DASAR-DASAR KITAB SUCI DALAM MENDIDIK ANAK-ANAK

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th
DASAR-DASAR KITAB SUCI DALAM MENDIDIK ANAK-ANAK

DASAR-DASAR KITAB SUCI DALAM MENDIDIK ANAK-ANAK. Namun tugas mendidik anak bukanlah hal yang mudah, hal itu membutuhkan perhatian yang saksama. Karena itulah kita membutuhkan dasar yang kuat dalam hal mendidik anak. Dasar itu adalah firman Tuhan, yaitu Alkitab (Matius 7:27). Alkitab tidak hanya menuntun seseorang kepada keselamatan tetapi juga bermanfaat untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapinya untuk setiap perbuatan baik (2 Timotius 3:15-17). 

Wayne Grudem dalam bukunya Kebenaran Yang Memerdekakan mengatakan, “Di dalam Kitab Suci sajalah kita mencari firman Allah bagi kita. Kita perlu merasa puas dengan apa yang kita temukan di sana. Kecukupan Kitab Suci seharusnya mendorong kita untuk menyelidiki Alkitab secara menyeluruh, untuk menemukan apa yang Allah kehendaki dalam kita memikirkan suatu masalah tertentu atau apa yang harus kita lakukan dalam situasi tertentu”. 

Jadi meskipun Alkitab bukanlah buku khusus yang ditulis sebagai pedoman membesarkan dan mendidik anak, namun di dalam Alkitab kita dapat menemukan banyak saran yang praktis tentang pokok persoalan ini. Di dalam Alkitab kita dapat menemukan banyak nasihat mengenai mendidik anak dengan cara seimbang menurut hikmat Allah. Dan telah terbukti, ada banyak orangtua Kristen yang menerapkan nasihat Alkitab tentang mendidik anak telah mendapat manfaatnya. Di dalam Alkitab ditegaskan bahwa orangtua bertanggung dalam hal mendidik anak-anak mereka.

Pertama-tama kila melihat di dalam Perjanjian Lama, bahwa orangtua diperintahkan untuk mendidik anak-anaknya dengan tekun (Ulangan 6:6-7). Mendidik anak untuk mengenal perintah Tuhan (Mazmur 78:5-6) dan mendidiknya di jalan yang benar (Amsal 22:6). Mendidik anak-anak merupakan keharusan karena anak merupakan warisan Allah kepada orangtua (Mazmur 127:3), bahkan bila perlu mendidik disertai dengan disiplin (Amsal 22:15; 19:18; 23:13-14; 29:15,19). 

Jadi terlihat bahwa bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama sangat mementingkan pendidikan terhadap anak karena itu merupakan perintah Tuhan. Menurut penulis-penulis Yahudi yang hidup di zaman Yesus, orangtua Yahudi mendidik anak-anak mereka dalam hukum Taurat. 

Flavious Josephus, seorang ahli sejarah Yahudi abad pertama mengatakan “di atas semuanya kami membanggakan diri kami sendiri dalam bidang pendidikan kepada anak-anak kami dan memandang pengamalan hukum Taurat dan paktik kesalehan yang dibangun darinya, yang kami warisi, sebagai tugas penting dalam kehidupan”.

Selanjutnya, di dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab orangtua. Rasul Paulus dalam Kolose 3:21 dan Efesus 6:4 menasihati bahwa orangtua harus mendidik anak sesuai ajaran dan nasihat Tuhan. 

Kewajiban orangtua dalam mendidik anak-anak mereka termasuk di dalamnya kewajiban untuk: memelihara dan merawat, mencukupkan kebutuhan materi dan psikis mereka, membantu mereka untuk bertumbuh, memberi rasa aman, menyekolahkan mereka, dan menjadikan mereka manusia yang dewasa dan mandiri.

PERINTAH AGAR ORANGTUA MENDIDIK ANAK-ANAK (SUATU EKSEGESIS DAN ANALISIS TEOLOGIS EFESUS 6:4)

Secara khusus di dalam Efesus 6:4 Rasul Paulus menasihati demikian, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Di sini rasul Paulus memberikan nasihat dalam dua bentuk yaitu negatif dan positif. 

Ralph P. Martin mengomentari dalam artikel Tafsiran Surat Efesus demikian, “Kewajiban sang ayah diperlihatkan baik secara negatif maupun secara positif. Pertama, peringatan jangan menyakiti anak-anak sehingga membuat mereka marah; Kedua, untuk melatih anak-anak dalam pendidikan disiplin hidup Kristen (Inilah arti ajaran dan nasihat Tuhan)”. Berikut ini penjelasan mengenai kedua kewajiban orangtua tersebut.

1. Orangtua tidak boleh menyakiti hati anak-anak dengan cara apapun yang dapat membuat anak-anak mereka dendam.

Dalam kalimat negasi yang kuat, rasul Paulus mengatakan “bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu” (Efesus 4:6a). Di sini timbul pertanyaan, “mengapa ibu-ibu tidak disebutkan dalam nasihat ini, padahal mereka juga turut bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak mereka?” 

Alasan yang paling kuat adalah karena rasul Paulus memang menganggap para ayah sebagai kepala keluarga (rumah tangga) yang mewakili wibawa (otoritas) orangtua atas anak-anak. Karena itulah di dalam ayat sebelumnya rasul Paulus memerintahkan agar anak-anak menghormati orangtua dan menaati mereka di dalam Tuhan (Efesus 6:1-3). 

Namun, ada juga alasan lainnya, yaitu keprihatinan rasul Paulus terhadap hubungan bapa-bapa dengan anak-anak mereka pada zaman itu. Pada abad pertama, seorang ayah Romawi mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anaknya. Seorang bayi ketika baru lahir akan diletakkan di depan kaki ayahnya. 

Apakah bayi itu akan diterima atau dibuang adalah hak si ayah, dan seringkali bayi yang lemah dan cacat dibuang begitu saja. Seorang anak jika berani menentang orangtua akan dibawa ke depan pintu gerbang kota untuk diadili dan bisa dihukum dengan dilempar batu sampai mati. 

Seorang ayah pada masa itu berhak menju¬al anaknya sebagai budak, mempekerjakannya di ladang dengan rantai, menghakimi mereka, menjatuhkan hukuman kepada mereka, bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Hal-hal tersebut tentu saja menyakiti hati anak dan membuat mereka marah, terlebih lagi berten¬tangan dengan ajaran firman Tuhan! Karena itu rasul Paulus menegaskan agar para ayah janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anak mereka.

Kata “bangkitkan amarah” adalah kata Yunani “parorgezein” yang berarti “mengganggu, memanaskan hati, membuat menjadi marah”. Kata ini juga dipakai dalam Roma 10:19 yang diterjemahkan dengan “membangkitkan amarah”. Rasul Paulus kelihatannya memahami betul bahwa amarah dapat membawa seseorang kepada dosa dan kepada kuasa Iblis (bandingkan dengan Efesus 4:26-27). 

Selanjutnya, karena amarah orang dapat jatuh ke dalam dosa fitnah (Bandingkan Efesus 4:31), yang memisahkannya dari persekutuan dengan Allah. Dengan demikian, bapa-bapa yang membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya sehingga sakit hati dan marah secara tidak langsung telah memimpin anak-anak mereka memberontak kepada bapa, dan akhirnya kepada Allah. 

Warren W. Wiersbe dalam bukunya Tafsiran Surat Efesus menjelaskan bagaimana seorang ayah menyakiti hati anak-anak mereka demikian, “Para ayah menyakiti hati anak-anak mereka dan menjadikan mereka tawar hati dengan melakukan hal yang berbeda dengan apa yang mereka katakan. Dengan selalu menyalahkan dan tidak pernah memuji. 

Dengan bersifat tidak konsisten dan tidak adil dalam hal disiplin, dan dengan bersikap pilih kasih di dalam keluarga. Juga dengan membuat janji-janji dan tidak menepatinya, dan dengan menganggap remeh persoalan-persoalan yang bagi anak-anak merupakan hal yang penting sekali”. Karena itu orangtua Kristen wajib memperhatikan sikap, perkataan, tindakan dan lainnya, agar tidak membangkitkan amarah di dalam hati anak-anak mereka.

2. Orangtua wajib mendidik anak-anak dalam ajaran dan nasihat Tuhan.
Sebaliknya, dengan cara yang positif rasul Paulus menasihati agar para ayah mendidik anak-anak mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Efesus 6:4b). Kata “mendidik” dalam ayat tersebut adalah kata Yunani “ektrephein” yang berarti “mendidik, membesarkan”. Ini muncul sebelumnya dalam Efesus 5:29 yang diterjemahkan dengan “mengasuh”. 

Jadi seorang ayah tidak hanya mengasihi anak-anaknya, tetapi juga wajib mengasuh, merawat, membesarkan dan memelihara anak-anaknya secara jasmani dengan menyediakan makanan, tempat berlindung serta pakaian. Ia harus juga memelihara mereka dari aspek emosional maupun spritual. 

Tujuannya agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam hal intelek, jasmani, rohani, psikis, dan sosial. Bukan gereja dan bukan juga sekolah atau lembaga pendidikan lainnya yang ditetapkan Allah untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya tetapi keluarga. Alkitab tidak mengajarkan bahwa pendidikan anak-anak diserahkan kepada lembaga-lembaga lainnya di luar rumah tangga, walau bagaimanapun lembaga-lembaga itu mungkin dapat menolong. Pendidikan anak-anak dipercayakan Allah kepada orangtua.

Lalu bagaimana cara orangtua Kristen mendidik anak-anak mereka? Dalam Efesus 6:4 ini rasul Paulus menjelaskan bahwa mendidik anak harus dilakukan dalam “disiplin dan ajaran Tuhan”. Frase “ajaran dan nasihat Tuhan” dalam terjemahan AITB kurang tepat. Karena frase Yunani yang dipakai adalah “paideia kai nouthesia Kuriou” yang lebih tepat diterjemahakan dengan “discipline and instruction of the Lord (disiplin dan ajaran Tuhan”). 

Di sini kata “paideia” berarti disiplin, ketertiban, atau ajaran dengan menggunakan alat-alat disiplin”. Menurut ayat-ayat lainnya dalam Alkitab, disiplin terhadap anak-anak itu penting dan harus dilakukan oleh orangtua (2 Timotius 3:16; Ibrani 12:5-11; Bandingkan Amsal 13:24; 22:15; 23:13-14). Sedangkan kata Yunani “nouthesia” berarti “nasihat, ajaran yang dilakukan dengan cara verbal”. Kata tersebut mengindikasikan agar orangtua mengajar dan mendorong anak-anak mereka dengan kata-kata yang bijaksana.

Jika diperlukan, disiplin dapat dilakukan dengan hukuman yang mengoreksi, misalnya dengan menggunakan rotan, tetapi bukan dengan tangan atau benda-benda yang dapat membahayakan atau merusak fisik anak. Karena itu, mendidik anak dengan disiplin seharusnya dilakukan ketika anak dalam keadaan tidak taat yang disengaja, dan bukan ketika orangtua sedang dalam keadaan marah (dengan luapan emosional). 

Orangtua yang gagal untuk menegur ketidaktaatan anak menunjukkan orangtua yang lemah dan kekurangan kasih. “Siapa yang tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya (Amsal 13:24). Dengan kata lain, hukuman yang pantas bukan semata-mata memberi ganjaran terhadap kesalahan tetapi benar-benar demi kepentingan yang terbaik dari sang anak. Prinsip dalam mendisplin melalui hukuman adalah: 

(1) Hukuman tidak diberikan sebagai pembalasan tetapi sebagai penolong untuk pertumbuhan anak, sesuatu yang mendidik dan menguatkan anak; 

(2) Hukuman berguna untuk menolong memenuhi pikiran anak dengan hikmat; 

(3) Hukuman mengusir kebodohan dari hati mereka. Selain itu juga dapat membebaskan mereka dari kesengsaraan akibat dosa dan termasuk neraka. 

(4) Hukuman juga harus tegas dan tidak berubah-ubah. Alkitab berkata: “hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya (Amsal 19:18). 

Jangan mengubah-ubah disiplin dan jangan bersikap sangat lemah sehingga anda menjadi lunak secara berlebihan. Teguran harus kukuh dan teguh, kalau tidak teguran itu tidak akan berhasil. “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Amsal 29:15).

Selanjutnya, disiplin dan ajaran itu menurut rasul Paulus agar dilakukan “di dalam Tuhan”. J.L.Ch. Abineno dalam Tafsiran Surat Efesus menjelaskan bahwa kata Yunani “Kuriou” di sini dalam arti yang luas kira-kira sama dengan “en KuriĆ“i” dalam Efesus 6:1, yang mengindikasikan agar orangtua (para ayah) berusaha memberikan kepada anak-anak mereka suatu pendidikan yang bersumber di dalam Tuhan, yang dijiwai dan digerakan olehNya, yang berorientasi kepada dan yang sesuai dengan kehendakNya. 

Jika hal itu terjadi, pastilah anak-anak tidak akan marah dan memberontak, sebaliknya mereka akan taat dan menghormati orangtua. Dengan demikian ketika rasul Paulus mengatakan agar orangtua mendidik anak “dalam disiplin dan ajaran Tuhan”, maka yang ia maksudkan adalah agar orangtua mendidik dalam perkataan (nothesia) dan tindakan (paidei) sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah pondasi utama bagi para orangtua di dalam mendidik anak-anak mereka.

PERANAN ORANGTUA BAGI ANAK-ANAKNYA

Sekilas kita melihat bahwa orangtua memainkan peranan yang sangat penting di dalam mendidik anak-anak mereka. Orangtua merupakan figur utama bagi anak-anaknya. Orangtua yang tidak memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya, bukan saja tidak dapat menikmati hasil yang baik, bahkan akan menuai hasil yang tidak baik, karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Galatia 6:7-8). 

Menurut Mary Setiawan dalam bukunya Menerobos Dunia Anak bahwa dalam pandangan seorang anak, orangtua memagang peranan sebagai: (1) Ayah dan Ibu; (2) Seorang guru; dan (3) Seorang teman.

1. Orangtua sebagai ayah dan ibu. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk memelihara hubungan yang baik dengan anak-anak mereka. Dalam melaksanakan peran mereka sebagai ayah dan ibu, maka orangtua wajib mengasuh, merawat, membesarkan dan memelihara anak-anaknya secara jasmani dengan menyediakan makanan, tempat berlindung serta pakaian. 

Mereka juga harus juga memelihara anak-anak dari aspek emosioanal maupun spritual. Tujuannya agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam hal intelek, jasmani, rohani, psikis, dan sosial. Bukan gereja dan bukan juga sekolah atau lembaga pendidikan lainnya yang ditetapkan Allah untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya tetapi keluarga.

2. Orangtua sebagai guru. Orangtua dalam menjalankan peranannya sebagai “guru”, menyampaikan segala sesuatu yang baru secara bertahap kepada anak-anaknya sesuai dengan usia, pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga dari anak yang tidak tahu menjadi tahu, dari anak yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari anak yang tidak mengerti menjadi mengerti sesuatu. 

Dari anak yang polos menjadi anak yang bijak, dari anak yang tidak tahu apa-apa menjadi anak yang pandai dan seterusnya. Orangtua harus membimbing anak-anak mereka sebelum mereka tahu membedakan mana yang baik dan salah. Anak sangat membutuhkan bimbingan dalam pembentukan karakter dan sifat yang baik, serta bersikap sebagai seorang manusia. Orangtua juga harus menjadi gambar hidup yang bisa dilihat, ditiru, dan dirasakan oleh anak-anak mereka, terutama tentang cara hidup yang baik dan takut akan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. 

Banyak orangtua yang menyuruh anak-anaknya rajin beribadah, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Ada orangtua yang menasihati supaya anak-anaknya banyak berdoa, tetapi ia sendiri tidak pernah berdoa. Itu namanya gambar yang mati, hanya bisa dilihat, tetapi tidak bisa ditiru dan dirasakan. Karena itu biarkanlah anak-anak dalam kehidupan sehari-hari melihat teladan dan cara hidup orangtua.

3. Orangtua sebagai teman. Orangtua sebaiknya menjadi teman bagi anak-anaknya. Ini tidak akan mengurangi wibawanya dan rasa hormat anak terhadap mereka. Karena itu orangtua jangan menampilkan wajah yang sangar sehingga anak-anak tidak berani mendekat. Orangtua harus menjadi teman yang akrab bagi anak-anaknya, hidup bersama mereka, mendampingi mereka bermain, dan kadang perlu berekreasi bersama mereka. Dengan demikian hubungan baik orangtua dan anak terjalin dengan baik. 

Anak-anak akan merasa senang dan termotivasi jika orangtua mau bersama-sama dengan mereka serta mendukung mereka, memberi waktu mendampingi mereka, mengarahkan mereka, dan berbicara dengan mereka layaknya seorang teman.DASAR-DASAR KITAB SUCI DALAM MENDIDIK ANAK-ANAK
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url