MEMELIHARA RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th.
MEMELIHARA RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF KRISTEN. “Barangsiapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular” (Pengkhotbah 10:8)
“(24:30) Aku melalui ladang seorang pemalas dan kebun anggur orang yang tidak berakal budi. (24:31) Lihatlah, semua itu ditumbuhi onak, tanahnya tertutup dengan jeruju, dan temboknya sudah roboh. (24:32) Aku memandangnya, aku memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran” (Amsal 24:30-32).
PROLOG
Makna Pengkhotbah 10:8 di atas memberitahu kita pentingnya hikmat. Orang-orang bodoh akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri, seperti yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan “barangsiapa menggali lubang akan jatuh kedalam lubangnya” dan “barangsiapa mendobrak tembok akan dipagut ular”. Sebaliknya, orang bijaksana terpelihara dari kerugian karena mereka mengetahui apa yang dapat terjadi dan dengan hati-hari menjauhi perangkap yang ada. Orang yang berhikmat selalu mempertimbangkan segala sesuatunya, termasuk resiko dan kesulitan sebelum melakukan sesuatu! Demikian juga kita dapat belajar dari hikmat Salomo dalam Amsal 24:30-32 di atas yang dituangkan dalam bentuk perumpamaan di bidang hortikultura. Disini Salomo menarasikan tentang ladang dan kebun anggur yang seluruhnya tertutup oleh rumput liar dan pagar sekelilingnya telah rubuh. Apa yang menyebabkan hal demikian terjadi pada ladang dan kebun anggur itu? Jawabannya tentulah karena ladang dan kebun itu sudah tidak dirawat, dipelihara dan diurus secara rutin. Dalam konteks ayat ini merupakan akibat yang dihubungkan dengan sifat seorang pemalas dan tidak berakal budi (Bandingkan Amsal 24:30,33-34).
Kisah tentang ladang dan kebun anggur yang tidak diurus dalam Amsal 24:30,33-34 di atas, bagi Salomo tidak berakhir begitu saja. Kita menemukan bagaimana perspektif Salomo ketika melihat ladang dan kebun anggur itu, Ia mengatakan, “Aku memandangnya, aku memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran” (Amsal 24:32). Sebagiamana Salomo dapat menarik suatu pelajaran hanya dengan melihat dan memperhatikan keadaan ladang dan kebun anggur yang tidak terawat itu, demikian juga kita dapat mengambil hikmah dari pelajaran tersebut khususnya dihubungkan dengan memelihara rumah tangga.
Hukum Termodinamika II mengatakan “walau ada cukup energi dalam alam raya yang tetap konstan, namun jumlah yang diperoleh untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat selalu berkurang (dan etropi, ukuran jumlah energi yang diperoleh makin bertambah). Semuanya lalu bergerak ke arah yang kurang teratur atau kekacauan yang bertambah”. Menurut ilmu pengetahuan alam, yang kita kenal sebagai hukum Termodinamika II bahwa segala sesuatu yang ada di dunia bersifat merosot atau berkurang. Contoh, batu baterai tanpa digunakan pun tenaga yang tersimpan di dalamnya akan semakin merosot. Gedung yang megah bila tidak dirawat akan menjadi lapuk dengan sendirinya. Taman bunga yang indah tanpa dirawat akan rusak dan dipenuhi semak belukar, sebagaiamana contoh kebun dan ladang dalam Amsal 24:30-32 di atas.
Demikian juga dengan hidup rumah tangga apabila tidak dipelihara akan rusak, walaupun pada mulanya serasi bila tidak dibina keindahannya akan merosot dengan sendirinya. Karena itu, dalam menjalani hidup berumah tangga, suami dan istri dituntut untuk menjadi orang yang bijaksana, berhikmat dan rajin dalam memelihara, merawat dan mengurus rumah tangganya agar tetap bahagia. Selanjutnya, Salomo dalam Amsal 14:1 mengatakan, “Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri”. Istri yang cakap adalah wanita yang cakap memelihara rumah tangganya. Tentu saja ini bukan hanya menjadi tanggung jawab sang istri. Sang suami pun harus ikut memikul tanggung jawab yang sama. Bersama-sama mereka harus memelihara rumah tangganya dalam pertolongan, anugerah dan kasih Tuhan.
Kembali ke kisah ladang dan kebun anggur di atas. Sebaliknya, agar ladang dan kebun anggur (atau kebun apa saja) menjadi ladang dan kebun yang baik maka ada beberapa hal yang perlu di perhatikan antara lain : (1) Tanahnya harus dibersihkan dan digarap; (2) Harus ditanami dengan bibit yang baik, bahkan yang terbaik; (3) Diberi air (pengairan) yang cukup dan diberi pupuk; (4) Sekelilingnya di beri pagar agar tidak diganggu hewan ternak atau binatang liar dari luar; (5) Harus secara rutin diawasi dan dirawat untuk memastikan tanaman tumbuh dengan baik, cukup air dan pupuk, serta membuang rumput-rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman. Demikian juga dengan rumah tangga. Karena itu, untuk memelihara rumah tangga agar berhasil dan berbahagia maka ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan. Keberhasil dan berbahagiaan itu tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus diupayakan oleh suami, istri, dan seluruh anggota keluarga dalam rumah tangga.
Karena itu di dalam sesi ini ada beberapa hal utama yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh suami dan istri, serta anggota keluarga lainnya dalam rangka memelihara rumah tangga agar berhasil dan berbahagia, yaitu : (1) Menaati prinsip-prinsip firman Tuhan sebagai dasar dan pedoman bagi pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang sehat dan kokoh; (2) Menerapkan otoritas dan Hirarki yang sesuai dengan kehendak Tuhan dalam rumah tangga; (3) memahami kebutuhan utama suami dan istri dalam rumah tangga untuk memenuhinya; (4) Memahami relasi dalam rumah tangga dan menjalankan tanggung jawab dalam relasi tersebut; (5) Menumbuhkan dan mengembangkan cinta dan komitmen dalam pernikahan dan rumah tangga; (6) Saran-saran Alkitabiah dan Praktis dalam memelihara pernikahan dan rumah tangga.
PENGERTIAN MEMELIHARA RUMAH TANGGA KRISTEN
Kata “memelihara” berarti “merawat, mengurus, menjaga, dan mengusahakan”. Sedangkan “rumah tangga” berarti “tempat tinggal, urusan rumah, kehidupan di rumah, dan keluarga”. Jadi yang dimaksud rumah tangga adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan rumah atau kehidupan di rumah dalam suatu keluarga. Dengan demikian yang dimaksud dengan memelihara rumah tangga adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas merawat, menjaga dan mengurus urusan rumah atau kehidupan di rumah dalam suatu keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan rumah tangga Kristen adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan rumah atau kehidupan di rumah dalam suatu keluarga yang telah percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi serta meneladani hidup dan ajaran-ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini dibangun dari pengertian Kristen itu sendiri. Kristen artinya menjadi pengikut Kristus, yang meneladani hidup dan ajaran-ajaran Kristus.
Rumah tangga selalu dihubungkan dengan keluarga. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pustaka Phoenix) mengartikan keluarga sebagai : (1) Kaum kerabat atau sanak saudara; (2) Satuan kekerabatan dasar dalam suatu masyarakat; (3) Bagian kecil dari masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapa dan anak-anaknya. Berdasarkan ketiga pengertian tersebut di atas, maka disini yang dimaksud dengan keluarga dibatasi pada pengertian yang ketiga. Dengan demikian yang kita maksudkan dengan keluarga adalah persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak. Inilah yang disebut dengan “keluarga batih”, yaitu keluarga kecil atau keluarga inti. Selain keluarga batih atau keluarga inti, ada juga yang disebut “keluarga gabungan”, atau keluarga besar, yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga (kekerabatan) suami maupun istri. Keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yakni keluarga Adam (Kejadian 1:27-29). Adam sebagai suami Hawa sekaligus ayah dari Kain dan Habel; Hawa sebagai istri Adam sekaligus sebagai ibu Kain dan Habel; Kain dan Habel sebagai anak-anak dari Adam dan Hawa; Inilah keluarga ini pertama yang dibentuk oleh Allah.
Istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk keluarga adalah kata Yunani “patria”, yang berarti “keluarga dari sudut pandang relasi historis, seperti garis keturunan”. Dalam pengunaannya, kata “patria” ini lebih menekankan asal-usul keluarga dan lebih menunjukkan kepada bapak leluhur suatu keluarga. Kata “patria” disebutkan hanya 3 kali dalam Perjanjian Baru. Kata ini digunakan dalam Lukas 2:4, dimana disebutkan bahwa Yusuf berasal dari keluarga dan keturunan (patria) Daud, yaitu garis keturunannya secara biologis. Kisah Para Rasul 3:25 juga menggunakan istilah ini untuk menerjemahkan janji Allah kepada Abraham. Dijanjikan bahwa semua bangsa (patria) di muka bumi akan diberkati. Paulus di dalam Efesus mengatakan, “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan (patria) yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya” (Efesus 3:14-15). Kata Yunani lainnya untuk keluarga adalah “oikos” (bentuk tunggal; bentuk jamanya “oikia”). Kata ini lebih umum daripada kata “patria”. Kata ini dimengerti sebagai keluarga dalam arti rumah tangga. Dalam arti ini, kata “oikos” searti dengan kata Ibrani “bayit” dalam Perjanjian Lama. Dalam dunia Yunani-Romawi, “oikos” dipahami sebagai sebuah unit sosial yang lebih luas. Unit sosial itu tidak hanya mencakup sanak keluarga sedarah, tetapi juga orang lain yang tidak sedarah seperti para budak, pekerja, dan orang-orang yang bersandar pada seorang kepala rumah tangga.
FIRMAN TUHAN : DASAR RUMAH TANGGA KRISTEN YANG SEHAT DAN KOKOH
Pernikahan Kristen didefisinisikan sebagai berikut: “hubungan eksklusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi ‘satu daging’, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur hidup”. Definisi ini didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Berdasarkan definisi tersebut ada lima esensi dari pernikahan Kristen, yaitu (1) Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah bagi manusia sesuai kebutuhan (Matius 19:4,8); (2) Pernikahan merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria dan seorang wanita (Matius 19:5,6); (3) Pernikahan merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang paling intim (Matius 19:5,6); (4) Pernikahan merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat (Matius 19:5); (5) Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan seumur hidup (Matius 19:6). Kelima hal terebut benar-benar merupakan esensi dari pernikahan Kristen yang Alkitabiah.
Sebuah keluarga Kristen terbentuk dan dimulai ketika seorang pria dan seorang wanita mengambil keputusan untuk hidup bersama dalam pernikahan. Ikatan hidup bersama ini harus mempunyai dasar yang kuat. Dasar pernikahan Kristen yang kuat adalah firman Tuhan (Matius 7:27). Pernikahan yang didasari firman Tuhan digambarkan seperti membangun rumah yang kokoh di atas batu karang. Sedangkan bila tidak didasari firman Tuhan digambar seperti membangun rumah di atas pasir yang mudah roboh. Dengan dasar firman Tuhanlah, suami dan istri membentuk keluarga (rumah tangga) melalui pernikahan. Jadi, Tuhan telah memberikan firmanNya, yaitu Alkitab sebagai pedoman yang paling tepat bagi pernikahan dan rumah tangga Kristen agar berhasil (berbahagia) seperti yang Tuhan rencanakan.
Tuhan Yesus mengakui bahwa kita memerlukan makanan ketika Ia mengatakan ”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firmn yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Namun ayat ini mengingatkan bahwa manusia hidup tidak hanya dari makanan jasmani saja, melainkan “επι παντι ρηματι εκπορευομενω δια στοματος θεου-epi panti rhêmati ekporeuomenô dia stomatos theou” yang diterjemahkan “dari setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah”. Kata “firman” dalam ayat ini berasal dari kata Yunani “rhêmati” yang lebih tepat diterjemahkan dengan “perkataan”. Disini, kata "ρηματι-rhêmati" adalah bentuk datif (obyek tidak langsung, tunggal dan netral)
dari “ρημα-rhêma” yang berarti “kata yang diucapkan melalui mulut”, atau secara harafiah berarti “perkataan".
Karena kita mengakui Allah sebagai Pencipta kita, maka kita juga harus mengakui bahwa Dia mempunyai hak, kedaulatan dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan dari ciptaanNya, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan. Karena Dia yang menciptakan kita maka kita yakin bahwa Dia mengetahui keadaan kita sampai yang sekecil-sekecil (Bandingkan Matius 10:29-30). Karena Dia mengetahui setepat-tepatnya kebutuhan kita, dan ketika Ia memberikan sebuah buku pedoman (petujuk manual), yaitu Alkitab bagi kita, maka kita dapat percaya kepada apa yang dikatakan Alkitab kepada kita. Sebagai contoh : Apabila kita membeli sebuah mobil, kita akan menerima sebuah buku petunjuk yang diterbitkan oleh pabrik yang membuat mobil tersebut. Kita dapat yakin sepenuh bahwa petunjuk-petunjuk yang tertulis dalam buku itu adalah tepat. Misalnya, jika buku itu mengharuskan pemakaian bensin sebagai bahan bakar mobil, maka kita tidak dapat bertindak sekehendak hati kita dengan mengisi solar sebagai penggantinya. Jika kita memaksa mengisi bahan bakar solar maka cepat atau lambat mobil akan mogok atau mengalami masalah. Demikian juga dengan kita, Allah yang menciptakan kita telah memberikan firmanNya bagi kita, jika kita mengabaikan petujuk-petunjuk dalam firmanNya, maka cepat atau lambat hidup kita akan mengalami masalah bahkan “kematian”.
Selanjutnya Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Matius 24:35). Dengan demikian Tuhan Yesus hendak menyatakan kekekalan dari fiman Tuhan. Walau langit dan bumi lenyap, namun firman Allah akan tetap berlaku. Firman Allah berlaku dari dulu, sekarang, dan yang akan datang. (bandingkan Mazmur 119:89). Jadi firman Allah bukan hanya menjadi pedoman bagi rumah tangga kita tetapi juga untuk setiap aspek hidup kita sehingga terpelihara seperti yang dikehendakiNya (bandingkan Ibrani 1:1-3).
PENGATURAN OTORITAS DAN HIRARKI DALAM RUMAH TANGGA KRISTEN
Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak, kedaulatan dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan dari ciptaan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Allah juga berdaulat menetapkan semua otoritas yang ada, baik orang tua, pemerintah, atasan dalam pekerjaan, dan pemimpin rohani. Alkitab menyatakan “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1).
Kecenderungan banyak orang adalah independen, tidak bergantung dan bertanggung jawab kepada siapa pun. Dengan demikian, merasa bebas berbuat sekehendaknya sendiri, tanpa pengayoman dan pengawasan. Inilah awal dari kekacauan dan bencana! Mengapa? Karena Alkitab menyatakan bahwa Allah menetapkan seseorang atau beberapa orang di atas kita untuk kebaikan kita. Mereka seperti payung yang melindungi kita. Payung-payung tersebut adalah otoritas yang telah ditetapkan Allah dalam kehidupan kita. Apapun warna payung itu, berapapun besar payung itu, bahkan seandainya payung itu berlubang, hendaknya kita jangan keluar dari payung itu. Payung otoritas itu bisa merupakan bentuk hubungan vertikal antara suami dan istri (Efesus 5:22-23), orang tua dan anak (Efesus 6:1-3), pemerintah dan masyarakat (Roma 13:1-5), atasan dan bawahan dalam pekerjaan (Efesus 6:5-8), para pemimpin rohani dan jemaat (Ibrani 13:7,17). Ayat-ayat yang disebutkan diatas merupakan dasar bagi pemberlakuan otoritas dan hirarki dalam berbagai bentuk relasi, termasuk dalam rumah tangga.
1. Otoritas dan Hirarki Dalam Rumah Tangga. Sebelum menikah, seorang pria dan seorang wanita berada di bawah otoritas orang tua atau walinya. Setelah upacara pernikahan, seorang pria sebagai suami diperintahkan untuk memiliki otoritas yang lain atas seorang wanita, yaitu istrinya sendiri. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3). Jadi Allah telah menetapkan suatu hirarki dalam lembaga pernikhan Kristen, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya. Inilah prinsip otoritas dan hirarki yang benar menurut firman Tuhan bagi pernikahan dan rumah tangga Kristen, secara berturut-turut sebagai berikut : Kepala dari Kristus ialah Allah, kepala dari laki-laki ialah Kristus, kepala dari istri ialah suami, kepala dari anak-anak adalah ayah dan ibu (orang tua).
Namun, karena kekerasan hati manusia, dan dalam budaya masyarakat tertentu prinsip otoritas dan hirarki dalam keluarga (rumah tangga) ini telah diabaikan, diselewengkan dan diputarbalikan. Sebagai contoh berikut ini beberapa bentuk hirarki yang salah dalam keluarga, yaitu : (1) Menempatkan otoritas Istri di atas suami dan anak-anak dalam hirarki keluarga; (2) Menempatkan otoritas anak di atas suami atau istri dalam hirarki keluarga; (3) Menempatkan otoritas orang tua di atas suami atau istri dalam hirarki keluarga; (4) Menempatkan otoritas pendeta di atas suami atau istri dalam hirarki keluarga; (5) Menempatkan suami, istri atau anak di atas Kristus dalam hirarki keluarga. Kelima contoh hirarki di atas salah dan bertentangan dengan yang diajarkan Alkitab. Pengabaian, penyelewengan, dan pemutarbalikan terhadap otoritas dan hirarki yang sesuai dengan firman Tuhan merupakan penyebab utama dari banyaknya kekakacauan dalam pernikahan dan rumah tangga Kristen.
2. Sikap orang Kristen Terhadap Otoritas. Ada dua sikap orang Kristen, terhadap otoritas. (1) Secara positif, sikap orang Kristen terhadap otoritas adalah tunduk dan taat. Sikap ini kita sebut sebagai respon yang benar terhadap otoritas. Tunduk artinya menerima dan menghormati otoritas yang di atas kita. Taat artinya melakukan perintah selama otoritas di atas kita tersebut tidak membawa kita berbuat dosa, sesuai aturan kebenaran dan sesuai dengan firman Tuhan. (2) Secara negatif, sikap yang harus dihindari orang Kristen terhadap otoritas adalah penyalahgunaan otoritas dan melawan otoritas. Sikap ini kita sebut sebagai reaksi yang salah terhadap otoritas. Penyalahgunaan otoritas terjadi saat seseorang menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan yang salah; atau saat ia bertindak sewenang-wenang terhadap yang seharusnya dipimpin dan diayomi. Sedangkan melawan otoritas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu: egoisme dan pemberontakan. Egoisme adalah sikap mementingkan diri sendiri, sulit diatur dan tidak mengikuti aturan, lebih mengutamakan perasaan dan keinginan sendiri; Sedangkan pemberontakan yaitu sikap konfrotasi terhadap otoritas yang disebabkan berbagai hal seperti kekecewaan dan atau ketidakpuasan terhadap otoritas, sehingga menghasilkan gosip, penghakiman dan konflik yang tak terselesaikan.
Pemberontakan terhadap otoritas merupakan penyebab kekakacauan! Sebagai contoh, seorang istri yang tidak mau tunduk pada otoritas suaminya atau seorang suami yang tidak mau tunduk pada otoritas Kristus telah menjadi penyebab utama kekacauan dalam rumah tangga. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3). Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya. Tetapi, perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh sewenang-wenang dan berbuat sembarang terhadap istrinya melainkan disini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala. Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya.
3. Sikap Yang Perlu Dikembangkan Sehubungan dengan Otoritas. Pada umumnya, semakin dekat kita dengan seseorang, semakin banyak hal yang dapat kita pelajari dari mereka. Namun, kedekatan hubungan itu juga membuat kita mengetahui kelemahan mereka. Akhirnya, muncul kekecewaan jika kita hanya melihat kelemahan tersebut. Sebaliknya, justru dengan mengetahui kelemahan mereka tersebut, ini merupakan proses yang baik sehingga hubungan yang kita jalin menjadi lebih realistis. Hal sama juga dapat terjadi dalam hubungan keluarga orang tua dan anak, pemimpin rohani dan jemaat, dan lainnya. Karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, ada dua sikap yang perlu kita kembangkan yaitu: (1) Tetaplah berada dalam payung otoritas, artinya jangan memberontak terhadap otoritas apalagi keluar dari otoritas. (2) Bila ada kesalahan atau kelemahan otoritas tetaplah menjadi orang-orang yang bertanggung jawab, memelihara integritas diri, dan tunduk pada otoritas. Bila perlu ada koreksi sampaikan dengan sikap hormat dan tunduk. Tunduk pada otoritas bukan berarti kita harus menaati hal yang salah. Kita perlu menaati hal yang benar, tetapi menolak perintah yang salah yang bertentangan dengan aturan kebenaran dan firman Tuhan.
MEMAHAMI DAN MEMENUHI KEBUTUHAN UTAMA SUAMI DAN ISTRI
Ada yang berpikir bahwa kebutuhan utama seorang istri adalah harta, sementara kebutuhan utama seorang suami adalah seks (Catatan: Pada kesempatan lainnya saya akan membahas tentang harta dan seks dalam rumha tangga). Tidak dapat disangkal bahwa baik suami dan istri, keduanya memerlukan harta dan seks, sebagaimana orang lainnya juga memerlukannya. Namun kedua hal tersebut bukanlah yang utama yang dibutuhkan suami dan istri agar pernikahan mereka berhasil (berbahagia). Realitanya menunjukkan ada banyak orang yang kaya dan harta melimpah namun tidak berbahagia, sebaliknya ada orang yang hanya berkecukupan namun bisa berbahagia. Demikian juga ada orang-orang yang tidak menikah namun bisa berbahagia, seperti rasul Paulus. Walaupun seks diciptakan oleh Allah untuk relasi, prokreasi dan rekreasi, namun seks bukanlah segalanya. Kristus mengatakan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Matius 19:11). Karena itu, harta dan seks bukanlah jaminan bagi kebahagiaan suatu rumah tangga.
Jika demikian halnya, apakah yang menajdi kebutuhan utama suami dan istri yang harus terpenuhi? Rasul Paulus dalam Efesus 5:22-25 menjelaskan bentuk relasi suami dan istri, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Pertanyaan pentingnya adalah mengapa Paulus memberi perintah “istri tunduk kepada suami” dan “suami mengasihi Istri?” Bahkan perintah ini diulangi lagi dalam Kolose 3:18-19, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”.
Harus dimengerti, seorang suami yang dihormati oleh istrinya akan merasa hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, jika suami kurang dihormati oleh istrinya, maka ia merasa hidup kurang berarti. Tetapi, perintah rasul Paulus bahwa “istri tunduk pada suami” bukan berarti seorang suami boleh bertindak sewenang-wenang dan berbuat sembarangan terhadap istrinya melainkan disini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala. Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Sikap tunduk dan hormat inilah yang dibutuhkan suami dari istrinya (Efesus 5:33).
Sebaliknya, perlu juga dimengerti, bahwa istri lebih mementingkan cinta kasih, itu sebabnya diperintahkan agar “suami mengasihi istri”. Cinta adalah segala-galanya bagi istri, melebihi apapun; tetapi bukan berarti ia tidak memerlukan hormat atau penghargaan. Seorang wanita merasa dihargai, apabila suaminya mencintainya. Dapat dikatakan bahwa cinta kasih nampaknya merupakan seluruh hidup dari istri, tetapi hanya sebagian dari hidup pria. Ini bukan berarti pria tidak memerlukan cinta, atau bukan berarti cinta seorang pria (suami) boleh dibagi kepada beberapa orang, tetapi justru seutuhnya dari yang sebagian ini hanya diberikan kepada istrinya.
Jadi kita melihat, bahwa yang paling dibutuhkan pria adalah dihormati, sedang bagi wanita yang dibutuhkan adalah diperhatikan dan disayangi. Dan kebutuhan ini bisa di dapat dari pasangan masing-masing. Sebab itu suami dan istri masing-masing bisa mengoreksi diri. Istri perlu bertanya “apakah aku telah mengormati suamiku dalam segala hal?” dan suami perlu bertanya “apakah aku telah menyayangi istriku dengan sepenuhnya? “ Ini adalah suatu pertanyaan yang besar bagi suami dan istri, karena menurut rasul Paulus hal ini merupakan misteri yang besar! Sesungguhnya pernikahan merupakan metafora dari hubungan Kristus dan jemaatNya (Efesus 5:22).
RELASI DAN TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA KRISTEN
Setelah mengetahui perihal otoritas dan hirarki dalam pernikahan dan rumah Kristen, maka pertanyaan selanjutnya adalah “bagaimanakah bentuk relasi dan tanggung jawab dalam pernikahan dan rumah Kristen? Bagaimanakah bentuk hubungan antara suami dan istri, orang tua dengan anak, dan anak dengan orang tua? Untuk mengetahui bentuk relasi ini dapat dilihat dalam Efesus 5:22-23; 6:1-4; Kolose 3:18-21. Berdasarkan ayat-ayat tersebut bentuk relasi dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya; 2) Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal; 3) Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya; 4) Anak-anak menghormati dan menaati orang tuanya.
1. Relasi dan Tanggung Jawab Suami dan Istri. Pernyataan rasul Paulus tentang bentuk relasi antara suami dan istri, sesuai Efesus 5:22-23 dan Kolose 3:18-19, dapat diringkas sebagai berikut, “suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya; sedangkan istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal”. Istri tunduk kepada suami bukan didorong oleh rasa takut tetapi oleh rasa hormat. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri sama seperti Kristus mengasihi jemaat. Kasih Kristus kepada jemaat adalah kasih yang penuh pengorbanan. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya dengan kasih yang penuh pengorbanan.
Berdasarkan relasi di atas, suami maupun istri memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab suami terhadap istri yang berhubungan dengan mengasihinya ialah: Memberi perhatian dan menyayangi istrinya; memelihara dan melindungi istri; menerima dan menghargai istri; peduli dan penuh penegretian; memimpin istri dan berkorban baginya. Tanggung jawab istri terhadap suami yang berhubungan dengan tunduk kepadanya ialah: mendukung dan menolong suami; menerima dan mengagumi suami; mempercayai dan menaati suami ; menghormati dan lebih menghormati suami. Selanjutnya relasi ini dapat dikembangkan oleh suami dan istri dengan cara: menjadi teman dan sahabat; saling melayani dan merawat; dan mengatur seisi rumah; rendah hati dan murah hati; memperhatikan pertumbuhan pribadi lebih dari hal lahiriah; dan sebagainya (bandingkan 1 Korintus 13:1-8; 1 Petrus 3:1-7).
2. Relasi dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Anak. Secara khusus, dengan hadirnya anak sebagai karunia dari Tuhan, relasi suami dan istri dalam keluarga akan bertambah. Kehadiran anak akan membentuk relasi orang tua dengan anak. Suami dan istri yang telah mempunyai anak, kini menjadi orang tua. Relasi ini disertai suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab orang tua terhadap anak dan tanggung jawab anak-anak terhadap orang tua. Rasul Paulus mengingatkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:1-4). Hal yang sama disampaikan rasul Paulus dalam Kolose 3:20-21, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”.
Berdasarkan ayat-ayat firman Tuhan di atas, tanggung Jawab orang tua terhadap anak-anaknya antara lain: (1) merencanakan masa depan mereka; (2) merawat dan memelihara mereka; (3) mengasuh dan mencukupi kebutuhan mereka; (4) mengasihi mereka; (5) mengajar, mendidik, dan membimbing mereka; (6) memberi teladan dan bersaksi bagi mereka. Sedangkan tanggung jawab anak terhadap orang tua antara lain: (1) membantu orang tua dalam memelihara seisi rumah; (2) mengerjakan tugas-tugas yang diberikan orang tua; (3) belajar dibawah bimbingan orang tua; serta (4) menghormati dan menaati orang tua.
PENTINGNYA CINTA DAN KOMITMEN
Cinta dan komitmen merupakan hal yang penting dalam sebuah rumah tangga (pernikahan) yang sehat. Saat ini, cinta dan komitmen nampaknya telah diabaikan dalam banyak pernikahan, termasuk pernikahan Kristen. Terlalu sering kehidupan pernikahan yang bermasalah diakhiri dengan perceraian! Gery Rosberg, seorang konselor pernikahan dan keluarga dalam bukunya Divorce-Proof Your Marriage yang terbit di tahun 2002 menuliskan keprihatinannya tentang tingginya angka perceraian di Amerika. Dalam buku tersebut Gery Rosberg mengungkapkan fakta bahwa saat ini di Amerika Serikat : 43 % dari semua pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. Sekitar 60 % dari pernikahan kedua mengalami nasib yang sama. Menurut penelitiannya, Angka perceraian di Amerika mencapai dua kali lipat angka perceraian di Perancis atau Jerman dan tiga kali lipat angka perceraian di Jepang. Yang lebih memprihatikan adalah kenyataan bahwa negara-negera tersebut pada umumnya memiliki lebih sedikit orang Kristen dibandingkan Ameria Serikat. Hanya Inggris yang mempunyai tingkat perceraian sebanding dengan Amerika, namun keadaan di Inggris tersebut baru muncul pada tahun 1996.[1]
Cinta dan komiten harus berjalan bersama-sama dalam pernikahan yang sehat. Seperti kata pepetah, sama seperti kuda dan keretanya, tanpa cinta komtmen dalam sebuah pernikahan hanya akan berjalan ditempat. Jika Cinta dan komitmen dalam pernikahan dapat diibaratkan seperti satu mata uang dengan dua sisi. Kehilangan salah satu sisi dapat menyebabkan ketidak-utuhan dalam rumah tangga. Komitmen merupakan pagar (pelindung) bagi pernikahan. Cinta tanpa komitmen dalam sebuah pernikahan akan menyebabkan ketidakpastian dan memberi peluang bagi ketidaksetiaan (perselingkungan) yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perceraian. Menurut catatan koes Irianto “50 % dari seluruh pernikahan di Amerika Serikat menghasilkan perceraian dalam dua tahun pertama, dengan alasan perselingkungan (ketidaksetiaan) oleh salah satu pasangannya”.[2] Sementara itu, H. Dale Burke telah mencatat bahwa 40 % pernikahan Kristen di Amerika terjamah oleh pengkhianatan dengan berbagai cara, saat suami istri mencapai usia 40 tahun. [3] Sedangkan cinta merupakan jantung (kehidupan) pernikahan. Komitmen tanpa cinta dalam sebuah pernikahan akan menjadikan sebuah pernikahan kaku, tanpa rasa, dan dijalani dengan terpaksa, yang akhirnya mengakibatkan “matinya” pernikahan. Karena itu mengabaikan satu dari kedua hal tersebut bisa berbahaya bagi pernikahan yang sehat, apalagi jika mengabaikan keduanya, akan menjadi sangat berbahaya!
MEMAHAMI MAKNA CINTA DAN PENARAPANANYA
Cinta dalam banyak budaya masyarakat kita saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang pasif dan hanya dihubungkan dengan perasaan (emosi) saja. Misalnya, seorang pria jatuh cinta dengan seorang wanita dianggap sebagai perasaan alamiah dan datang dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan. Dengan kata lain, kita tidak perlu memutuskan untuk jatuh cinta, perasaan itu akan datang dengan sendirinya. Perasaan cinta ini mendorong pria itu untuk memiliki si wanita, karena ia berpikir telah menemukan “cinta sejatinya”. Ternyata, 6 bulan setelah menikah mereka bercerai. Berbeda dengan konsep masyarakat saat ini yang mengajarkan kasih sebagai sesuatu yang fasif dan alamiah, Alkitab justru mengajarkan kasih dengan istilah yang lebih Aktif. Konsep kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang kata benda. Kasih merupakan suatu tugas, yaitu suatu tindakan yang harus dinyatakan. Allah memerintahkan kita untuk mengasihi, disatu sisi kita menyatakan perasaan (afeksi) kasih, dilain sisi kita harus bertindak dalam kasih.
Alkitab, Perjanjian Baru kebanyakan menggunakan dua kata Yunani untuk cinta yaitu: “agapaô” (kt kerja) atau “agape” (kt benda) untuk menyatakan kasih Allah, kasih sejati, tidak mementingkan diri, dan kasih dari hati yang peduli pada orang lain; dan (2) Kata kerja “phileô” yaitu kasih sayang antar sahabat atau teman. Kata ini sering diasosiakan dengan kasih persaudaran. Sedangkan kata Yunani klasik “eros” dan “storge” tidak digunakan dalam Alkitab. Kata kerja “eraô” atau kata benda “eran” seringkali ditulis “eros”, menunjukkan cinta dengan daya tarik seksual atau erotika. Kasih ini sering dihubungkan dengan romantistik; dan kata “stôrge” berarti kasih alami dalam keluarga, seperti kasih seorang ibu dan anaknya tidak digunakan di dalam Alkitab. Jadi, kasih dalam pengertian insani atau pun ilahi merupakan bentuk ungkapan yang paling dalam dari kepribadian sekaligus hubungan pribadi paling akrab dan paling dekat.
Rasul Yohanes mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” atau “ho theos agapê estin” (1 Yohanes 4:8). Ketika Yohanes berkata “Allah adalah kasih”, kalimat yang digunakannya dalam bentuk artikel definite, artinya tidak ada yang lain yang sama denganNya. Begitu besarnya kasih Allah itu, sehingga tidak ada yang menyamainya. Kasih Allah itu bersifat pribadi, kekal, sudah ada sebelum dunia dijadikan dan kasih itu begitu besarnya (Yeremia 31:3; Yohanes 3:16; Efesus 1:4-5). Karena itu, kasih lainnya (philia, eras dan storge) adalah alamiah bahkan manusia yang telah jatuh dapat memilikinya, tetapi kasih agape seperti yang dimiliki Allah tidak dimiliki manusia yang telah jatuh dalam dosa sampai anugerah Roh Kudus dalam Kristus melahirbarukannya. Kasih Allah ini dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus (Roma 5:5). Dengan demikian tidaklah mungkin bagi manusia memiliki kasih sejati diluar relasinya dengan Tuhan. Hanya dengan menerima kasih Tuhan dan anugerah Roh Kudus dalam Kristus yang melahirbarukan, barulah kita dapat mengasihi dengan kasih sejati (agape) itu. (Roma 5:5). Pertanyaannya, bagaimanakah menerapkan kasih itu dalam dalam sebuah rumah tangga (keluarga), khususnya rumah tangga Kristen?
1. Penerapan Kasih dalam Relasi Suami dan Istri. Suami dan istri dalam relasinya satu dengan yang lain harus memiliki kasih agape, eros dan philio. Ketiga jenis kasih itu harus dibagikan oleh suami dan istri kepada pasangannya masing-masing. Secara praktis ketiga jenis kasih itu diterapkan demikian : (1) Dengan kasih agape, suami dan istri dapat mengasihi dengan tulus, dari hati yang peduli satu sama lainnya, dan tidak mementingkan diri sendiri (bandingkan 1 Korintus 13). (2) Dengan kasih eros, suami dan istri dapat saling menunjukkan daya tarik seksual dan romantistik yang sangat perlu bagi kelanggengan suatu pernikahan (Bandingkan 1 Korintus 7:3,4; Amsal 5:18-19; Kidung Agung 2:16). (3) Dengan kasih Philio, suami dan istri dapat mengembangkan hubungan persahabatan satu sama lainnya (Bandingkan 1 Petrus 3:7).
2. Penerapan Kasih dalam Relasi Orang Tua dan Anak-Anak. Orang tua dan anak dalam relasinya satu dengan yang lain harus memiliki kasih agape, storge dan philio. Ketiga jenis kasih itu harus dibagikan oleh oleh orang tua kepada anak-anak mereka, dan demikian juga sebaliknya anak-anak kepada orang tuanya. Secara praktis ketiga jenis kasih itu diterapkan demikian : (1) Dengan kasih agape, orang tua dan anak-anak dapat mengasihi satu sama lain dengan tulus, dari hati yang peduli, dan tidak mementingkan diri sendiri. (2) Dengan kasih storge, orang tua dan anak-anak mengasihi dalam hubungan kasih alami dalam keluarga (kekerabatan) karena faktor keturunanan (hubungan darah), seperti kasih seorang ibu atau kasih seorang ayah pada anaknya. (3) Dengan kasih Philio, orang tua dan anak-anak dapat mengembangkan hubungan persahabatan atau pertemanan satu sama lainnya.
MEMAHAMI MAKNA KOMITMEN DAN PENERAPANNYA
Selain cinta, sisi penting yang membedakan pernikahan dan rumah tangga yang berhasil (berbahagia) dari pernikahan yang gagal (tidak bahagia) adalah soal komitmen. Adanya tingkat komitmen yang tinggi dari semua anggota keluarga merupakan faktor penentu bagi rumah tangga yang berhasil. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan komitmen? W.J.S Poerwadarminta menyebutkan komitmen sebagai, “perjanjian untuk melakukan sesuatu; atau kesanggupan”.[1] Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan komitmen sebagai “kesepakatan atau perikatan antara dua pihak atau lebih untuk melaksanakan sesuatu secara bersama-sama”. [2] Komitmen juga sinonim dengan perjanjian atau kontrak. Jadi komitmen adalah suatu janji pada diri kita sendiri dan orang lain, atau suatu janji bersama antara dua orang atau lebih, yang tercermin dalam kata-kata (lisan atau tertulis) dan tindakan (perbuatan). Dan, sekali janji dibuat, maka harus ada upaya untuk melaksanakan dan mempertahankan janji itu sampai akhir. Seiring bertambahnya usia pernikahan dalam suatu rumah tangga, maka komitmen juga akan semakin berkembang, dan dalam penerapannya komitmen harus tetap dijaga. Pertanyaannya pentingya adalah bagaimanakah menerapkan komitmen dalam sebuah rumah tangga (keluarga), khususnya rumah tangga Kristen?
1. Penerapan Bagi komitmen Suami dan Istri. Suami dan istri dalam relasinya satu dengan yang lain harus memiliki komitmen yang tinggi demi kebahagiaan pernikahan dan rumah tangga mereka. Sikap, tingkah laku, perkataan, dan filosofi (pandangan) mereka tentang pernikahan akan menunjukkan adanya komitmen yang tinggi terhadap keberhasilan pernikahan dan rumah tangga mereka. Karena itu secara praktis komitmen yang harus dipegang dan diterapkan suami dan istri bagi pernikahan dan rumah tangga mereka antara lain : (1) Komitmen pro kebahagiaan, yaitu komitmen untuk saling membahagiakan pasangan satu sama lainnya; (2) Komitmen anti cerai, yaitu komitmen untuk tetap bersatu sampai kematian yang memisahkan. (3) Komitmen anti selingkuh, yaitu komitmen untuk memelihara kekudusan dan kesetiaan pernikahan. (5) Komitmen untuk bersedia melakukan segalanya demi keberhasilan (kebahagiaan) pernikahan. (5) Komitmen untuk tidak mengizinkan orang lain (termasuk situasi dan materi) mengurangi kebahagiaan pernikahan.
2. Penerapan Komitmen Bagi Orang Tua dan anak-anak (Keluarga). Secara praktis komitmen yang harus dipegang dan diterapkan oleh orang tua dan anak-anak (bahkan seluruh anggota keluarga) bagi keberhasilan (kebahagian) rumah tangga mereka antara lain : (1) Komitmen menjaga nama baik keluarga. Tidak ada yang senang apabila nama baik keluarganya tercemar. Menjaga nama baik keluarga itu penting, karena sekali nama baik tercoreng, seumur hidup tidak bisa hilang. (2) Komitmen menjaga keutuhan rumah tangga. Semua anggota keluarga pasti ingin agar keluarganya senantiasa rukun selalu. Namun, yang namanya problem rumah tangga pastilah ada. Karena itu setiap anggota keluarga perlu berpikir dan bersikap dewasa dalam menghadapi suatu masalah. Jangan sampai masalah kecil (sepele) menjadi keributan besar dan keretakan rumah tangga. (3) Komitmen untuk menyelesaikan persoalan berdasarkan kebenaran Firman Tuhan. Keluarga bahagia bukan keluarga yang tanpa masalah tetapi keluarga yang dapat menyelesaikan masalah berdasarkan prinsip firman Tuhan. Karena itu, suami dan istri serta seluruh anggota keluarga harus berpusat pada Allah (theocentric family) dan menjadikan firman Tuhan (Alkitab) sebagai prinsip utama dalam mengatur dan menjalankan rumah tangga (bible oriented family). Jika suami dan istri, serta semua anggota keluarga taat kepada Kristus dan menjalankan prinsip firman Tuhan, maka hasilnya Tuhan akan menganugerahkan kebahagiaan sejati (Bandingkan 2 Timotius 3:14-17).
KEBERSAMAAN DALAM KELUARGA
Sebuah keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak. Persekutuan bersama dalam keluarga bersifat dinamis dan harus dijaga keharmonisannya. Karena itu, untuk menjaga kebersamaan dalam keluarga maka perlu memperhatikan dan mengembangakan hal-hal sebagai berikut: (1) Menyembah dan melayani Tuhan bersama-sama di gereja lokal; (2) Berdoa bersama-sama atau mezbah keluarga dalam ketekunan; (3) Mengatur keuangan bersama-sama; 4) Mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah bersama; (5) membuat dan menetapkan rencana untuk masa depan bersama-sama; (6) Membiasakan makan bersama-sama; (7) Melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik-baiknya; (8) Komunikasi yang baik dengan tegur sapa; (9) Kejujuran dengan menceritakan apa adanya; Rasa saling mempercayai dengan tidak mengatakan kebohongan; (10) Senyum dan tertawa dalam kebersamaan; (11) Menjalin persahabatan dengan semua anggota keluarga; (12) Saling memaafkan kesalahan; (13) Menyatakan cinta dan kasih sayang dengan perkataan dan perbuatan yang baik; (14) Saling menghargai ketika ada yang telah melakukan sesuatu untuk kebaikan; (15) Lembut dan tidak kasar terhadap semua anggota keluarga.
Salah satu cara untuk memelihara rumah tangga adalah melalu doa bersama. Dengan doa bersama, suami dan istri sedang memelihara kehidupan rohani keluarga. Pada saatnya berkat Allah baik rohani dan jasmani akan turun melimpah dalam hidup mereka (bandingkan Mazmur 133:1-3). Secara khusus waktu yang disediakan untuk mezbah keluarga sangat penting dan indah. Karena pada saat itu semua anggota keluarga berkumpul bersama. Hal ini merupakan sarana untuk membangun iman, kerohanian, pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan dan firmanNya, mengembangkan kasih dan komunikasi dengan Tuhan dan sesama anggota keluarga. Karena Tuhan dan keluarga kita penting, mengapa kita tidak memulai mezbah keluarga di dalam keluarga kita segera mungkin? Jadi, bertekad dan komitmenlah seperti Yosus yang berkata, “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15b).
SARAN-SARAN MEMELIHARA KEBAHAGIAAN RUMAH TANGGA
Sebuah kebahgiaan pernikahan (rumah tangga) adalah merupakan suatu usaha dan kerja sama antara suami dan istri, serta seluruh anggota keluarga. Bukan untuk bersaing menunjukkan mana yang lebih hebat, mampu, unggul dan bersaing, melainkan untuk keberhasilan dan kebahagiaan bersama. Perlu dipahami, pribadi dan karakter pasangan tidak bisa dirubah sesuai kemauan dan keinginan kita. Dalam kenyataannya, masing-masing tetap merupakan individu yang unik, yang memiliki pikiran sdan kehendak bebas, serta dalam pengertian tertentu mempunyai hak atas dirinya sendiri. Karena itu, berikut ini beberapa saran praktis dalam membina keluarga bahagia
1. Searah setujuan. Keluarga adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sebuah keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak. Sebagai sebuah tim, maka hanya ada satu “kapten” dalam dalam keluarga yaitu kepala keluarga. Dan, hanya ada satu tujuannya yaitu kebahagiaan rumah tangga. Semua anggota keluarga harus bergerak dan memainkan perannya, dan bersatu kearah tujuan di bawah pimpinan kepala keluarganya. Kunci kebrehasilan sebuah tim adalah kebersamaan. Jadi pernikahan adalah kesempatan yang diberikan Allah kepada suami dan istri, serta anak-anak yang dianugerahkan Tuhan untuk hidup bersama.
2. Keluar dari Imajinasi dan Hidup dalam Realita. Seorang pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah akan mengalami perubahan besar yang terjadi khususnya dalam lingkungan dan jadwal. Mereka harus membiasakan diri untuk hidup bersama. Ini berarti baik suami maupun istri, mereka harus memangkas dari jadwal mereka hal-hal yang kurang bermanfaat yang dapat menghilangkan kebersamaan mereka. Ini berarti suami dan istri perlu memberi batasan terhadap pergaulan, hobi, dan kesenangannya sendiri. Mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk saling memahami, memberi dan memerima satu dengan yang lain. Hal ini perlu mengingat, pernikahan menyatukan dua pribadi yang berbeda. Pria dan wanita memiliki kodrat yang tidak sama baik secara fisik, perasaan, maupun perilaku. Ditambah lagi perbedaan dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya, pendidikan, sikap dan pembawaan. Inilah realita yang harus diterima dan dijalani dalam rumah tangga.
3. Menjalin komunikasi. komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan rumah tangga, terutama bagi sumai dan istri. Komunikasi juga merupakan salah satu pilar langgengnya hubungan suami-istri. Hilangnya komunikasi berarti hilang pula salah satu pilar rumah tanga. Apa yang ada dalam pikiran dan perasaan sebaiknya diungkapkan dan dibicarakan melalui jalinan komunikasi antara suami dan istri. Masalah dan persoalan harus disampaikan dan dibicarakan dengan sebaik-baiknya. Jika ada masalah sebaiknya jangan dipendam, tetapi segera dikomunikasikan untuk diselesaikan bersama. Semua beban disimpan dalam hati akan 'mengganggu' jalannya komunikasi. Karena itu manfaatkanlah momen komunikasi sebaik mungkin dalam rumah tangga. Terutama kaum lelaki, agak lemah dalam membaca pikiran pasangan, karena itu sebaiknya para istri jangan mengharapkan agar suami mengerti apa yang ia mau jika tidak disampaikan atau dibicarakan. Karena itu sebaiknya, ungkapkan saja apa yang diinginkan.
4. Berusaha untuk saling mengerti dan memahami pasangan. Ada beberapa sifat tertentu dari pria ataupun wanita yang dapat ditangani sejak awal. Bahkan ada beberapa sifat aneh pria di mata wanita. Misal, dalam sebuah pria umumnya suka merasa jika dirinya penting dan memegang kendali serta keputusan. Suka dipuji dan diberi semangat. Meski kebanyakan wanita tidak ingin mendominasi pria dan menjadikannya sebagai pelindung. Namun banyak juga wanita yang melakukan kesalahan dengan menyepelekan suami. Bukannya membiarkan suami mereka merasa paling penting dalam keluarga, justru mengabaikannya. Sebaliknya, suami harus mengerti, bahwa kebanyakan wanita umumnya ingin diperlakukan sebagai kekasih dan sekali waktu ingin dipuji dan dimanja. Memberi “perlindungan” tidak hanya cukup dari segi materi saja. Para pria terkadang sulit mengerti apa yang sebenarnya diinginkan wanita. Istri juga ingin dihargai, dicintai dan dianggap ikut andil dalam kesuksesan suami.
5. Memenuhi Kebutuhan Seksual. Prinsip hubungan seks yang baik adalah keterbukaan dan kejujuran dalam mengungkapkan kebutuhan masing-masing. Intinya, kegiatan seks bertujuan untuk dinikmati dan saling memuaskan, namun perlu dihindari adanya kesan mengeksploitasi pasangan. Karena itu frekuensi, posisi dan teknik hubungan seks suami dan istri sebaiknya tidak boleh dipaksanakan melainkan sesuai dengan kehendak bersama yang bermanfaat bagi kedua pasangan. Kegiatan seks yang menyenangkan akan memberikan dampak positif bagi suami dan istri. Disinyalir, pasangan suami istri yang melakukan hubungan suami-istri dengan rutin serta terjadual akan mampu membawa rumah tangga menuju kebahagiaan.
6. Memelihara keromatisan. Terkadang, pasangan suami-istri yang sudah lama berumah tangga kurang, bahkan tidak lagi memelihara keromatisan dengan pasangannya. Padahal memperhatikan dan menghargai pasangan merupakan hal yang sangat perlu bagi kelanggengan rumah tangga. Cinta dan kasih sayang dapat diekspresikan pada pasangannya dengan tindakan. Karen itu jangan pernah malu atau merasa terlalu tua untuk saling berpegangan tangan dengan mesra, berpelukan, mencium kening dan melakukan ekspresi kasih sayang lainnya. Memelihra keharmonisan juga bisa dilakukan dengan memberi pujian yang ketulusan pada pasangan. Bisa juga dengan makan malam bersama diluar rumah, rekreasi bersama, atau merayakan ulang tahun pernikahan.
7. Hindari pihak ketiga. Kehidupan perkawinan merupakan otonomi tersendiri, yang sebaiknya tak dicampuri oleh pihak lain, apalagi pihak ketiga. Kehadiran pihak ketiga yang ikut campur tangan atau mempengaruhi dan masuk ke wilayah otoritas keluarga, bisa menciptakan bencana bagi rumah tangga tersebut. Terlebih, jangan ijinkan adanya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL) masuk dalam rumah tangga. Lemparkan jauh-jauh atau buang ke tong sampah segala bentuk ketidaksetiaan, perselingkuhan, dan pengkhianatan terhadap pasangan. Jadilah suami dan istri yang setia seumur hidup hanya dengan pasangannya sendiri.
8. Saling percaya, jujur dan terbuka. Tanpa rasa saling percaya antara pasangan suami-istri, perkawinan tentu tak akan berjalan mulus. Membangun rasa saling percaya juga merupakan perwujudan cinta yang dewasa. Padukan perkataan dengan sikap yang menunjukkan bahwa Anda tetap setia kepada cinta pasangan Anda. Semua itu membuktikan dalam hubungan terdapat kejujuran dan kepercayaan satu sama lain, dan dengan demikian Anda berdua akan sama-sama menikmati buah kesetiaan tanpa perlu khawatir dengan adanya kebohongan. Tidak perlu bagi suami dan istri merahasiakan sesuatu hal kepada pasangannya. Tidak ada orang yang perlu dirahasiakan dari suami dan istri paling kita sayangi. Pasangan bahagia adalah pasangan yang sangat mengerti bahwa menyimpan rahasia akan menimbulkan ketidakbahagiaan.
HAL-HAL PENTING LAINNYA PERLU DIKETAHUI BERSAMA
1. Tujuh Sifat Pria Yang Tidak Disukai Wanita. Berikut ini adalah hasil survey sebuah harian mengenai sifat pria yang tidak disukai oleh wanita, yaitu : (1) Pelit dan perhitungan, yaitu tipe pria yang pelit dan penuh perhitungan untuk memenuhi standar pasangannya; (2) Kasar, yaitu tipe pria yang suka memanfaatkan kekuataan fisiknya untuk berlaku kasar terhadap pasangannya dengan main pukul dan tendang.; (3) Tidak setia, yaitu tipe pria yang pandai berbohong dan berakting karena ia menjalin hubungan gelap dengan wanita lain, alias selingkuh; (4) Bodoh, yaitu tipe pria yang tidak bisa menyelesaikan masalah yang ada, bahkan ia terlihat seperti orang bodoh dan kekanak-kanakan; (5) Tidak tegas, yaitu tipe pria yang tidak bisa menunjukkan ketegasan, ia hanya ikut arus saja, tidak punya prinsip di dalam hidupnya; (6) Egois, yaitu tipe pria yang hanya memikirkan dirinya sendiri, mau menang sendiri, dan enak sendiri; dan (7) Pemalas, yaitu tipe pria yang yang malas bekerja, maunya hanya hidup enak dan menggantungkan hidupnya pada orang lain.
2. Tujuh Sifat Wanita Yang Tidak Disukai Pria. Berikut ini adalah hasil survey sebuah harian mengenai sifat wanita yang tidak disukai oleh pria, yaitu : (1) Cerewet, yaitu tipe wanita yang biasanya banyak omong, suka mencela, ngomel, tidak tahu berterima kasih dan bersyukur; (2) Curiga yang berlebihan, yaitu tipe wanita yang selalu mempunyai dugaan yang negatif terhadap kesetiaan pasangaannya dan selalu mempersoalkannya; (3) Malas, yaitu tipe wanita yang biasanya tidak mau peduli tehadap urusan rumah tangga, maunya semuanya diserahkan kepada pembantu; jika tidak ada pembantu kepada suaminya; (4) Bodoh, yaitu tipe aanita yang tidak bisa (atau tidak mau) mengimbangi kemajuan suami, ”tidak nyambung” jika diajak bicara hal-hal yang sedang menjadi pembicaraan; (5) Suka mengatur-atur, yaitu tipe wanita yang mau mengatur segala-galanya hingga hal-hal yang kecil sekalipun, bahkan pada umumnya mau mengatur uang harian suami; (6) Suka Gosip, yiatu tipe wanita yang tidak betah di rumah, lebih senang menghabiskan waktu berkumpul bersama ibu-ibu lainnya dengan melupakan tugas dan tanggung jawabnya di rumah; (7) Suka membandingkan, yaitu tipe wanita yang seperti ini biasanya membandingkan keberadaan keluarganya atau sifat suaminyan dengan orang lain.
3. Tujuh Sifat Anak Yang Memedihkan Hati Orang Tua. Berikut ini adalah hasil survey sebuah harian mengenai sifat anak yang memedihkan hati orang tua, yaitu : (1) Malas membantu orang tua. Anak seperti ini biasanya tangannya terlalu berat untuk membantu meringankan beban orang tua, walaupun hanya berupa menyapu, atau cuci piring, atau yang lainnya; (2) Tidak mau belajar. Anak seperti ini biasanya malas untuk mengulangi pelajaran yang telah diberikan di sekolah dan membuat PR sehingga selalu mendapat nilai yang jelek; (3) Senang keluar rumah dan kelayapan. Anak seperti ini biasanya sepulang sekolah langsung hilang dari rumah, pergi bermain ke tempat kawan-kawan hingga sore atau petang hari; lupa makan tidak pamit dengan orang tua; (4) Maunya main saja. Anak seperti ini biasanya yang diutamakannya main, entah itu game di komputer, di handphone, atau pun permainan dilapangan atau diluar rumah; (5) Cengeng dan cerewet. Anak seperti ini biasanya cepat sekali mengeluarkan air mata. Dibilangi sedikit sudah nangis, disuruh cepat juga nangis, dan lainnya; (6) Keras kepala. Anak seperti ini biasanya tidak memperhatikan nasihat orang tua; tidak perduli apa yang dikatakan orang tua; (7) Suka melawan. Anak seperti ini biasanya diberi nasihat malah membantah, membalas dengan marah-marah, mengolok, dan melawan jika disuruh melakukan sesuatu.
REFERENSI
Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim & Mark Laaser., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Dobson, James., 2004. Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Field, Lynda. 2004. Into a Wonderful New Life. Penerbit PT. Buana Ilmu Populer : Jakarta.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Hearth, W. Stanley., 1997. Psikologi Yang Sebenarnya. Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Irianto, Koes., 2013. Seksologi Kesehatan. Penerbit Alfabeta : Bandung.
King, Clayton & Charie King., 2012. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam Hubungan Perkawinan, terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.
McDowell, Josh., 1997. Rigth From Wrong , terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta.
Monks, F.J, AMP. Knoers, & Siti Rahayu Haditono., 1994. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Edisi Revisi. Diterbitkan dan dicetak : Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Notoatmodjo, Soekidjo., 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Penerbit PT. Rineka Cipta : Jakarta.
Paulus L. Kristianto., 2006. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Andi: Yogyakarta.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Surbakti, E.B., 2002. Kenalilah Anak Remaja Anda. Penerbit PT. Elex Media Komputindo : Jakarta.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.
Trisna, Jonathan A., 2013. Two Become One. Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Wijaya, Andik., 2014. Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness. Diterbikan oleh Kenza Publising House : Surabaya.
Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, hal 608
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru, Pustaka Phoenix: Jakarta, hal 470.