FALL AND CULTURE

Pdt. DR. Stephen Tong.

FALL AND CULTURE
 FALL AND CULTUREAlkitab bukan hanya membicarakan soal masuk sorga dan soal kepercayaan saja. Alkitab juga mengajar kita memakai prinsip firman Allah yang orisinil untuk menyelesaikan masalah – masalah yang timbul, baik di bidang politik, masyarakat, seni dan lain – lain. Kita perlu memahami bukan hanya sistematika teologi tradisionil yang membahas tentang keselamatan, Kerajaan Allah, dan rencana Allah yang kekal, tetapi juga topik – topik yang berkenaan dengan konsep politik, konsep nilai, konsep kebudayaan, maupun konsep sejarah.

Kita yang hidup di dalam dunia ini tidak dapat menghindari pembahasan semacam ini, karena konsep dasar dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi reaksi hidup kita. Bila kita merenungkan secara mendalam dan mempunyai pemahaman konsep yang tepat, maka kita akan menjadi orang kristen yang mampu memuliakan Allah dan membawa berkat bagi sesama.

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : “Beranak cuculah dan bertambah banyak ; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan -–kan di laut dan burung – burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. “ TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan dalam taman eden untuk mengusahakan dan memeliharataman itu. ( Kejadian 1 : 28 dan 2 : 15 ).

Istilah cultivate ( LAI : mengusahakan ) yang terdapat dalam ayat ini adalah hubungannya dengan istilah culture. Berarti, manusia diciptakan menjadi mahluk yang mempunyai sifat kultur.

Jika kita memandang sejarah sebagai satu sistem sirkulasi, kiat akan menemukan bahwa di dalam sistem dan sirkulasi ini terdapat definisi – definisi yang seolah – olah tidak nampak namun sebenarnya ada. Bagaimana sirkulasi ini terjadi ? Pada saat seorang yang bijaksana mendisiplinkan tindakan yang kurang bijaksana, maka keprimitifan akan di kikis secara perlahan – lahan, sebab itu wisdom is conqueing the Barbarianism. Pendidikan tampil ke permukaan dan membentuk masyarakat yang berbudaya, dan bijaksana mulai melayani penguasa yang dominan. Seorang politikus yang mengerti hal ini kemusian akan bertekad untuk merebut dan menguasai orang – orang yang berbijaksana untuk melayani ambisi mereka. Ambisi politik terdapat dalam diri para pemimpin yang bengis, yang menganut pemikiran diktator. Padahal kuasa diktator secara mutlak akan menjadi penghancur kuasa politik. Pada saat kuasa kuasa tertinggi hancur kembalilah irama sejarah pada Barbarisme yang mendominasi kuasa politik yang tertinggi. Sirkulasi ini berlangsung sampai abad XX dan berkembang menjadi satu pengharapan bahwa demikrasi dapat menyelesaikan masalah ini.

Demokrasi perlu di bangun di atas dasar neutral information ( informasi yang netral, tidak terdistorsi ) dan pendidikan kultur, secara menyeluruh. Dengan demikian barulah demokrasi bisa berkembang. Namun hal seperti ini adalah idealisme yang tidak mungkin. ( Bagi saya, kemengan demokrasi mungkin sekali merupakan wujud pemikiran Barbarisme dari orang – orang zaman modern. Jangan heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika – yang mempunyai hikmat dan pengetahuan tinggi – akan jatuh ke dalam tangan orang – orang yang menyebut dirinya demokrat tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotika, homoseksual, aborsi, dan lain – lain. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemilihan Presiden sang calon kuat kalau – kalau rakyat tidak mau mendukungnya, sehingga dengan terpaksa dia harus mengadakan toleransi untuk bisa memperoleh kemenangan pada saat pemilihan. Dengan demikian sebenarnya dia telah mengganti demokrasi dengan kuasa ).

Di tengah – tengah sistem sirkulasi ini sejarah menunjukkan bahwa kebudayaan yang manusia bangun dengan susah payah telah membuat diri sendiri berada dalam satu krisis, suatu masalah yang mendalam dan serius.

Siapakah manusia ? Berapa pentingkah nilai sifat manusia ? Berapa potensi dan krisis sifat manusia ? Berapa besar potensi dan krisis sifat manusia ? Sesungguhnya manusia mempunyai potensi yang cukup untuk memahami masalah krisis ini hanya di dalam terang firman Tuhan, yang bahkan dapat menembus dan memahami sampai sedalam – dalamnya. Jadi seharusnya kristenlah satu – satunya yang dapat memberi penjelasan akan krisi ini. Jika kristenan hanya meraba – raba masalah superfisial yang manusia temui tiap – tiap hari dan tidak menemukan prinsip dasar yang Allah wahyukan, maka sumbangsih kekristenan terhadap dunia hanya untuk menghadapi kesementaraan dan tidak mampu bertahan lama.

Adakah unsur kejatuhan manusia di dalam dosa juga mencakup dalam kebudayaan ? Apakah kebudayaan di hasilkan setelah sejatuhan ? Atau kebudayaan sendir mempunyai kemungkinan untuk mencegah datangnya kejatuhan ? semua ini merupakan hal yang istimewa.

Ketika pemerintah menganjurkan rakyat untuk ber KB, mereka mengira ber KB dapat menyelesaikan ekonomi dan masyarakat. Maka mereka memakai berbagai alasan untuk menunjang ketetapan ini. Tapi 10 – 20 tahun kemudian, waktu mereka menemukan mayoritas rakyatnya adalah ‘manula‘ mereka kembali memberi semangat kepada rakyat untuk melahirkan banyak anak, sementara rakyat sudah terlanjur tidak suka mempunyai banyak anak. Saat mereka menemukan arah sejarah sudah susah di kembalikan, mereka baru menyesal akan keputusan yang pernah mereka tetapkan.

Lalu apakah setiap kali strategi dan aksi masyarakat yang kita pilih akan selalu menelurkan kesalahan – kesalahan yang baru di sadari pada kemudian hari ? ini hanya salah satu contoh untuk memikirkan apakah kejatuhan sendiri memang sudah tercakup di dalam kebudayaan.

Dari buku – buku dan hasil pemikiran rasio manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita tidak berhasil menemukan penyebab kejatuhan. Hanya di dalam firman Tuhan kita menemukan sebab utama dari semuanya ini.

Ketika kuasa politik berubah, ketika sistem dan cara pendidikan telah tersingkirkan, ada hal-hal yang lebih mendalam da yang sama sekali tidak berubah, yaitu :

1. Kebudayaan/kultur
2. Agama

Hal yang bersifat kultur dan agama selalu melampaui hal yang bersifat politik, masyarakat, ekonomi dan pendidikan. Komunis yang ingin mendongkel ajaran Konfusionisme justru binasa sendiri, dan pendidikan. Komunisme dan atheisme yang mengunggulkan konsep kosmologi mereka sebagai kebenaran yang mutlak dan memakainya untuk menyerang sistem pemikiran lama serta memperalat kuasa politik untuk memperoleh posisi yang menguntungkan. Tapi taktik politik bukanlah hal yang kekal. Tatkala komunisme dan atheisme sudah lenyap, kultur dan agama tetap ada. Yang membinasakan, tetapi yang dibinasakan tetap berada.

Allah adalah pencipta manusia yang adalah gambar dan rupaNya, sifat manusia yang memiliki gambar dan rupa Allah itu mencapai sampai puncaknya dengan memiliki dua sifat besar : sifat kebudayaan dan sifat agama. Manusia disebut manusia, karena manusia mempunyai sifat kultur dan sifat agama, dengan demikian barulah manusia bisa hidup mandiri, bisa melampaui alam, mengalahkan alam, kecuali sampai pada hari di mana batasan yang alam berikan kepadanya telah sampai. Manusia bukan hanya hidup selama beberapa puluh tahun di dunia, setelah manusia manusia meninggal, sifat kultur masih bisa berpengaruh bagi generasi berikut, sedangkan sifat agamanya membawa dia pulang ke tempat kekekalan dengan sejahtera.

Dari manakah datangnya sifat kultur dan sifat agama yang telah membentuk manusia ? Singkatnya memang ada secara alami. Begitu manusia lahir, dia sudah mempunyai sifat agama dan sifat kultur. Tetapi perhatikan bahwa tujuan dari sifat agama dan sifat kultur tidak bisa disejajarkan dengan alam.Jika kultur adalah produk alam, maka kultur tidak mungkin menjadi alat untuk menguasai alam. Jika sifat agama adalah produk alam, mengapa agama sering kali melampaui, menentang dan bahkan menggeser alam ? Jadi bila yang bersifat agama dan yang bersifat kultur bukan berasal dari alam, pasti hal – hal itu berasal dari sifat yang supraalami.

Itulah sebabnya para ahli ilmu alam seperti Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley, di dalam keheranannya mengatakan kalimat yang istimewa : “ Rasio dan hati nurani manusia sama sekali bukan produk evolusi “. Mereka sama sekali tidak memberitahukan dari mana asal ratio dan hati nurani manusia. Mereka hanya secara terpaksa mengakui adanya bagian supraalami di dalam diri manusia.

Kita menemukan dua macam unsur yang sama sekali berbeda telah membentuk sifat manusia kita, yakni : kita mempunyai tubuh yang hampir sama dengan binatang, membutuhkan makanan dan seks ; namun di dalam diri manusia masih terdapat satu unsur lain, yang ikut membentuk bagian yang lebih dalam dan lebih penting, yang bisa membuat kita tidak mengindahkan kemuliaan dan kemewahan dunia, memandang enteng akan kesengsaraan hidup, dan membuat kita mempunyai sifat – sifat transendental, seperti : tidak merasa iri, tidak membenci dan tidak merendahkan mereka yang lebih hina dari kita. Jika manusia hanya mempunyai kebutuhan makan dan seks saja, hidup kita di dunia ini tidaklah memiliki nilai istimewa.

Dari manakah datangnya unsur trasendental itu ? Tidak ada satu kultur yang bisa memberi jawab pada pertanyaan tersebut, karena tatkala manusia mencari tahu kebenaran ini, mereka langsung menetapkan bahwa unsur tersebut adalah produk kultur, sehingga mereka tidak betul – betul mempelajari dari mana unsur itu berasal. Hanya firman Tuhan menguraikan asal usul unsur itu dengan jelas. (sayang, hari ini banyak orang sudah keburu mati sebelum mereka mengerti kekristenan yang benar. Tapi yang paling kasihan adalah orang – orang yang setiap hari memperkenalkan kekristenan kepada orang lain, padahal diri mereka sendiri sama sekali tidak tahu apa – apa. Jadi bukan saja ada orang yang belum sempat memahami sudah mati, ada juga yang belum sempat memahami sudah berani mengajar orang lain, sehingga mereka bukan hanya tidak bisa menunjukkan nilai kekristenan yang sesungguhnya kepada dunia, bahkan diri mereka sendiri juga tidak menikmatinya, dan hidup mereka tentu tidak berbeda dengan mereka yang bergumul dengan alam : tanpa arah dan tanpa prinsip ).

Kultur membuat manusia mau dan harus melampaui alam. Maksudnya, tak perduli di dalam masyrakat yang paling maju teknologinya atau di antara bangsa yang paling primitif dan belum beradab sekalipun, kita akan menemukan sifat yang sama, yang melampaui alam, yang menguasai alam, yang menang atas alam yang memanfaatkan alam, dan yang membuat alam takluk dibawah dirinya.

Inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat dimusnahkan oleh binatang buas, karena manusia telah mempunyai kultur dan telah menaklukkan alam, sehingga manusia dapat menggunakan benda sebagai alat, dapat menjadikan hasil tanah sebagai suplai kebutuhan hidup, dan dapat memakai semua fungsi yang transendental ini untuk mengubah prinsip alam sebagai hamba manusia.

Bila kita pergi ke pedalaman, kita menemukan alat – alat mereka pakai, baik yang terbuat dari batu, kayu, bambu yang sangat sederhana, tetapi tetap terdapat hikmat yang tinggi. Orang – orang primitif memakai alat – alat itu untuk memelihara hidup mereka, dan khasiatnya tidak berbeda dengan bom atom yang digunakan oleh manusia modern.

Menaklukkan alam adaalh satu fungsi terbesar dari manusia, namun menusia juga menemukan bahwa sifat manusia yang bisa menaklukkan alam ini akan dihancurkan oleh alam. Maksudnya, manusia menaklukkan alam, tapi pada waktu tua dan mati, manusia dikebumikan oleh alam. Jadi sebenarnya manusia yang menaklukkan alam atau alam yang menaklukkan manusia ? Saling menaklukkan dan akhirnya ditaklukkan.

Manusia melampaui alam, tapi akhirnya manusia harus dikebumikan oelh alam. Manusia boleh saja memiliki tanah yang amat luas, tapi yang akhirnya dia peroleh hanyalah sebidang tanah yang luasnya 2 x 1 meter saja. Kultur pada akhirnya telah mendatangkan kehancuran bagi sifat manusia. Betapa ironis !
Lalu muncullah sifat lain yang ingin melebihi sifat pertama, yaitu yang di sebut sifat agama. Sifat agama bukan saja memberikan rasa tanggung jawab moral dan kelakuan, memberikan “ rasa “ kekal yang melampaui ke sementaraan, juga memberikan arah ibadah kepada Dia yang kekal. Lalu apakah akibat dari sifat agama ini ?

Mengaharapkan bahwa di balik fakta yang menaklukkan kita dan pengalaman yang kejam itu terdapat sesuatu yang melampaui semuai ini, sehingga suatu hari pada waktu kita tinggalkan dunia ini, kita masih tetap berada bahkan sampai selama – lamanya di dalam kebahagiaan yang kekal, di dalam nilai pengharapan yang kekal. Itulah sebabnya segala yang bersifat masyarakat, yang bersifat politik maupun yang bersifat ekonomi tidak mampu membasmi yang bersifat kultur dan agama. Manusia diesebut manusia karena dapat melampaui dan menaklukkan alam. Manusia yang hanya bisa menaklukkan alam tidak termasuk orang hebat, tapi mereka yang bisa sungguh – sungguh melampaui alam baru disebut orang hebat. Jadi kita bukan hanya memiliki hukum untuk menaklukkan alam, tapi juga memiliki arah dan hukum kekal. Deangan demikian barulah kita memiliki pengharapan dan arah yang kekal.

Kita telah membahas tentang pentingnya sifat kultur dan sifat agama dengan jelas. Lalu dari manakah sifat agama ? Dari manakah sifat kultur itu ? kita tidak boleh mengganggap sifat kultur dan sifat agama sebagai produk alam, juga tidak bisa menyebutnya sebagai produk dari proses evolusi. Bukan saja orang kristen menolak pendapat ini, bahkan para ahli evolusi juga mengakui bahwa sifat ini sendiri pasti mempunyai sumber lain, dan sumber ini adalah Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya.

Manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, jadi keberadaan Allah adalah dasar dari sifat kultur dan sifat agama. Allah adalah sumber utama dari sifat kultur dan sifat agama manusia. Sifat kultur dan sifat agama membuat manusia tidak bisa tidak memikirkan tentang kebenaran – kebanaran penting, seperti keberadaan Allah dan hubungan langsung antara manusia denganNya. Ahli agama memikirkan tentang Allah, para ahli kultur juga demikian. Ahli agama merenungkan tentang relasi manusia dengan kekekalan, ahli kultur merenungkan tentang nilai kekekalan itu sendiri. Ahli agama merenungkan tentang hal – hal yang melampaui alam, ahli kultur juga merenungkan bagaimana menaklukkan alam.

Agama dan kultur mempunyai topik dan wawasan pemikiran yang sama, tapi apakah agama itu kultur, atau kultur itu agama ? Bolehkah kita memperlakukan kultur sebagai agama, atau memperlakukan agama sebagai kultur ? Bolehkah kita mengkulturka agama atau ‘ mengagamakan ‘kultur‘ Apakah agama yang dikulturkan adalah agama murni atau kultur yang sudah diagamakan adala kultur yang murni ? siapakah yang menetapkan jaminan dari sifat agama ini ? Disepanjang sejarah, manusia terus ‘mengorek–ngorek‘ kultur yang dulu untuk dikukuhkan ulang atau ditolak ulang.

Tatkala orang Spanyol ingin memperingati jasa columbus yang ke 500 tahun, banyak orang menolak karena menganggap dia sebagai seorang pembunuh, seornag berambisi besar dan seorang perampok. Jadi siapa columbus, pahlawan atau penjahat ? ini relatif sekali.

Maka penetapan nilai dari sifat agama dan manusia, penetapan nilai dari sifat agama dan sifat kultur tidaklah dilakukan pada manusia, karena manusia adalah relatif, tidak mempunyai kuasa dan kemampuan untuk memberikan penetapan yang mutlak. Jadi penetapan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah.

Apakah dasar dari penetapan itu ? Kedaulatan dan wahyu Allah yang mutlak bijaksanan. Kedaulatan Allah yang mutlak dan wahyuNya yang penuh hikmat bukan saja menetapkan, tapi juga memeberikan inspirasi dan menggerakkan. Dengan inisiatifNya sendiri Allah memberikan inspirasi yang berdasarkan kedaulatanNya untuk menyatakan hikmatNya, yang adalah sumber dari kultur. Adapun agama kultur adalah respon manusia terhadap wahyu Allah, yaitu wahyu umum (yang berlainan dengan wahyu khusus ). Wahyu umum lebih berkaitan dengan alam, sementara wahyu khusus berkaitan dengan hal yang bersifat keselamatan. Yang kita bahas sekarang adalah wahyu umum. Pada saat wahyu umum diberikan, manusia memberikan respons, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat memberikan respons kepada Allah.

Pernahkan saudara mengunjungi pameran lukisan, pameran barang – barang seni, pameran sutera, atau pameran barang antik ? Ada sebagian orang yang melihat-lihat lalu pergi, sama sekali tidak memberikan respons, tapi ada yang sambil melihat menyatakan kekagumannya, dan mulai berbicara dan berkomentar. Ini memperlihatkan dia mulai memebrikan respons. Pernahkan kita melihat seekor kucing yang bisa berdialog dengan barang – barang seni ? Sekalipun kita membawa seekor anjing yang sangat pandai ke museum seni, dia juga tidak akan memberi respons, karena kemampuan untuk memebri respon hanya ada pada manusia.

Tatkala orang lain sedang membahas sebuah topik yang penting, sudahkah anda menerima apa yang dibahasnya atau anda hanya memperhatikan kesalahan tata bahasanya ?

Manusia yang bisa berespons terhadap wahyu barulah dapat menggunakan sifat manusia yang Allah ciptakan dengan baik.

Mengapa ada orang yang sambil membaca Alkitab sambil mengumpat kekristenan ? karena dia tidak dapat menerima kebenaran yang ada di dalamnya, dia hanya mencari kesalahan saja. Maka orang yang sama sekali tidak tergerak pada saat dia mendengarkan kebenaran yang penting, masalahnya bukan terdapat pada kebenaran itu tapi pada dirinya sendiri.

Wahyu umum yang diwahyukan Allah sudah selayaknya mendapatkan respons, dan manusia adalah satu – satunya mahluk yang dapat memberikan respon terhadap wahyu Allah. Pada saat manusia tidak memanfaatkan fungsi respons ini, hidupnya oasti sangat mekanis, superfisial dan membosankan, sekalipun mungkin dia masih dapat menikmati kebahagiaan dari materi, dari jasmani, dari yang sementara dan yang bersifat sensasi, tapi dia tetap mendapati bahwa hidupnya adalah hampa.

Respon manusia terhadap Allah akan timbul dari dua segi :

1. Respons Eksternal terhadap wahyu umum Allah, yakni timbulnya tindakan kultural atau aktivitas kultural.
2. Respons Internal terhadap wahyu umum Allah, yaitu timbulnya aktivitas agama.

Secara ketat dapat dikatakan, bahwa kultur dan agama adalah respons dasar manusia terhaap wahyu Allah. Jika kita tidak menemukan hubungan dan sebabnya, kita condong menganggap agama adalah suatu hal yang biasa, padahal tidaklah demikian. Renungan yang paling mendalam bagi seorang ahli agama adalah hubungan antara Allah dengan manusia, dan bagi seorang ahli kultur adalah bagaimana memanifestasikan Allah. Dengan demikian agama merupakan satu perasaan yang agak bersifat internal, perasaan yang menerima wahyu, sedangkan kultur merupakan semacam ekspresi eksternal. Sebab itu sebuah karya sastra yang teragung akan mengungkapkan hubungan manusia dengan Allah yang melampaui sejarah dan yang transenden.

Demikian juga karya seni yang teragung bukan hanya sekedar mengekspresikan perasaan rohani yang terdapat di dalam sifat manusia, tapi juga mengekspresikan hubungan antara perasaan tersebut dengan Allah. Jelas semua hal yang melampaui alam ini bukan merupakan produk alam, melainkan berasal dari Allah yang transenden. Itulah sebabnya manusia harus berespons terhadap Allah. Inilah yang disebut berasal dari Dia, tergantung pada Dia dan bagi Dia, karena Alkitab mengatakan “manusia diciptakan oleh Allah , melalui Allah, bersandar pada Allah dan bagi Allah“ (Roma 11:36).

Pusat dari kultur dan agama adalah hikmat Allah sendiri, sehingga manusia dapat mengenal Allah melalui hakmatnya. Agama dan kultur mencapai puncaknya yang sungguh pada kesadaran akan nilai. Manusia beragama adalah manusia yang mempunyai hikmat. Mereka yang memiliki bakat melukis, bakat mengarang lagu yang agung juga merupakan orang yang memiliki hikmat. Tapi sampai di manakan manusia menuntut akan hikmat ? Lalu siapakah pusat hikmat yang dicarinya? Alkitab langsung memberitahukan kita pusat hikmat adalah Yesus Kristus.

Respons terhadap wahyu umum Allah membuat menemukan tiga jenis kewajiban yang harus dia penuhi :
1. Kewajiban karena keberadaanku, keberadaan trancending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi bukan hanya sekedar mengontrol dan mengatur alam saja, tapi juga memperbaiki alam.

Alkitab mengajukan tiga macam prinsip: mengelola, mengatur, dan memperbaiki. Kita mengatur alam, berarti kita harus menjadi tuan atas alam. Kita mengelola alam berarti kita berkewajiban mengurus dan mengatur alam. Kita memperbaiki alam berarti kita berkewajiban memperbaiki, memelihara dan melindungi alam.

Memasuki akhir abad XX ini, kita menemukan bahwa krisis karena perusakan alam sudah berada di depan kita, berarti kita tidak melaksanakan prinsip penciptaan Allah yang terdapat dalam kejadian 1 dan 2. Saat kita mencapai puncak dari kemajuan teknologi, kita juga menemukan bahwa manusia tidak berdaya mengatur alam dengan baik, juga tidak berdaya melindungi alam yang indah ini. Jika kultur tidak mengaku telah dukuasai oleh kejatuhan, berarti kultur telah menipu diri sendiri juga menipu orang lain.

2. Respon terhadap wahyu umum Allah yang kedua adalah begaimana mengurus diri kita sendiri. Bagaimana kita mampu melintasi diri sehingga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik terhadap alam, terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas hal mengatur alam.

3. Karena kuasa mengatur alam dan diri sendiri inilah maka timbullah respons beribadah dan takut kepada Allah.
” Saya mau bersyukur kepadaMu karena alam. Saya mau bertanggung jawab atas alam karena Engkau telah mempercayakan soal mengatur alam ini kepadaku. Saya memuliakanMu karena rahasia yang kudapatkan pada saat meneliti alam. Saya merasa kagum terhadap rahasia hikmat dan desain penciptaan yang tersembunyi dalam alam.”

Akibat dari penemuan terhadap rahasia ciptaan adalah rasa takut kepada Allah adalh rasa tanggung jawab terhadap alam. Ini adalah kelakuan yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Karena ilmuwan mewakili seluruh umat manusia untuk menemukan fungsi yang tuhan berikan pada manusia dalam hal mengatur, memahami dan memperbaiki alam. Sedangkan ahli agama mewakili seluruh umat manusia untuk mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Dengan demikian, agama dan kultur telah melakukan fungsi yang sebenarnya.

Di dalam proses hukum alam ini, kultur telah berusaha dengan keras, begitu juga dengan agama, namun nyatanya telah terjadi suatu hal yang ironis, yaitu hal yang seharusnya dicapai oleh kultur justru tidak dicapai, demikian juga hal yang seharusnya dicapai oleh agama tidak tercapai dengan sungguh. Berarti di dalam tugas mengatur mengatur alam, manusia menemukan dirinya tidak berdaya menaklukkan alam, juga tidak berdaya menaklukkan diri sendiri. Di dalam proses mengelola dan mengatur alam inilah manusia menjasi perusak alam yang paling hebat.

Di manakah posisi manusia di tengah – tengah alam ini? Apa yang harus dilakukan di bidang kultur? Pada saat orang hutan merusakkan barang kita, atau ketika anjing kita memecahkan barang yang berharga, kita ingin membunuhnya. Tapi di lihat – lihat lagi akhirnya kita mendapati bahwa mereka tidak mempunyai rasio, tidak mempunyai latar belakang kultur, sehingga meskipun kita marah setengah mati tapi tidak bisa berbuat apa – apa. Kuasa merusak alam yang manakah yang lebih habat : kuasa manusia atau binatang ? manusia mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk merusak alam. Alam semesta hari ini bukan di rusak oelh binatang tapi oelh manusia. Limbah air sungai dari daerah industri yang telah tercemar itu mengalir ke laut dan mengakibatkan semua mahluk di laut di sana menyimpan racun –racun kimia. Bukan saja demikian, hari ini pencemaran udara yang terjadi di kota – kota besar Asia telah beberapa kali lebih parah dari meksiko. Kita tahu soal o – zone, juga soal pembabatan hutan – hutan tropis semua di sebabkan oleh ulah manusia. Alah berfirman, “ Hai manusia kelolalah alam, aturlah alam.” Tapi sudahkah manusia mengelola alam dengan sukses ? Tidak ! Sudahkah manusia sukses dalam hal menaklukkan alam ? Sudah menaklukkan sebagian, tapi sudah congkak sebelum mengalami banyak kegagalan, mereka mulai marah terhadap Allah.

Apakah artinya tidak berhasil menaklukkan alam? Dan apakah artinya tidak berhasil menaklukkan dan mengatur alam? Mengapa kuasa pengrusakan kita terhadap alam demikian besar ? Hanya ada satu jawaban: kejatuhan manusai dalam dosa merupakan sebuah fakta. Jika kejatuhan bukan merupakan fakta, mengapa hari ini terjadi ketidak – seimbangan yang begitu parah ? Akhirnya tibalah pada kesimpulan : Di manakah posisi manusia yang sebenarnya ? Jika posisi asal manusia berada dalam sifat kebinatangan yang mengerikan itu, seharusnya kita akan merasa sangat bangga terhadap keberhasilan kita. Tapi apakah posisi asal manusia memang demikian ? Jika benar, lalu adakah keberadaan yang di sebut evolusi di dalam proses sejarah kita yang begitu panjang ? Mengapa PL sama sekali tidak menyinggung akan pandangan ini ? Alkitab orang kristen memberitahukan bahwa leluhur kita lebih tinggi dari kita. Meskipun hati ini ada keberhasilan yang hebat di bidang kultur, ilmiah dan teknologi, tapi tidak mampu membawa manusia kepada posisi asal pada saat diciptakan.

Apakah lawan kata dari kejatuhan ? Evolusi. Sebab itu evolusi bukansaja merupakan topik ilmu alam, juga merupakan masalah teologi. Kita memang tidak boleh sembarangan mengkritik ilmiah, karena hal tersebut tidak dilakukan oleh orang – orang yang sungguh mencintai kebenaran. Tetapi kita juga tidak boleh menerima hal – hal yang tidak ilmiah sebagai yang ilmiah. Jika evolusi itu benar, maka kejatuhan tentu salah. Jika evolusi salah, maka kejatuhan benar. Apakah manusia puncaknya pada hari ini? Atau manusia justru dari posisi asal yang tinggi lalu jatuh ke posisi yang demikian rendah? Ini adalah topik yang sangat penting dan perlu di renungkan. Pertanyaan pertama yang diajukan pada manusia yang telah berdosa, “ Di manakah engkau ? “ (Kej 3 : 9 ), menunjukkan posisi manusia dari tempat yang tinggi merosot ke tempat yang rendah! Apakah timbulnya kultur adalah akibat dari kejatuhan? Apakah timbulnya kultur juga mengandung akibat dari kejatuhan ? Apakah hasil dari kultur tidak dapat luput dari unsur kejatuhan? Harapan saya pertanyaan – pertanyaan tersebut dapat merangsang kita untuk lebih banyak berpikir.FALL AND CULTURE

Amin.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url