiNya yang mengetok
pada pintu hati; dan hal-hal ini mereka sungguh-sungguh bisa lakukan, tanpa
perbedaan apapun antara orang-orang pilihan dan orang-orang non pilihan /
reprobate’. Arminius membuatnya
jelas bahwa kasih karunia yang mendahului bisa ditolak. Kasih karunia ini perlu untuk keselamatan, tetapi tidak menjamin bahwa keselamatan akan
terjadi. Kasih karunia adalah suatu syarat yang perlu untuk keselamatan,
tetapi bukan syarat yang cukup untuk keselamatan. Arminius membedakan
antara kasih karunia yang cukup dan kasih karunia yang efisien / pasti
berhasil: ‘Kasih karunia yang cukup secara perlu harus diletakkan; tetapi
kasih karunia yang cukup ini, melalui kesalahan dari dia kepada siapa itu
diberikan (contingit), tidak
(selalu) mendapatkan hasilnya. Seandainya faktanya adalah sebaliknya,
keadilan Allah tidak bisa dipertahankan dalam penghukumanNya terhadap
orang-orang yang tidak percaya’. Kasih karunia yang mendahului adalah ‘cukup’ dalam arti itu menyediakan
segala sesuatu yang dibutuhkan orang berdosa untuk diselamatkan. Orang berdosa
tidak mampu melakukan yang baik tanpa kasih karunia itu. Kita bisa melihat di sini bahwa perhatian utama Arminius adalah untuk mempertahankan keadilan
Allah. Jika saja
kasih karunia yang tidak bisa ditolak diberikan, maka dalam analisa terakhir
Allah menentukan siapa yang akan dan siapa yang tidak akan diselamatkan.
Pertanyaan yang tidak diucapkan adalah ini: Jika
orang berdosa tidak bisa menanggapi injil tanpa kasih karunia yang tidak bisa
ditolak dan jika kasih karunia ini tidak diberikan kepada semua orang, maka
bagaimana Allah bisa dengan adil menghukum mereka kepada siapa Ia tidak
memberikannya? Arminius melanjutkan dengan berkata: ‘Kemujaraban /
keberhasilan dari kasih karunia yang menyelamatkan tidak konsisten dengan tindakan
maha kuasa dari Allah, dengan mana Ia bertindak di dalam sedemikian rupa dalam
hati dan pikiran manusia, sehingga ia kepada siapa tindakan itu ditanamkan
tidak bisa melakukan yang lain dari pada menyetujui Allah yang memanggilnya.
Atau, yang adalah hal yang sama dengan, kasih karunia
bukanlah kekuatan yang tidak bisa ditolak’.] -
‘Willing to Believe’, hal 130-131 (Libronix).
BACA JUGA: KESELAMATAN HANYA OLEH IMAN FONDASI GOLGOTA
R. C. Sproul: “A bit earlier Arminius said that prevenient grace is sufficient but not efficient. It does not always obtain its effect. At this point he laid the fault with men rather than with God. The failure to acquiesce in this sufficient grace is a fault. Arminius does not say that the assent to prevenient grace is a virtue, but he strongly implies it. If failure to assent is a fault, then to assent is a virtue. If it is not virtue, it is at the very least decisive to the outcome. In the final analysis the good outcome is contingent or dependent on what the person does or does not do” (= Sedikit lebih awal, Arminius berkata bahwa ‘kasih karunia yang mendahului’ adalah cukup tetapi tidak efisien / pasti berhasil. Itu tidak selalu mendapatkan hasilnya. Pada titik ini ia meletakkan kesalahan pada manusia dan bukannya pada Allah. Kegagalan untuk menyetujui tanpa membantah kepada kasih karunia yang cukup ini adalah suatu kesalahan. Arminius tidak mengatakan bahwa persetujuan kepada ‘kasih karunia yang mendahului’ adalah suatu kebaikan, tetapi ia secara implicit menunjukkannya dengan kuat. Jika kegagalan untuk menyetujui adalah suatu kesalahan, maka menyetujui adalah suatu kebaikan. Jika itu bukan kebaikan, itu sedikitnya menentukan hasilnya. Dalam analisa terakhir hasil yang baik tergantung pada apa yang orang itu lakukan atau tidak lakukan) - ‘Willing to Believe’, hal 131 (Libronix).
R. C. Sproul: “Is Arminius’s view of regeneration monergistic or synergistic? To answer
this question we must first understand what is meant by regeneration. Is regeneration the same as prevenient
grace? If prevenient grace always enables the sinner to assent to grace, then
Arminius’s view is monergistic in this regard. For Arminius prevenient grace
seems to be irresistible to the degree that it effectively liberates the sinner
from his moral bondage or impotency. Prior to receiving prevenient grace, man is
dead and utterly unable to choose the good. After receiving this grace, the
sinner is able to do what he was previously unable to do. In this sense,
prevenient grace is monergistic and irresistible. ... Arminius makes it clear
that, at the commencement of the work of salvation, man is passive. The
exciting of grace on the soul is monergistic.” [= Apakah pandangan Arminius tentang
kelahiran baru monergistik atau synergistik? Untuk menjawab pertanyaan ini
pertama-tama kita harus mengerti apa yang dimaksudkan dengan kelahiran baru.
Apakah kelahiran baru sama dengan ‘prevenient
grace’ (=
kasih karunia yang mendahului)? Jika ‘kasih karunia yang mendahului’ selalu memampukan orang berdosa untuk menyetujui kasih karunia,
maka pandangan Arminius adalah monergistik dalam hal ini. Bagi Arminius ‘kasih karunia yang mendahului’ kelihatannya tak bisa ditolak sampai pada tingkat dimana itu
secara efektif membebaskan orang berdosa dari perbudakan atau ketidak-mampuan
moral. Sebelum penerimaan ‘kasih karunia yang mendahului’, manusia itu mati dan sama sekali tidak bisa memilih yang baik.
Setelah menerima kasih karunia ini, orang berdosa itu bisa melakukan apa yang
sebelumnya ia tidak bisa lakukan. Dalam
arti ini, ‘kasih karunia yang mendahului’ adalah monergistik dan tidak bisa ditolak. ... Arminius membuat jelas bahwa pada permulaan dari pekerjaan
keselamatan, manusia itu pasif. Pembangkitan kasih karunia pada jiwa adalah
monergistik.] - ‘Willing to Believe’, hal 131,132 (Libronix).
Catatan: monergistik = hanya satu pihak
yang bekerja, yaitu Allah. Sedangkan sinergistik = kedua pihak, yaitu Allah dan
manusia bekerja bersama-sama.
R. C. Sproul: “Arminius says: ‘In the very commencement of his conversion, man conducts
himself in a purely passive manner; that is, though,
by a vital act, that is, by feeling (sensu), he
has a perception of the grace which calls him, yet he can do no other than
receive it and feel it. But, when he feels grace affecting or inclining his
mind and heart,
he freely assents to it, so that he is able at the same time to with-hold his
assent.’”
[= Arminius berkata: ‘Pada permulaan yang paling
awal dari pertobatannya, manusia bertingkah laku dengan cara yang sepenuhnya
pasif; artinya, sekalipun oleh suatu tindakan vital / sangat penting, yaitu,
dengan merasakan (sensu), ia
mempunyai suatu pengertian / kesadaran tentang kasih karunia yang memanggilnya,
tetapi ia tidak bisa melakukan apapun selain menerimanya dan merasakannya.
Tetapi, pada waktu ia merasakan kasih karunia
mempengaruhi atau mencondongkan pikiran dan hatinya, ia dengan bebas
menyetujuinya, sehingga pada saat yang sama ia bisa menahan persetujuannya’.] - ‘Willing to Believe’, hal 132 (Libronix).
R. C. Sproul: “Francis Turretin notes this distinction in Arminius: The question is not
whether grace is resistible in respect of the intellect or affections; for the
Arminians confess that the intellect of man is irresistibly enlightened and his
affections irresistibly excited and affected with the sense of grace. But it is
treated of the will alone, which they maintain is always moved resistibly, so
that its assent remains always free. There is granted indeed irresistibly the
power to believe and convert itself, but the very act of believing and
converting itself can be put forth or hindered by the human will because they
hold that there is in it an essential indifference (adiaphorian) as to admitting or rejecting grace.… Thus we strenuously deny
that efficacious grace is resistible in this sense.” [= Francis Turretin memperhatikan perbedaan ini dalam Arminius:
Pertanyaannya bukanlah apakah kasih karunia itu bisa ditolak berkenaan dengan intelek atau perasaan; karena orang-orang Arminian
mengakui bahwa intelek manusia diterangi secara tak bisa ditolak dan
perasaannya dibangkitkan dan dipengaruhi secara tak bisa ditolak dengan
perasaan / pengertian tentang kasih karunia. Tetapi itu
dibicarakan tentang kehendak saja, yang mereka pertahankan selalu bergerak secara bisa menolak,
sehingga persetujuannya selalu tetap bebas. Di sana memang diberikan
secara tidak bisa ditolak kuasa / kekuatan untuk percaya dan bertobat itu
sendiri, tetapi tindakan percaya dan bertobat itu sendiri bisa diusahakan atau
dihalangi oleh kehendak manusia karena mereka percaya bahwa di sana ada di
dalamnya suatu sikap netral / tak memihak (adiaphorian) yang hakiki / sangat
penting berkenaan dengan penerimaan atau penolakan kasih karunia. ... Jadi kami secara kuat menyangkal bahwa kasih karunia yang mujarab
bisa ditolak dalam arti ini.] - ‘Willing to Believe’, hal 132 (Libronix).
Catatan:
Encyclopedia Britannica 2010 mengatakan bahwa Francis Turretin adalah gembala kepala
di Geneva / Jenewa pada abad 17. Jelas ia adalah seorang Calvinist. Karyanya
merupakan textbook di Princeton Theological Seminary di New Jersey (suatu
sekolah theologia Calvinist) sampai pertengahan abad 19.
Saya
kira kalimat terakhir dalam kutipan di atas, adalah pandangan Francis Turretin
sendiri.
Encyclopedia Britannica 2010 dengan entry ‘Calvinism’: “The
major Calvinist theological statement of the 17th century was the Institutio
Theologiae Elencticae (1688; Institutes
of Elenctic Theology) of François
Turretin, chief pastor of Geneva. Although the title of his work
recalled Calvin’s masterpiece, the work itself bore
little resemblance to the Institutes of the Christian
Religion (1536); it was not published in the vernacular, and its
dialectical structure followed the model of the great Summae of Thomas Aquinas and
suggested Thomas’s confidence in the value of human reason. The lasting
significance of this shift is suggested by the fact that Turretin’s work was the basic textbook in theology at the
Princeton Theological Seminary in New Jersey, the most distinguished
intellectual centre of American Calvinism, until the middle of the 19th century.”.
R.
C. Sproul:
“In answering a list of theological articles written against his views,
Arminius complains at several points that he has been misunderstood or
misrepresented. He was accused of teaching that faith is not the pure gift of
God but depends partly on grace and partly on free will. He answered that he
never said faith was not the pure gift of God, and he offered in response what
he calls a simile: A rich man
bestows, on a poor and famishing beggar, alms by which he may be able to
maintain himself and his family. Does it cease to be a pure gift, because the
beggar extends his hand to receive it? Can it be said with propriety, that ‘the
alms depended partly on the liberality
of the Donor, and partly on the
liberty of the Receiver,’ though the latter would not have possessed the
alms unless he had received it by stretching out his hand? Can it be correctly
said, because the beggar is always
prepared to receive, that ‘he can have the alms, or not have it, just as
he pleases?’ If these assertions cannot be truly made about a beggar who
receives alms, how much less can they be made about the gift of faith, for the
receiving of which far more acts of Divine Grace are required! In Arminius’s
simile it is hard to imagine a destitute beggar not assenting to such a
gracious gift. But the fact remains that, to receive the alms, the beggar,
while still destitute, must stretch out his hand. At the same time, he
stretches out his hand because he wants to do so. To receive the gift of faith,
according to Calvinism, the sinner also must stretch out his hand. But he does
so only because God has so changed the disposition of his heart that he will
most certainly stretch out his hand. By the irresistible work of grace, he will
do nothing else except stretch out his hand. Not that he cannot not stretch out
his hand even if he does not want to, but that he cannot not want to stretch
out his hand. In Arminius’s simile, the beggar could conceivably be so
obstreperous as to refuse the alms offered. In Augustinianism, this very
obstinacy is effectively conquered by irresistible grace. For Calvin, the grace
of God extends not only to the alms, but also to the very stretching out of the
hand. For Arminius, the beggar possesses the natural power to stretch out his
hand.” [= Dalam menjawab suatu daftar
artikel theologia yang ditulis menentang pandangannya, Arminius mengeluh pada
beberapa point bahwa ia telah disalah-mengerti atau disalah-gambarkan. Ia
dituduh mengajarkan bahwa iman bukanlah karunia murni dari Allah tetapi
tergantung sebagian pada kasih karunia dan sebagian pada kehendak bebas. Ia menjawab bahwa ia tidak pernah mengatakan bahwa iman
bukanlah karunia murni dari Allah, dan ia menawarkan sebagai jawaban apa
yang ia sebut sebagai suatu kiasan: Seorang kaya
memberi, kepada seorang pengemis yang miskin dan sangat lapar, sedekah dengan
mana ia bisa memelihara dirinya sendiri dan keluarganya. Apakah itu berhenti menjadi
suatu karunia / pemberian yang murni, karena sang pengemis mengulurkan
tangannya untuk menerimanya? Bisakah dikatakan dengan benar, bahwa ‘sedekah itu
tergantung sebagian pada kedermawanan dari Sang Pemberi, dan sebagian pada
kebebasan dari Sang Penerima’, sekalipun yang belakangan tidak akan memiliki
sedekah itu kecuali ia telah menerimanya dengan mengulurkan tangannya? Bisakah
dengan benar dikatakan, karena sang pengemis itu selalu siap untuk menerima,
bahwa ‘ia bisa mempunyai sedekah, atau tidak mempunyainya, seperti yang ia
senangi?’ Jika pernyataan-pernyataan ini tidak bisa dibuat dengan benar tentang
seorang pengemis yang menerima sedekah, betapa pernyataan-pernyataan itu lebih
lagi tidak bisa dibuat tentang karunia iman, untuk penerimaan mana jauh lebih
dibutuhkan tindakan dari Kasih Karunia Ilahi! Dalam kiasan Arminius
adalah sukar untuk membayangkan seorang pengemis yang miskin tidak menyetujui
karunia yang murah hati / bersifat kasih karunia seperti itu. Tetapi faktanya tetap bahwa untuk menerima sedekah, sang pengemis,
sementara tetap miskin, harus mengulurkan tangannya. Pada saat yang sama, ia
mengulurkan tangannya karena ia mau berbuat demikian. Untuk menerima karunia
iman, menurut Calvinisme, orang berdosa juga harus mengulurkan tangannya. Tetapi
ia berbuat demikian, hanya karena Allah telah mengubah kecondongan hatinya
sedemikian rupa sehingga ia pasti akan mengulurkan tangannya. Oleh pekerjaan
yang tak bisa ditolak dari kasih karunia, ia tidak akan melakukan apapun yang
lain kecuali mengulurkan tangannya. Bukan
bahwa ia tidak bisa mengulurkan tangannya bahkan jika ia mau / ingin
melakukannya, tetapi bahwa ia tidak bisa mau / ingin untuk mengulurkan
tangannya. Dalam kiasan Arminius, sang pengemis bisa dibayangkan sebagai begitu
tegar sehingga menolak sedekah yang ditawarkan. Dalam Augustinianisme, sikap
tegar tengkuk inilah yang secara efektif ditundukkan oleh kasih karunia yang
tidak bisa ditolak. Bagi Calvin, kasih karunia Allah meluas bukan hanya pada
sedekah itu, tetapi juga pada penguluran dari tangan itu. Bagi Arminius, sang
pengemis memiliki kuasa alamiah untuk mengulurkan tanyannya.] - ‘Willing to
Believe’, hal 133-134 (Libronix).
Arthur W. Pink: “the Holy Spirit does something more in each of God’s elect
than He does in the non-elect: He works in them ‘both to will and to do of
God’s good pleasure’ (Philippians 2:13). In reply to what we have said above,
Arminians would answer, No; the Spirit’s work of conviction is the same both in
the converted and in the unconverted, that which distinguishes the one class
from the other is that the former yielded
to His strivings, whereas the latter resist them.” [= Roh Kudus memang
melakukan sesuatu yang lebih di dalam setiap orang-orang pilihan dari pada yang
Ia lakukan di dalam orang-orang non pilihan: Ia bekerja dalam mereka ‘baik
untuk menghendaki maupun untuk melakukan dari perkenan yang baik dari Allah’
(Fil 2:13). Untuk menjawab terhadap apa yang kami telah katakan di atas, orang-orang Arminian menjawab, Tidak; pekerjaan untuk meyakinkan
dari Roh adalah sama, baik dalam orang yang bertobat maupun dalam orang yang
tidak bertobat, apa yang membedakan satu golongan dari yang lain adalah bahwa
yang pertama menyerah pada pekerjaanNya, sedangkan yang terakhir menolaknya.] - ‘The Sovereignty of God’ (AGES), hal 118.
Louis Berkhof: “The Arminians departed from the doctrine of the
Reformation on this point. According to them God gives sufficient (common)
grace to all men, and thereby enables them to repent and believe. If the human
will concurs or co-operates with the Holy Spirit and man actually repents and
believes, God confers on man the further grace of evangelical obedience and the
grace of perseverance. Thus the work of the grace of God is made to depend on
the consent of the will of man. There is no such thing as irresistible grace.
Says Smeaton in the work already quoted: ‘It was held that every one could obey
or resist; that the cause of conversion was not the Holy Spirit so much as the
human will concurring or co-operating; and that this was the immediate cause of
conversion.’”
[= Orang-orang Arminian menyimpang dari doktrin dari Reformasi pada titik / hal
ini. Menurut mereka, Allah memberikan kasih
karunia yang cukup (umum) bagi semua orang, dan dengan itu memampukan mereka
untuk bertobat dan percaya. Jika kehendak manusia setuju dan bekerja
sama dengan Roh Kudus dan manusia sungguh-sungguh bertobat dan percaya, Allah
memberikan kepada manusia kasih karunia lebih lanjut tentang ketaatan injili
dan kasih karunia tentang ketekunan. Jadi, pekerjaan kasih karunia Allah
dibuat tergantung pada persetujuan kehendak manusia. Tidak ada hal yang
disebut kasih karunia yang tidak bisa ditolak.
Kata Smeaton dalam karyanya yang
telah dikutip: ‘Dipercaya bahwa setiap orang bisa taat atau
menolak; bahwa penyebab dari pertobatan bukanlah Roh Kudus tetapi kehendak manusia yang menyetujui atau bekerja
sama; dan bahwa ini adalah penyebab langsung dari pertobatan.’] - ‘Systematic Theology’
(Libronix), hal 430.
Louis Berkhof: “The distinction between external and internal
calling is already found in Augustine, was borrowed from him by Calvin, and
thus made prominent in Reformed theology. According to Calvin the gospel call
is not in itself effective, but is made efficacious by the operation of the
Holy Spirit, when He savingly applies the Word to the heart of man; and it is
so applied only in the hearts and lives of the elect. Thus the salvation of man
remains the work of God from the very beginning. God by His saving grace, not
only enables, but causes man to heed the gospel call unto salvation. The
Arminians were not satisfied with this position, but virtually turned back to
the Semi-Pelagianism of the Roman Catholic Church. According to them the
universal proclamation of the gospel is accompanied by a universal sufficient
grace, - ‘gracious assistance actually and universally bestowed, sufficient to
enable all men, if they choose, to attain to the full possession of spiritual
blessings, and ultimately to salvation.’ The work of salvation is once more
made dependent on man. This marked the beginning of a rationalistic return to
the Pelagian position, which entirely denies the necessity of an internal
operation of the Holy Spirit unto salvation.” (= Perbedaan antara panggilan luar dan
dalam sudah ditemukan dalam Agustinus, dipinjam dari dia oleh Calvin, dan lalu
dibuat menonjol dalam theologia Reformed. Menurut Calvin
panggilan injil dalam dirinya sendiri tidaklah efektif, tetapi dibuat menjadi
efektif / berhasil oleh pekerjaan Roh Kudus, pada waktu Ia menerapkan Firman secara
menyelamatkan pada hati manusia; dan itu diterapkan seperti itu hanya dalam
hati dan kehidupan dari orang-orang pilihan. Maka keselamatan manusia tetap
merupakan pekerjaan Allah dari permulaan. Allah dengan kasih karuniaNya yang
menyelamatkan, bukan hanya memampukan, tetapi menyebabkan manusia untuk
memperhatikan panggilan injil kepada keselamatan.
Orang-orang Arminian tidak puas dengan posisi / pandangan ini, tetapi
sebenarnya kembali / berbalik pada Semi-Pelagianisme dari Gereja Roma Katolik. Menurut
mereka, proklamasi / pemberitaan injil yang bersifat universal disertai dengan kasih
karunia yang cukup yang bersifat universal, - ‘bantuan universal yang
sungguh-sungguh dan diberikan secara universal, cukup untuk memampukan semua
manusia, jika mereka memilihnya, untuk mencapai kepemilikan penuh dari
berkat-berkat rohani, dan akhirnya keselamatan’. Pekerjaan keselamatan
sekali lagi dibuat tergantung pada manusia. Ini
menandakan permulaan dari suatu pengembalian rasionalistik pada posisi /
pandangan Pelagian, yang sepenuhnya menolak perlunya suatu operasi / pekerjaan
di dalam dari Roh Kudus kepada keselamatan) - ‘Systematic Theology’ (Libronix),
hal 459.
Loraine Boettner: “Arminianism
in its radical and more fully developed forms is essentially a recrudescence of
Pelagianism, a type of self-salvation. ... Arminianism at its best is a
somewhat vague and indefinite attempt at reconciliation, hovering midway
between the sharply marked systems of Pelagius and Augustine, taking off the
edges of each, and inclining now to the one, now to the other. Dr. A.A. Hodge
refers to it as a ‘manifold and elastic system of compromise’” (= Arminianisme
dalam bentuknya yang radikal dan berkembang penuh pada dasarnya adalah bangkit
kembalinya Pelagianisme, suatu type keselamatan oleh diri sendiri. ... Arminianisme dalam keadaan paling baik adalah usaha
memperdamaikan yang agak samar-samar dan tidak pasti, melayang di tengah-tengah
antara sistim yang ditandai dengan jelas dari Pelagius dan Agustinus,
mengurangi kekuatan / ketajaman dari masing-masing pihak, dan kadang-kadang
condong kepada yang satu, kadang-kadang kepada yang lain. Dr. A. A. Hodge
menunjuk kepadanya sebagai suatu ‘sistim kompromi yang bermacam-macam dan
bersifat elastis’) - ‘The Reformed Doctrine of
Predestination’, hal 48.
Charles Hodge: “According to one view
the same influence at one time, or exerted on one person, produces a saving
effect; and at other times, or upon other persons, fails of such effect. In the
one case it is called efficacious, and in the other not. This is not what
Augustinians mean by the term. By the Semi-Pelagians, the Romanists, and the
Arminians, that influence of the Spirit which is exerted on the minds of all
men is called ‘sufficient grace.’ By the two former it is held to be sufficient
to enable the sinner to do that which will either merit or secure larger
degrees of grace which, if duly improved, will issue in salvation. The
Arminians admit that the fall of our race has rendered all men utterly unable,
of themselves, to do anything truly acceptable in the sight of God. But they
hold that this inability, arising out of the present state of human nature, is
removed by the influence of the Spirit given to all. This is called ‘gracious
ability’; that is, an ability due to the grace, or the supernatural influence
of the Spirit granted to all men. On both these points the language of the
Remonstrant Declaration or Confession is explicit. It is there said, ‘Man has
not saving faith from himself, neither is he regenerated or converted by the force
of his own free will; since, in the state of sin, he is not able of and by
himself to think, will, or do any good thing, - any good thing that is saving
in its nature, particularly conversion and saving faith. But it is necessary
that he be regenerated, and wholly renewed by God in Christ, through the truth
of the gospel and the added energy of the Holy Spirit, - in intellect,
affections, will, and all his faculties, - so that he may be able rightly to
perceive, meditate upon, will, and accomplish that which is a saving good.’ On
the point of sufficient grace the Declaration says: ‘Although there is the
greatest diversity in the degrees in which grace is bestowed in accordance with
the divine will, yet the Holy Ghost confers, or at least is ready to confer,
upon all and each to whom the word of faith is ordinarily preached, as much
grace as is sufficient for generating faith and carrying forward their
conversion in its successive stages. Thus sufficient grace for faith and
conversion is allotted not only to those who actually believe and are
converted, but also to those who do not actually believe and are not in fact
converted.’ In the Apology for the Remonstrance, it is said, ‘The
Remonstrants asserted that the servitude to sin, to which men (per naturœ conditionem) in
their natural state, are subject, has no place in a state of grace. For they
hold that God gives sufficient grace to all who are called, so that they can be
freed from that servitude, and at the same time they have liberty of will to
remain in it if they choose.’”
[= Menurut
satu pandangan, pengaruh yang sama pada satu saat, atau digunakan kepada satu
orang, menghasilkan hasil / akibat yang menyelamatkan; dan pada saat-saat lain,
atau kepada orang-orang lain, gagal menghasilkan hasil / akibat seperti itu.
Dalam kasus yang satu itu disebut mujarab, dan dalam kasus yang lain tidak. Ini bukanlah apa yang orang-orang Augustinian artikan dengan
istilah itu. Oleh orang-orang Semi-Pelagian,
orang-orang Roma (Katolik), dan orang-orang
Arminian, pengaruh dari Roh Kudus itu, yang digunakan pada
pikiran-pikiran dari semua orang, disebut ‘kasih
karunia yang cukup’. Oleh dua kelompok yang terdahulu, itu dipercaya
sebagai cukup untuk memampukan orang berdosa untuk melakukan apa yang berjasa
atau memastikan kasih karunia dalam tingkat yang lebih besar, yang jika
ditingkatkan dengan seharusnya / sepatutnya, akan menghasilkan keselamatan. Orang-orang Arminian mengakui bahwa kejatuhan dari umat
manusia telah membuat semua manusia sama sekali tidak mampu, dari diri mereka
sendiri, untuk melakukan apapun yang betul-betul bisa diterima dalam pandangan
Allah. Tetapi mereka menganggap bahwa ketidak-mampuan, muncul dari keadaan
sekarang ini dari manusia, disingkirkan oleh pengaruh dari Roh Kudus yang
diberikan kepada semua orang. Ini disebut ‘kemampuan yang bersifat kasih
karunia’; artinya, suatu kemampuan yang disebabkan oleh kasih karunia, atau
pengaruh supranatural dari Roh yang diberikan kepada semua orang.
Tentang kedua pokok ini bahasa / kata-kata dari Pernyataan atau Pengakuan
Remonstrant adalah explicit. Dikatakan di sana, ‘Manusia
tidak mempunyai iman yang menyelamatkan dari dirinya sendiri, juga ia tidak
dilahirbarukan atau dipertobatkan oleh kekuatan dari kehendak bebasnya sendiri;
karena, dalam keadaan berdosa, ia tidak mampu dari dan oleh dirinya sendiri
untuk berpikir, menghendaki, atau melakukan hal baik apapun, - hal baik apapun
yang menyelamatkan dalam sifat dasarnya sendiri, khususnya pertobatan dan iman
yang menyelamatkan. Tetapi adalah perlu bahwa ia dilahir-barukan, dan sepenuhnya
diperbaharui oleh Allah dalam Kristus, melalui kebenaran dari injil dan
kekuatan tambahan dari Roh Kudus, - dalam intelek, perasaan, kehendak, dan
semua kekuatan yang membentuk pikirannya, - sehingga ia bisa mampu untuk dengan
benar mengerti, merenungkan, menghendaki, dan mencapai apa yang adalah kebaikan
yang menyelamatkan’. Tentang
pokok tentang kasih karunia yang cukup Pernyataan ini mengatakan: ‘Sekalipun di sana ada perbedaan yang
terbesar dalam tingkat-tingkat dalam mana kasih karunia diberikan sesuai dengan
kehendak ilahi, tetapi Roh Kudus memberi, atau setidaknya siap untuk memberi,
kepada semua orang dan setiap orang kepada siapa firman dari iman dikhotbahkan
secara biasa, kasih karunia sebanyak yang mencukupi untuk menimbulkan / melahirkan
iman dan melancarkan pertobatan mereka dalam tahap-tahap yang berturut-turut.
Demikianlah kasih karunia yang cukup untuk iman dan pertobatan diberikan /
dibagikan bukan hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh percaya dan
dipertobatkan, tetapi juga kepada mereka yang tidak sungguh-sungguh percaya dan
dalam faktanya tidak dipertobatkan.’ Dalam Apology untuk Remonstrance, dikatakan, ‘Orang-orang Remonstrant menegaskan
bahwa perhambaan kepada dosa, kepada mana orang-orang tunduk dalam keadaan
alamiah mereka (per
naturœ conditionem), tidak mempunyai tempat dalam keadaan dari
kasih karunia. Karena mereka memandang bahwa Allah memberikan kasih karunia
yang cukup kepada semua orang yang dipanggil, sehingga mereka bisa dibebaskan
dari perhambaan itu, dan pada saat yang sama mereka mempunyai kebebasan dari
kehendak untuk tetap di dalamnya jika mereka memilih’.] - ‘Systematic Theology’, vol II, hal
675-676.
3) Calvinisme / Reformed mengatakan bahwa semua manusia begitu rusak,
sehingga harus ada kasih karunia Allah yang diberikan kepada mereka sehingga
mereka percaya. Kasih karunia Allah ini ‘tidak bisa ditolak’, dalam arti
bahwa kasih karunia Allah itu secara efektif akan mempertobatkan mereka.
a) Istilah ‘Irresistible’
(= tidak bisa ditolak) sering disalah-artikan sebagai ‘pemaksaan’.
Steven
Liauw: “Bisa-bisa saja bahwa Kalvinis tidak memakai istilah ‘memaksakan.’
Tetapi saya sudah beri dalam tanda kurung penjelasan lebih lanjut: ‘Memberi
tanpa dapat ditolak.’ Asali mengakui dipakainya istilah irresistible grace. Bagi
saya, irresistible dan ‘tidak dapat ditolak’ sudah sama dengan memaksa.
Kalvinis mengatakan bahwa manusia menerima
Kristus dengan senang hati karena dilahirbarukan dulu oleh Tuhan. Tetapi kelahiran kembali itu kan
juga kasih karunia. Jadi sebelum manusia
itu lahir baru, dia berdosa, mati dalam dosa. Dalam kondisinya yang mati
dalam dosa itu, apakah
dia mau lahir baru?
Kalvinis akan menjawab bahwa manusia yang mati dalam dosa, tidak mau lahir baru. Jadi, dalam Kalvinisme, manusia (yang selamat) dilahirbarukan tanpa pilihan, tanpa dapat menolak, dan bertentangan
dengan keinginan dia (dia tidak mau lahir baru sebelum dilahirbarukan). Pembacalah yang dapat
menilai, apakah ini tidak mirip
dengan pemaksaan? Percuma untuk
mengatakan bahwa setelah lahir baru dia akan menerima Kristus dengan rela hati,
karena: 1. Dia tidak punya pilihan
untuk mau lahir baru atau tidak (jadi kelahiran baru dipaksakan padanya). 2. kerelaan hatinya adalah sesuatu yang telah Tuhan tetapkan dan
toh tidak mungkin dia lawan. Permasalahannya bukanlah apakah Kalvinis mau
mengakui ini ‘memaksa’ atau tidak. Kalvinis boleh jadi tidak mau mengakui,
tetapi saya menyimpulkan. Silakan publik yang menilai”. (graphe - Liauw4.doc).
Kalau kelahiran baru mau
dianggap sebagai paksaan, maka bagaimana Arminianisme menjelaskan tentang
pemberian ‘prevenient grace’ (= kasih
karunia yang mendahului) kepada semua orang sejak lahir? Apakah Allah minta
ijin dari manusia untuk memberikannya? Juga dalam kelahiran jasmani, apakah
Allah minta ijin kepada siapapun untuk menciptakan dia? Dan menciptakan sebagai
apa (malaikat, manusia, atau binatang?). Dan kalau sebagai manusia, manusia
yang bagaimana? Itu juga adalah ‘pemaksaan’? Allah berdaulat, dan berhak
melakukan semua hal-hal ini, tanpa minta ijin / persetujuan dari siapapun!
Dan tentang istilah ‘irresistible’ (= yang tidak bisa
ditolak), saya kira Steven Liauw tidak memperhitungkan bahwa kata ‘irresistible’ (= tidak bisa ditolak) diambil dari acrostic /
acronym TULIP. Untuk bisa mendapatkan acrostic / acronym yang bagus, yaitu kata
TULIP, yang merupakan nama bunga, maka boleh dikatakan kata ‘Irresistible’ itu dipaksakan. Kata yang lebih tepat sebetulnya adalah ‘effectual’ / ‘effective’
(= berhasil), tetapi kalau digunakan kata yang tepat ini, maka acrostic / acronym
yang didapat adalah TULEP! Karena itu, maka dipaksakan penggunaan kata ‘irresistible’ (= tak bisa ditolak). Tetapi yang penting bukan istilah
/ kata itu sendiri, tetapi bagaimana para Calvinist menjelaskan / menjabarkan
doktrin ‘Irresistible Grace’ (= Kasih
karunia yang tidak bisa ditolak) itu!
Illustrasi: peanut butter (= selei
kacang), kalau diterjemahkan secara hurufiah adalah ‘mentega kacang’, tetapi ternyata
tidak mengandung butter / mentega. Seorang penulis di internet mengatakan bahwa
‘peanut butter’ tidak mengandung butter / mentega sama seperti ‘butterfly’ (=
kupu-kupu) juga tidak mengandung butter / mentega! Lalu mengapa dinamakan
‘peanut butter’? Karena bisa dioleskan dengan mudah pada roti, sama
seperti mengoleskan butter / mentega pada roti! Jadi, untuk mengartikan suatu
kata, kadang-kadang kita perlu menelusuri dari mana / mengapa kata itu
digunakan.
Catatan: penulis lain di internet
mengatakan bahwa memang ada ‘peanut butter’ yang ditambahi dengan butter /
mentega dan gula dll, tetapi sebetulnya tidak demikian.
BACA JUGA: YESUS KRISTUS=YHWH (YAHWEH)
Illustrasi lain: istilah ‘Bunda Allah’ (THEOTOKOS) untuk Maria, disetujui oleh Sidang Gereja Efesus pada tahun 431 M. Ini menyebabkan istilah itu lalu disalah-artikan dalam Gereja Roma Katolik, dan menyebabkan Maria ditinggikan dan dihormati lebih dari seharusnya (dan bahkan menurut pandangan kita, ia disembah oleh orang-orang Katolik). Padahal istilah ini disahkan dalam Sidang Gereja itu karena pada saat itu ada ajaran sesat yang disebut Nestorianisme, yang mengatakan bahwa Maria hanyalah mengandung dan melahirkan Kristus (manusia Yesus), dan lalu Allah masuk ke dalamNya, sehingga Yesus adalah 2 pribadi. Karena itu, mereka mengusulkan istilah KHRISTOTOKOS (Bunda Kristus) untuk Maria. Sidang Gereja Efesus secara benar mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’ (THEOTOKOS) untuk Maria, karena yang dilahirkan oleh Maria adalah satu pribadi, yang adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Lagi-lagi dari contoh ini kita bisa melihat bahwa suatu istilah kadang-kadang perlu ditelusuri asal usulnya untuk bisa dimengerti dengan benar.
b) Banyak orang Arminian / non Reformed yang
menganggap (atau ‘memfitnah’) bahwa Irresistible
Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak) berarti bahwa Allah memaksa
orang-orang tertentu untuk masuk surga sekalipun mereka tidak menginginkannya,
dan tidak mengijinkan orang-orang lain untuk masuk surga padahal mereka ingin
percaya Kristus dan masuk surga.
Suhento Liauw: “Sama
seperti Limited Atonement,
Irresistible Grace adalah poin nalar lanjutan dari serangkaian
nalar Calvin. Karena nalar mereka menyimpulkan bahwa Kristus hanya memilih
sebagian orang sehingga Ia tidak mungkin menebus semua orang, maka penebusan
Kristus sewajarnya bersifat terbatas dari situ terciptalah konsep Limited
Atonement. Nalar lanjutannya, jika Kristus hanya memilihi sebagian kecil orang
untuk masuk Sorga, dan hanya menebus mereka saja, maka orang yang terpilih
serta yang tertebus tidak mungkin dapat menolak anugerah itu. Inilah dasar dari
konsep Irresistible Grace.
Bisakah disimpulkan bahwa sesungguhnya ada orang yang pada dasarnya tidak ada
keinginan masuk Sorga namun apa boleh buat karena telah terpilih maka tidak
dapat menolak sehingga terpaksa masuk Sorga? Sebaliknya ada orang yang sangat
ingin masuk Sorga namun saying (sayang) sekali ia tidak terpilih dan akhirnya masuk neraka? Sebagian Calvinis mengiyakan dan sebagian membantah.”.
Catatan: ini
dari tulisan Suhento Liauw tentang ‘Irresistible
Grace’ (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Kalimat terakhir yang saya garis-bawahi itu jelas merupakan
fitnahan! Mengapa? Saya tidak percaya ada ahli theologia Calvinist atau
Calvinist sejati manapun yang mengiyakan omong kosong ini. Kalau
memang ada, mengapa Suhento Liauw tidak memberikan kutipan dari kata-kata orang
Calvinist itu? Doktor murahan ini hanya bicara (memfitnah) tanpa bukti apapun!
Omong kosong yang mengatakan bahwa Allah membawa orang-orang dengan paksaan ke
surga itu, merupakan suatu karikatur (gambaran yang sengaja disalahkan) tentang
ajaran / doktrin ‘Irresistible Grace’
(= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak) ini!
R. C. Sproul: “Much
confusion exists on this point. I remember the first lecture I ever heard from
John Gerstner. It was on the subject of predestination. Shortly into his
lecture Dr. Gerstner was interrupted by a student who was waving his hand in
the air. Gerstner stopped and acknowledged the student. The student asked, ‘Dr.
Gerstner, is it safe to assume that you are a Calvinist?’ Gerstner answered,
‘Yes,’ and resumed his lecture. A few moments later a gleam of recognition
appeared in Gerstner’s eyes and he stopped speaking in mid-sentence and asked
the student, ‘What is your definition of a Calvinist?’ The student replied, ‘A
Calvinist is someone who believes that God forces some people to choose Christ
and prevents other people from choosing Christ.’ Gerstner was horrified. He
said, ‘If that is what a Calvinist is, then you can be sure that I am not a
Calvinist.’ The student’s misconception of irresistible grace is widespread. I
once heard the president of a Presbyterian seminary declare, ‘I am not a
Calvinist because I do not believe that God brings some people, kicking and
screaming against their wills, into the kingdom, while he excludes others from
his kingdom who desperately want to be there.’ I was astonished when I heard
these words. I did not think it possible that the president of a Presbyterian
seminary could have such a gross misconception of his own church’s theology. He
was reciting a caricature which was as far away from Calvinism as one could
get. Calvinism does not teach and never has taught that God brings people
kicking and screaming into the kingdom or has ever excluded anyone who wanted
to be there. Remember that the cardinal point of the Reformed doctrine of
predestination rests on the biblical teaching of man’s spiritual death. Natural
man does not want Christ. He will only want Christ if God plants a desire for
Christ in his heart. Once that desire is planted, those who come to Christ do
not come kicking and screaming against their wills. They come because they want
to come. They now desire Jesus. They rush to the Savior. The whole point of
irresistible grace is that rebirth quickens someone to spiritual life in such a
way that Jesus is now seen in his irresistible sweetness. Jesus is irresistible
to those who have been made alive to the things of God. Every soul whose heart
beats with the life of God within it longs for the living Christ. All whom the
Father gives to Christ come to Christ (John 6:37).” [= Ada banyak kebingungan tentang
pokok ini. Saya teringat pelajaran pertama yang pernah saya dengar dari John
Gerstner. Itu adalah tentang pokok predestinasi. Begitu masuk ke dalam
pelajarannya, Dr. Gerstner diinterupsi oleh seorang mahasiswa yang melambaikan
tangannya di udara. Gerstner berhenti dan mengenali / menjawab mahasiswa itu.
Mahasiswa itu bertanya, ‘Dr. Gerstner, apakah tepat
untuk menganggap bahwa engkau adalah seorang Calvinist?’ Gerstner menjawab,
‘Ya’, dan melanjutkan pelajarannya. Beberapa saat kemudian sekilas perhatian
tampak / muncul di mata Gerstner dan ia berhenti berbicara di tengah-tengah
kalimat dan bertanya kepada mahasiswa itu, ‘Apa definisimu tentang seorang
Calvinist?’ Mahasiswa itu menjawab, ‘Seorang
Calvinist adalah seseorang yang percaya bahwa Allah memaksa sebagian orang
untuk memilih Kristus dan mencegah orang-orang lain dari memilih Kristus’.
Gerstner terkejut. Ia
berkata, ‘Jika itu adalah seorang Calvinist, maka engkau bisa yakin / pasti
bahwa saya bukanlah seorang Calvinist’. Kesalah-mengertian mahasiswa
itu tentang ‘kasih karunia yang tidak bisa ditolak’ tersebar luas. Saya pernah mendengar seorang presiden dari suatu seminari
Presbyterian menyatakan, ‘Saya bukanlah seorang Calvinist karena saya tidak
percaya bahwa Allah membawa sebagian orang, sambil menendang-nendang dan
menjerit-jerit bertentangan dengan kehendak mereka, ke dalam kerajaan,
sementara / sedangkan Ia mengeluarkan orang-orang lain dari kerajaanNya, yang
benar-benar ingin untuk berada di sana’. Saya heran pada waktu saya mendengar kata-kata
ini. Saya menganggap mustahil bahwa presiden dari suatu seminari Presbyterian
bisa mempunyai suatu kesalah-mengertian yang begitu besar tentang theologia
gerejanya sendiri. Ia sedang mengutip suatu karikatur / penggambaran
yang sengaja disalahkan, yang adalah sejauh mungkin dari Calvinisme yang bisa
didapatkan seseorang. Calvinisme tidak mengajar
dan tidak pernah mengajar bahwa Allah membawa orang-orang, yang sambil
menendang-nendang dan menjerit-jerit, ke dalam kerajaan, atau pernah
mengeluarkan siapapun yang ingin berada di sana. Ingat bahwa pokok
utama dari doktrin Reformed tentang predestinasi bersandar / terletak pada
ajaran Alkitabiah tentang kematian rohani manusia. Manusia alamiah tidak
menghendaki Kristus. Ia hanya akan menghendaki Kristus jika Allah menanamkan
suatu keinginan untuk Kristus dalam hatinya. Satu
kali keinginan itu ditanamkan, mereka yang datang kepada Kristus tidak datang
dengan menendang-nendang dan menjerit-jerit bertentangan dengan kehendak
mereka. Mereka datang karena mereka ingin / mau datang. Sekarang mereka
menginginkan Yesus. Mereka lari dengan tergesa-gesa kepada sang
Juruselamat. Seluruh pokok tentang kasih karunia yang tidak bisa ditolak adalah
bahwa kelahiran kembali menghidupkan seseorang pada kehidupan rohani dengan
cara sedemikian rupa sehingga sekarang Yesus terlihat dalam kemanisanNya yang
tidak bisa ditolak. Yesus tidak bisa ditolak bagi mereka yang telah dibuat
hidup bagi hal-hal dari Allah. Setiap jiwa yang hatinya berdenyut dengan
kehidupan dari Allah di dalamnya rindu akan Kristus yang hidup. Semua yang Bapa
berikan kepada Kristus datang kepada Kristus (Yoh 6:37).] - ‘Chosen By God’, hal 121-123.
Yoh 6:37 - “Semua yang diberikan Bapa
kepadaKu akan datang kepadaKu, dan barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak
akan Kubuang.”.
R.
C. Sproul:
“The position of Augustine, Martin Luther, John Calvin, and others is so
often caricatured to mean that in God’s gracious election he brings people
kicking and screaming against their wills into his kingdom. The Augustinian
view is that God changes the recalcitrant and enslaved sinner’s will by the
Spirit’s changing his internal bent, disposition, or inclination. Augustinians
have spelled out this view so often and so clearly, it is amazing that the
caricature is so often repeated.”
[= Posisi dari Agustinus, Martin Luther, John Calvin, dan yang lain-lain,
begitu sering dengan sengaja digambarkan secara salah sehingga berarti bahwa
dalam pemilihan yang bersifat kasih karunia dari Allah, Ia membawa orang-orang
yang menendang-nendang dan menjerit-jerit bertentangan dengan kehendak mereka
ke dalam kerajaanNya. Pandangan Agustinian adalah
bahwa Allah mengubah kehendak yang keras kepala dan diperbudak dari orang
berdosa oleh Roh yang mengubah kecenderungan atau kecondongan batinnya.
Orang-orang Agustinian telah menunjukkan pandangan ini begitu sering dan dengan
begitu jelas, dan adalah mengherankan bahwa karikatur / gambaran yang sengaja
disalahkan ini begitu sering diulang.] - ‘Willing to
Believe’, hal 94 (Libronix).
Bdk. Kis 16:14-15 - “(14)
Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia
seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus. (15) Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan
seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: ‘Jika kamu berpendapat, bahwa aku
sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku.’ Ia
mendesak sampai kami menerimanya.”.
Saya akan memberi komentar
dari 2 penafsir Arminian tentang text ini, yaitu dari Adam Clarke dan Lenski.
Adam Clarke (tentang
Kis 16:14): “‘Whose
heart the Lord opened,’ As she was a sincere worshipper of God, she was
prepared to receive the heavenly truths spoken by Paul and his companions; and,
as she was faithful to the grace she had received, so God gave her more grace,
and gave her now a divine conviction that what was spoken by Paul was true; and
therefore she attended unto the things - she believed them and received them as
the doctrines of God; and in this faith she was joined by her whole family, and
in it they were all baptized.” (= ‘Yang
hatinya Tuhan bukakan’, Karena ia adalah seorang
penyembah Allah yang tulus / sungguh-sungguh, ia siap / disiapkan untuk menerima
kebenaran-kebenaran surgawi yang dikatakan oleh Paulus dan teman-temannya;
dan, karena ia setia pada kasih karunia yang telah
ia terima, maka
Allah memberi dia kasih karunia lebih banyak lagi, dan sekarang memberinya
suatu keyakinan ilahi bahwa apa yang dikatakan oleh Paulus adalah benar;
dan karena itu ia memperhatikan hal-hal itu - ia mempercayainya dan menerimanya
sebagai doktrin / ajaran dari Allah; dan dalam iman ini ia digabungkan dengan
seluruh keluarganya, dan di dalamnya mereka semua dibaptis.).
Tanggapan
saya: perhatikan bagaimana Adam Clarke menafsirkan ayat ini, sehingga
menjadi sesuai dengan pandangan Arminian, yang telah saya bahas di atas. Perlu
ditanyakan kepada Adam Clarke: karena apa Lidia menjadi penyembah Allah yang
sungguh-sungguh? Karena dia sendiri, atau karena pekerjaan Tuhan?
Lenski (tentang Kis 16:14): “The Lord opens the
heart, but the hand with which he lifts the latch and draws the door is the
Word which he makes us hear, and the door opens as we heed, προσέχειν, keep holding our mind to what we hear. No
man can open the door of his heart (καρδία is the center of thought and will) himself, nor can
he help the Lord to open it by himself lifting the latch and moving the door.
The one thing he can do is to bolt the door, i. e., refuse to hear and to heed;
and thus he can keep the door closed and bar it even more effectually than it
was at first. This prevents conversion.”
[= Tuhan membuka hati, tetapi tangan dengan mana Ia mengangkat palang pintu dan
menarik pintu adalah Firman yang Ia buat kita mendengar, dan pintu terbuka pada
saat kita memperhatikan, προσέχειν / PROSEKHEIN, tetap mempertahankan pikiran kita pada
apa yang kita dengar. Tak seorangpun bisa membuka pintu hatinya (καρδία /
KARDIA adalah pusat dari pikiran dan kehendak) sendiri, juga ia tidak bisa
menolong Tuhan untuk membukanya dengan dirinya sendiri mengangkat palang pintu
dan menggerakkan pintu. Satu hal yang bisa ia
lakukan adalah memalang / menggrendel pintu, yaitu, menolak untuk mendengar dan
memperhatikan; dan dengan demikian ia bisa menjaga pintu sehingga tetap
tertutup dan memalangnya bahkan dengan lebih efektif dari pada pada awalnya.
Ini menghalangi pertobatan.].
Tanggapan saya: lagi-lagi suatu
pembengkokan ayat, supaya menjadi sesuai dengan pandangan Arminian. Bagaimana
mungkin Kis 16:14 yang berbunyi ‘Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus’ bisa diartikan bahwa Lidia bisa menutup hatinya dengan tidak mendengar
/ memperhatikan?
Bdk. Wah 3:7-8 - “(7)
‘Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Filadelfia: Inilah firman dari Yang
Kudus, Yang Benar, yang memegang kunci Daud; apabila
Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak
ada yang dapat membuka. (8) Aku tahu segala pekerjaanmu: lihatlah, Aku telah membuka pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh
seorangpun. Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau
menuruti firmanKu dan engkau tidak menyangkal namaKu.”.
Sekalipun ada yang
menafsirkan bahwa pintu di sini adalah pintu pada pelayanan, tetapi saya yakin
bahwa kata-kata ini juga berlaku bagi ‘pintu hati’. Kalau Tuhan membuka pintu
hati kita, kita pasti mau mendengar dan memperhatikan firman. Perhatikan kata ‘sehingga’ yang saya garis-bawahi
dalam Kis 16:14 di atas.
Bandingkan dengan:
Luk 24:45 - “Lalu
Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.”.
Kis 26:17-18 - “(17)
Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan
Aku akan mengutus engkau kepada mereka, (18) untuk membuka
mata mereka, supaya mereka berbalik dari
kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka
oleh iman mereka kepadaKu memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam
apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan.”.
Tetapi bagaimana dengan Wah 3:20 - “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok;
jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk
mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama
dengan Aku.”?
Memang kalau dilihat Wah 3:20 ini, seakan-akan manusia
bisa ‘tidak membuka pintu hatinya’. Tetapi yang perlu diperhatikan tentang ayat
ini adalah bahwa di sini tidak dikatakan bahwa Tuhan
membuka pintu hati. Hanya dikatakan Yesus mengetok pintu. Ini menunjuk pada
pemberitaan Injil secara lahiriah, yang memang bisa ditolak oleh orang yang
mendengarnya.
Sekarang mari kita
bandingkan dengan tafsiran dari Calvin tentang Kis 16:14-15.
Calvin (tentang Kis 16:14): “it
may be that Lydia had some companions, whereof there is no mention made,
because she did far excel them all. And Luke doth not assign that for the cause
why this one woman did show herself apt to be taught, because she was more
witty than the rest, or because she had some preparation of herself; but he
saith that the Lord opened her heart that she might give ear and take heed to
the speech of Paul. He had of late commended her godliness; and yet he showeth
that she could not comprehend the doctrine of the gospel, save only through the
illumination of the Spirit. Wherefore, we see that not faith alone, but all
understanding and knowledge of spiritual things, is the peculiar gift of God,
and that the ministers do no good by teaching and speaking unless the inward
calling of God be thereunto added. By the word ‘heart,’ the Scripture meaneth
sometimes the mind, as when Moses saith, ‘God hath not given thee hitherto a
heart to understand.’ So likewise in this place, Luke doth not only signify
unto us that Lydia was brought by the inspiration of the Spirit, with affection
of heart to embrace the gospel, but that her mind was lightened, that she might
understand it. By this let us learn that such is the blockishness, such is the
blindness of men, that in seeing they see not, in hearing they hear not, until
such time as God doth give them new eyes and new ears.”
(= mungkin Lidia mempunyai beberapa
teman, tentang siapa tak ada penyebutan dibuat, karena ia melakukan apa yang
jauh melebihi mereka semua. Dan Lukas memberikan sebagai alasan mengapa perempuan yang
satu ini menunjukkan dirinya sendiri cocok untuk diajar, bukan karena ia lebih
pandai dari pada sisanya / yang lain, atau karena ia telah menyiapkan dirinya
sendiri; tetapi ia mengatakan bahwa Tuhan
membuka hatinya sehingga ia bisa mendengar dan memperhatikan ucapan Paulus.
Ia baru saja memuji kesalehannya; tetapi ia
menunjukkan bahwa ia tidak bisa mengerti doktrin / ajaran dari injil, kecuali
melalui pencerahan dari Roh. Karena itu, kita melihat bahwa bukan iman saja, tetapi semua pengertian dan pengetahuan
tentang hal-hal rohani, adalah karunia khusus dari Allah, dan bahwa
pendeta-pendeta / pelayan-pelayan tidak melakukan kebaikan dengan pengajaran
dan pembicaraan kecuali panggilan di dalam dari
Allah ditambahkan padanya. Dengan kata ‘hati’, Kitab Suci
kadang-kadang memaksudkan ‘pikiran’, seperti pada waktu Musa berkata, ‘Allah
tidak / belum memberi kamu sampai saat ini suatu hati untuk mengerti’. Demikian
juga di tempat ini, Lukas tidak hanya memberitahu kita bahwa Lidia dibawa oleh
ilham dari Roh, dengan perasaan / kasih dari hati untuk mempercayai injil,
tetapi bahwa pikirannya diterangi, supaya ia bisa
mengertinya. Dengan ini hendaklah kita belajar bahwa demikianlah
kebodohan / ketumpulan, demikianlah kebutaan, dari manusia, sehingga dalam
melihat mereka tidak melihat, dalam mendengar mereka tidak mendengar, sampai waktu dimana Allah memberi mereka mata yang baru dan
telinga yang baru.).
Ul 29:4 - “Tetapi
sampai sekarang ini TUHAN tidak
memberi kamu akal budi untuk mengerti atau mata untuk melihat atau telinga
untuk mendengar.”.
Jadi,
istilah ‘irresistible’ (= tidak bisa
ditolak) tidak berarti bahwa orang
itu terpaksa / dipaksa menerima keselamatan. Tetapi melalui kelahiran
baru ia diubahkan sedemikian rupa sehingga ia sendiri mau menerima
keselamatan dalam Yesus Kristus itu.
Calvin memberi komentar
tentang Yoh 6:44 - “Tidak
ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan
Kubangkitkan pada akhir zaman.”.
Calvin (tentang
Yoh 6:44): “True, indeed, as to
the kind of drawing, it is not violent, so as to compel men by external force; but
still it is a powerful impulse of the Holy Spirit, which makes men willing who formerly were unwilling and reluctant” (= Memang, tentang jenis tarikan, itu bukan sesuatu tarikan yang keras / kasar, seakan-akan
memaksa manusia dengan kekuatan luar; tetapi itu tetap merupakan dorongan
yang kuat dari Roh Kudus, yang membuat manusia
yang tadinya tidak mau dan segan menjadi mau) - hal 257.
Jadi, Alkitab sendiri
menggunakan kata ‘ditarik’ yang seolah-olah menunjukkan suatu pemaksaan, tetapi dalam menafsirkan
ayat itu, Calvin mengatakan bahwa itu bukan menggunakan kekuatan luar untuk
memaksa seseorang untuk percaya, tetapi dengan mengubah orang tersebut sehingga
ia yang tadinya tidak mau, menjadi mau.
Arthur W. Pink: “the
Holy Spirit does something more in
each of God’s elect than He does in the non-elect: He works in them ‘both to
will and to do of God’s good pleasure’ (Philippians 2:13).” [= Roh Kudus memang
melakukan sesuatu yang lebih dalam setiap orang-orang pilihan dari pada
yang Ia lakukan dalam orang-orang non pilihan: Ia bekerja dalam mereka ‘baik untuk menghendaki maupun untuk
melakukan dari perkenan yang baik dari Allah’ (Fil 2:13).] - ‘The Sovereignty of
God’ (AGES), hal 118.
Fil 2:13 - “karena Allahlah yang mengerjakan
di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan
menurut kerelaanNya”.
Terjemahan
Kitab Suci Indonesia kurang jelas. Perhatikan dan bandingkan dengan terjemahan-terjemahan
Kitab Suci bahasa Inggris di bawah ini:
KJV: ‘For it is God which worketh in you both to
will and to do of his good pleasure’ (= Karena Allahlah yang
bekerja dalam kamu baik untuk menghendaki maupun
untuk melakukan dari kesenanganNya yang baik).
RSV: ‘for God is at work in you, both to will and
to work for his good pleasure’ (= karena Allah bekerja dalam
kamu, baik untuk menghendaki maupun untuk
mengerjakan untuk kesenanganNya yang baik).
NIV: ‘for it is God who works in you to will and
to act according to his good purpose’ (= karena Allahlah yang
bekerja dalam kamu untuk menghendaki dan untuk
berbuat menurut rencanaNya yang baik).
NASB: ‘for it is God who is at work in you, both
to will and to work for His good pleasure’ (= karena Allahlah
yang bekerja dalam kamu, baik untuk menghendaki
maupun untuk mengerjakan untuk kesenanganNya yang baik).