MENILAI SUATU PANDANGAN TEOLOGI ATAU DOKTRIN
By Samuel T. Gunawan.
PENDAHULUAN : MENILAI SUATU PANDANGAN TEOLOGI ATAU DOKTRIN . Pandangan teologi adalah suatu sistem pemahaman teologi yang dikembangkan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu masa atau generasi tertentu, yang kemudian diwariskan kepada pengikut atau generasi berikutnya. Sistem ini membentuk sebuah sudut pandang tertentu yang unik serta dianggap dan diyakini benar sehingga membentuk komunitas dengan sejarah pemikiran yang sama dan gerakan yang sama. Contoh dari sistem pandangan teologi seperti : teologi covenantal, teologi dispensasional, teologi arminian, teologi lutheran, teologi calvinik, teologi pentakostal, dan lain sebagainya. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah, bahwa suatu pandangan teologi juga merupakan suatu tafsiran terhadap Kitab Suci, dengan demikian pandangan teologi tidak ada yang sempurna karena dirumuskan oleh manusia dengan rasio yang terbatas. Jadi setiap pandangan teologi memiliki sisi kelemahan. Suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak. Misalnya, apa yang benar menurut pandangan teologi dispensasional belum tentu benar menurut pandangan teologi covenantal; kebenaran pandangan teologi calvik belum tentu benar menurut pandangan teologi arminian. Karena itu, suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak, tetapi merupakan pendapat, tafsiran dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu terhadap firman Tuhan. Hanya firman Tuhan (Kitab Suci) dalam naskah aslinya (otografi) yang layak disebut sebagai kebenaran mutlak (absolut), yang tidak bisa salah, tidak boleh diubah, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jadi suatu pandangan teologi itu penting tetapi bukan kebenaran mutlak dan bukan juga penentu kebenaran. MENGAPA PANDANGAN TEOLOGI BISA BERBEDA? Pertanyaannya ialah : “mengapa pandangan teologi bisa berbeda satu dengan yang lainnya”? Jawabannya, pastilah karena hal ini sangat berhubungan dengan masalah eksegesis, hermeneutika dan metode-metode teologi. Lalu, “apakah standar untuk menilai bahwa suatu pandangan teologi itu benar atau sesat, alkitabiah atau tidak?” Tentu saja dengan memperhatikan dan meneliti metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menafsirkan dan mengembangkan pandangan teologi itu apakah benar-benar absah dan alkitabiah. Karena itu, untuk menilai apakah pandangan teologi seseorang itu benar atau tidak, maka ia harus diuji berdasarkan Alkitab. Disinilah diperlukannya prinsip-prinsip, aturan-aturan atau norma-norma yang universal dan diterima sebagai alat penilai yang sah dalam menguji kebenaran. Sebagaimana di dalam logika seseorang dituntut untuk memenuhi aturan dan prinsip yang harus ditaati agar menghasilkan kesimpulan yang absah, demikian juga dalam menafsirkan Alkitab, seseorang dituntut untuk melakukannya dengan berpedoman pada aturan dan norma yang harus ditaati. Aturan-aturan atau norma-norma dalam penafsiran Alkitab tersebut disebut hermenutika, sedangkan penerapan aturan-aturan itu disebut eksegesis. Jadi yang perlu diperhatikan pada saat menyimpulkan benar atau sesat suatu ajaran adalah dengan meneliti “apakah ia telah menerapkan eksegesis yang sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika yang sehat dan wajar?” Dengan demikian, untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau sesat tidak hanya sekedar kesimpulan logis, yaitu berdasarkan penalaran yang sehat dan absah, tetapi juga alkitabiah, yaitu berdasarkan penafsiran yang sehat dan wajar. Mengapa? Karena kesimpulan logis belum tentu Alkitabiah dan benar. OTORITAS ALKITAB Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Disini saya berpegang pada kayakinan Protestan Konservatif bahwa Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Charles C. Ryrie menjelaskan keyakinan tersebut demikian, “Kitab Suci berisi pernyataan (wahyu) Allah yang objektif dan karena itu menjadi dasar otoritas bagi kaum Protestan konservatif”.[1] Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan.[2] Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab. Pengetahuan kita tentang Allah pertama dan terutama datang melalui Kitab Suci. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita, harus dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada otoritasnya, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang tersesat karena memulai dari titik awal yang salah. Karena itu, saat membahas tentang doktrin apapun, kita perlu memiliki titik awal yang tepat. Dan titik awal yang tepat ini adalah Alkitab. Tetapi tidak semua orang Kristen sepakat mengenai tafsiran terhadap ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. Disinilah letak permasalahannya: perbedaan dalam tafsiran! Perbedaan ini sangat dipengaruhi sistem hermeneutika dan metode eksegesis yang digunakan saat menafsir bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. Karena itu perlu bagi kita mengetahui alat yang bernilai untuk menafsirkan Alkitab. 1. Setiap Ajaran Utama dalam Alkitab Selalu Ditemukan dalam Perkataan Tuhan Yesus. Setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[3] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya. Alkitab mencatat “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat (semeiois te kai terasin) dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan (dunamesin) dan karunia Roh Kudus (pneumatos hagiou merismois), yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya” (Ibrani 2:3-4). Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[4] 2. Ajaran Yesus Ini Kemudian Dikembangkan Melalui Pewahyuan Roh Kudus dalam Tulisan Injil dan Surat-Surat Apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka. “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkatan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. 3. Roh Kudus Memberikan Kemampuan Kepada Kita Untuk Memahami Ajaran Kristus, Ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[5] Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). Tetapi sangat disayangkan, beberapa orang dengan berlindung di balik peran Roh Kudus tersebut, secara sengaja telah mengabaikan pembelajaran yang bertanggung jawab terhadap Alkitab. Roh Kudus dianggap dapat memberikan secara langsung pengertian kepada seseorang tanpa harus bersusah payah melakukan pembelajaran dan disiplin hermeneutik yang ketat. Memang benar bahwa Roh Kudus berdaulat dan mampu melakukan hal demikian, tetapi bukan untuk mendukung sifat malas dan tidak bertanggung jawab tersebut. Karena itu, dua kesalahan yang harus dihindari, yaitu : (1) Kecenderungan mengabaikan pentingnya hermeneutika dan eksegesis yang bertanggung jawab dengan alasan mementingkan peran Roh Kudus; (2) Kencenderungan menyandarkan diri pada kemampuan hermeneutik dan eksegesis semata-mata dengan mengabaikan peran Roh Kudus. Dengan demikian, di dalam proses mempelajari Alkitab dengan bergantung kepada Roh Kudus selaku “Sang Iluminator” dan pembimbing, kita tidak seharusnya bersikap pasif tetapi justru diharapkan menggunakan pikiran kita secara bertanggung jawab. Karena dalam hal membaca Alkitab, penerangan Ilahi bukanlah dimaksudkan sebagai pengganti tanggung jawab manusia untuk berpikir. Jadi, kita harus berusaha berpikir berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika. Hal ini melibatkan pemikiran secara eksegetis sehingga dapat memahami arti yang tepat, secara sistematis untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama, secara kritis untuk dapat mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan dan secara sintesis untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran secara keseluruhan. Tetapi, intelek saja tidak akan menjadikan seorang mengerti Alkitab dengan benar. Seorang penafsir Alkitab harus bergantung pada pengajaran Roh Kudus (Yohanes 16:12-15). Diperlukan sikap yang sadar untuk bergantung kepada Roh Kudus yang dinyatakan dalam kerendahan hati, pikiran dan keinginan dalam mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Roh kepada orang lain di sepanjang sejarah. Ringkasnya, di dalam hermeneutika, sebagaimana telah disebutkan diatas, kita dituntut untuk memahami konteks, latar belakang historis, budaya, tata bahasa (gramatika), dan maksud penulis Alkitab, ini sangat penting! Tetapi, tak seorangpun dapat mengklaim sistem hermenutika yang benar jika pengertiannya kurang dari tiga pengertian dasar yang disebutkan di atas. Lagi pula kita perlu menyadari bahwa keterbatasan hermeneutika sama dengan keterbatasan dari pernyataan Kitab Suci. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu tidak didukung oleh pernyataan Alkitab. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab. MENAFSIRKAN DOKTRIN 1. Pengertian Doktrin. Istilah “doktrin” berasal dari kata Yunani “didaskalia” dan “didakhe” yang berarti “ajaran” yang berasal dari akar kata “didaskô” yang berarti “mengajar atau mengajarkan”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. Perjanjian Baru menggunakan kata “didaskalia” ini sebanyak 21 kali, kata “didakhe” sebanyak 30 kali dan kata “didasko” sebanyak 97 kali. Salah satunya terdapat di dalam Kisah Para Rasul 2:42, di mana dikatakan bahwa para petobat gereja yang mula-mula bertekun dalam pengajaran (didakhe) para rasul.[6] Jadi, kata doktrin berarti sesuatu yang diajarkan, pengajaran, instruksi; prinsip-prinsip agama yang diajarkan; atau lebih harfiah doktrin berarti mengajarkan yang dasar.[7] Dari pengertian di atas maka doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan. Dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab yang adalah Firman Allah. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Jadi, dalam pengertian yang sempit doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan; dan dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Di dalam teologi Kristen, upaya untuk menyusun secara logis dan sistematis semua doktrin yang sudah tersedia di Alkitab disebut dengan istilah “teologi sistematika”. Teologi sistematika adalah bidang kajian teologi yang berkaitan dengan pengajaran Alkitab yang sudah diformulasikan secara sistematis dan logis dalam doktrin-doktrin mengenai Allah, Kristus, Roh Kudus, Manusia, Malaikat, Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, dan lain sebagainya. Teologi sistematika ini bertujuan untuk menemukan, merumuskan, dan mempertahankan dasar pengajaran iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab. 2. Tujuan Doktrin. Tujuan doktrin sebagaimana yang disebutkan oleh Kevin J. Conner adalah sebagai berikut: ”Permulaan Injil Lukas berkaitan dengan maksud tujuan doktrin. Lukas 1:1-4 dikatakan : ”..berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita... supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”[8] Berdasarkan ayat tersebut Conner memberikan penjelasan terhadap kata-kata dari ayat-ayat tersebut sebagai berikut: (1) ”berusaha” adalah dengan upaya; (2) ”Menyusun” berarti diatur secara berurutan; (3) ”Suatu berita” berarti kabar yang lengkap, yang penuh dan menyeluruh; (4) ”Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, yaitu yang berkaitan dengan Injil Tuhan Yesus Kristus; (5) ”Diajarkan” berarti diinstruksikan secara lisan. Kata ini berasal dari kata Yunani “katecheo” yang artinya menginstruksikan dengan cara bertanya dan mengoreksi jawaban-jawaban. (Kata katekisasi berasal dari kata ini, yang digunakan juga di dalam Kisah Para Rasul 18:25; dan Roma 2:18).[9] Kemudian Conner menyimpulkan bahwa maksud dan tujuan doktrinal teologi ialah “guna menyusun secara sistematis peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara orang-orang percaya yang sejati. Yakni untuk menginstruksikan orang percaya supaya ia dapat mengetahui bahwa apa yang diajarkan sungguh benar. Untuk memberikan dorongan pada orang percaya guna mempertahankan ”iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (lihat : Yudas 3).[10] 3. Sumber Doktrin. Sumber doktrin Kristen adalah Kitab Suci. Pengakuan ini didasarkan atas keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan (menyatakan) diriNya dan penyataan itu secara akurat dinyatakan dalam ke enam puluh enam kitab dari Kitab Suci (Alkitab). Dengan demikian, maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia akan Allah. Selanjutnya, sumber-sumber lainnya dalam penyusunan teologi dan doktrin Kristen, yaitu: (1) Pengakuan-pengakuan doktrinal, seperti: Kredo Rasuli, Kredo Nicea, Kredo, dan pengakuan iman lain. Hal ini penting untuk mengerti bagaimana orang-orang Kristen sepanjang abad memahami konsep teologis dan memformulasi doktrin-doktrin Alkitab; (2) Tradisi gereja, meskipun bisa salah, namun penting untuk dapat memahami afirmasi tentang iman Kristen. Apa yang individu, gereja-gereja, dan denominasi telah ajarkan merupakan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan pernyataan teologis; (3) Penalaran, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah juga suatu sumber teologi. Namun penalaran tetap harus takluk pada supranatural, daripada berusaha untuk menjelaskannya. 4. Persyaratan Doktrin. Paul Enns dalam The Moody Handbook of Theology menyebut persyaratan dari teologi (doktrinal), yaitu : (1) Inspirasi dan Inneransi Alkitab. Tidak ada teologi yang cukup dan mungkin tanpa suatu kepercayaan pada inspirasi dan inneransi Kitab Suci. Apabila doktrin inspirasi dan inneransi ini ditinggalkan, maka hal itu akan menjadikan penalaran sebagai sumber otoritas dan penalaran akan duduk sebagai hakim atas teks Kitab Suci; (2) Aplikasi dan Prinsip-Prinsip Hermeneutika Yang Tepat. Aplikasi dan prinsip-prinsip hermeneutika yang tepat akan mendorong objektivitas, serta memaksa penafsir untuk mengesampingkan bias-bias dan ekstrim-ekstrim; (3) Pendekatan Ilmiah. Teologi harus ilmiah, dalam arti menerapkan seni secara umum, budaya, dan bahasa Alkitab dalam menarik kesimpulan teologis; (4) Objektivitas. Teologi harus berdasarkan pada riset induktif dan kesimpulan-kesimpulan, bukan berdasarkan penalaran secara deduktif. Teologi harus mendekati kitab suci dengan tabulasi rasa, suatu pikiran yang terbuka, mengizinkan Kitab Suci untuk berbicara bagi dirinya tanpa membentuk opini yang bersifat prejudis tentang apa yang seharusnya dikatakan oleh Kitab Suci; (5) Wahyu Progresif. Meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diinspirasikan, namun keduanya merupakan suatu kanon yang pewahyuannya bersifat progresif. Karena itu, dalam merumuskan kebenaran tentang Allah dan bagaimana Ia berhadapan dengan manusia, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama; (6) Iluminasi. Pada waktu menerapkan hermeneutika dan metode yang tepat, unsur ilahi untuk memahami kebenaran Allah tidak boleh diabaikan. Orang-orang percaya dibantu oleh pelayanan Roh Kudus, yaitu iluminasi untuk membimbing orang percaya pada suatu pengertian akan kebenaran ilahi; (7) Pengakuan Akan Keterbatasan Manusia. Pada waktu menerapkan metode yang tepat, harus disadari akan keterbatasan. Manusia tidak akan pernah dapat memahami Allah secara total. Ia harus puas dengan pengetahuan yang terbatas.[11] 4. Penafsiran doktrin. Bagaimana dengan penafsiran doktrinal? Pengajaran atau doktrin, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis. Alkitab adalah sumber dari semua doktrin Kristen yang Tuhan inginkan untuk diajarkan kepada kita. Doktrin-doktrin Alkitab merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling bertentangan satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. Berikut ini beberapa petunjuk untuk menafsir doktrin: (1) Dasarkan penafsiran doktrin pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas; (2) Dasarkan doktrin pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran;[12] (3) Dasarkan doktrin pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran. Tidaklah bijaksana jika merumuskan doktrin dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; (4) Pakailah semua prinsip-prinsip umum hermeneutika untuk menafsirkan doktrin; (5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam menafsirkan doktrin. CIRI-CIRI DOKTRIN YANG BENAR Pada akhir zaman kapasitas doktrin Iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat. Doktrin ini bisa berupa filsafat, tahyul dan tradisi-tradisi manusia. (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. Berikut ini adalah ciri-ciri dari doktrin yang benar. 1. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Alkitabiah (2 Timotius 3:14-17). Doktrin yang Alkitabiah adalah doktrin yang bersumber pada seluruh Firman Allah. Doktrin seperti ini tidak hanya bermanfaat untuk pengajaran tetapi juga untuk menyatakan kesalahan, mendidik dan memperbaiki agar orang percaya memiliki hidup yang berkenan kepada Allah. Untuk menghasilkan doktrin yang Alkitabiah diperlukan interpretasi yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar, benar dan dapat dipertanggunjawabkan sehingga menghasilkan doktrin yang sehat. 2. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Sehat (1 Timotius 1:10; 2 Timotius 4:2-4; Titus 1:9; 2:1). Doktrin yang benar adalah doktrin yang sehat. Doktrin yang sehat akan memelihara orang percaya agar tetap sehat dan terhindar dari kekeliruan. Doktrin yang sehat menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan rohani yang sehat bagi orang percaya. Doktrin sehat menghasilkan paktek kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Doktrin dan pengajaran yang sehat selalu diharapkan untuk menghasilkan kehidupan yang kudus. Doktrin yang sehat tidak hanya dinyatakan melalui pengakuan iman atau kredo, tetapi melalui kehidupan yang berbuah-buah. 3. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Murni (2 Timotius 4:6). Murni artinya bebas dari campuran. Kita tahu bahwa Alkitab dalam naskah aslinya itu benar, bebas dari kesalahan dan tanpa kekeliruan. Hal ini dikarenakan Alkitab itu adalah wahyu Allah melalui ilham kepada penulis-penulis Alkitab. Dengan demikian Alkitab itu murni dan keasliannya terjamin. Alkitab dikatakan asli karena memang ditulis penulis yang namanya dipakai untuk kitab dan tulisannya tepat pada zaman dimaksud. Doktrin yang murni bersumber hanya pada Firman Allah (Alkitab). Ujian dari kemurnian doktrin adalah kemurnian dan kekudusan hidup yang dihasilkannya. 4. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Menghasilkan Karakter yang Kudus (Titus 2:1). Merupakan fakta yang sudah terbukti bahwa doktrin mempengaruhi karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya. Jika seseorang menerima dan mengikuti doktrin yang sehat maka doktrin itu akan menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius agar “awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:6,13,16). Selanjutnya Paulus berbicara tentang “ajaran yang sesuai dengan ibadah kita” (1 Timotius 6:1-3), yakni serupa dengan Allah dalam hal karakter dan kehidupan yang kudus. Saya memperhatikan, dan ini sangat memprihatinkan, bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang memutlakkan pandanganya dan langsung menuduh sesat atau berbahaya suatu pemikiran yang tidak sama dengan pandangannya. Saya setuju apabila pandangan yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar kepercayaan Kristen Ortodoksi dan Konservatif disebut sebagai pandangan yang berbahaya. Tetapi, saya tidak setuju apabila alat penilaian itu didasarkan pada pandangan atau paham teologi tertentu.[13] Paulus Daun, seorang pengajar dan teolog Injili, memberikan kriteria atau ciri-ciri ajaran sesat (bidat) sebagai berikut: (1) Mengemukakan kebenaran baru; (2) Mengemukakan penafsiran baru; (3) Mengemukakan sumber otoritas non Alkitabih; (4) Mengemukakan Yesus yang lain; (5) Mengemukakan doktrin non ortodoks; (6) Mengemukakan kepalsuan; (7) Mengkultuskan (memuja) pemimpinnya.[14] David Pan Purnomo menyatakan bahwa bidat sebenarnya adalah ajaran atau aliran atau sekte yang menyimpang dari ajaran Kristen yang benar.[15] Pada umumnya bidat muncul karena ada sekelompok orang yang berkumpul bersama untuk mengikuti seseorang yang keliru menginterpretasikan Alkitab. Misalnya, Saksi-Saksi Yehovah, adalah orang-orang yang mengikuti interpretasi Charles T. Russel dan J.F. Rutherford. Mormonisme adalah orang-orang yang mempercayai interpretasi Joseph Smith dan Brigham Young. Penganut Christian Science merupakan murid Mary Baker Eddy yang sangat mempercayai interpretasi Alkitabnya. Saat ini beraneka macam bidat[16] telah timbul di kalangan gereja-gereja Kristen, dan mereka mempunyai ciri-ciri yang hampir sama satu dengan yang lain, yaitu: (1) Mereka mempercayai auto-soterisme, yaitu manusia yang sanggup menyelamatkan diri sendiri. Memang banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa manusia diselamatkan karena anugerah Tuhan, tetapi keselamatan itu masih diberi syarat-syarat tertentu. Misalnya, Seventh Day Adventist mengira bahwa memegang hari Sabat “membantu” seseorang untuk diselamatkan, padahal Alkitab mengajarkan “sola gratia”, yaitu hanya oleh anugerah manusia diselamatkan (Efesus 2:8-9); (2) Menyangkal keilahian Kristus yang mutlak. Misalnya Saksi-Saksi Yehovah menyangkal bahwa Kristus yang setara dengan Allah Bapa. Mereka tidak mempercayai Allah Tritunggal, menganggap Kristus sebagai ciptaan Allah yang tertinggi, tetapi bukan anak Allah yang kekal; (3) Tidak memerlukan pertobatan yang total. Misalnya, Mormonisme beranggapan bahwa melalui pembaptisan di gereja Mormon, dosa seseorang dapat diampuni. Christian Science bahkan menyangkal adanya dosa, mereka menganggap dosa hanyalah fantasi manusia yang fana; (4) Menjadi anggota gereja mereka merupakan jalan menunju keselamatan. Orang Mormon mengatakan bahwa menjadi anggota gereja Mormon berarti diselamatkan. (5) Selain Alkitab mereka masih mempunyai buku-buku lain yang otoritasnya sama atau melebihi Alkitab. Misalnya Christian Science menyamakan buku-buku karangan Mary Baker Eddy dengan Alkitab. Begitu juga dengan saksi-saksi Yehovah yang menganggap buku-buku karangan Charles T. Russel setara dengan Alkitab. Orang Mormon mempunyai tiga macam buku yang berotoritas seperti Alkitab yaitu The Book of Mormon, Doctines and Covenants dan Pearl or Great Price. Karena itu, sebaiknya kita harus berpegang teguh pada semboyan para reformator “Sola Scriptura”, yang berarti bahwa hanya Alkitab yang menjadi pedoman dan dasar iman kepercayaan dan kehidupan orang Kristen; (6)Di antara mereka ada yang memfitnah Yesus. Pemimpin Mormon yang bernama Brigham Youm mengatakan bahwa Yesus adalah Polygamis. Ia mempunyai beberapa istri, termasuk Maria Magdalena serta Marta dan Maria dari Betania. Ia juga mengatakan bahwa pesta pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11), adalah salah satu pesta pernikahan Tuhan Yesus; (7) Banyak bidat yang memakai alasan rohani untuk melampiaskan hawa nafsu mereka. Misalnya aliran The Children of God menganjurkan umatnya mempergunakan hubungan seks untuk “menyelamatkan jiwa” orang lain. Mereka juga menyetujui bahwa anak-anak yang belum dewasa hendaknya mempunyai pengalaman seks; (8) Salah menafsirkan Alkitab. Misalnya, Alkitab mengatakan, “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23), Saksi-saksi Yehovah berpendapat bahwa “maut” yang dimaksud di sini adalah “lenyap atau tidak ada lagi”. Mereka menyangkal adanya penghukuman orang berdosa pada akhir zaman, menyangkal adanya neraka, sebab dianggap bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan kasih Allah; (9) Mereka mengira bahwa pemimpin-pemimpin mereka mendapat wahyu dan urapan yang khusus. Misalnya gereja Roma Katolik di dalam konferensi di Vatican pada tahun 1870 memutuskan suatu kaidah bahwa Paus Katolik itu tidak mungkin berbuat salah. Mereka terlalu mengagungkan pemimpin mereka. Demikian juga dengan Christian Science yang menganggap Mary Baker Eddy adalah “nabi”. Bagi orang Mormon, mereka percaya bahwa Joseph Smith telah menerima wahyu dari malaikat untuk menulis buku Mormon. (10) Bidat-bidat yang berkaitan dengan Modernisme atau Liberalisme pada umumnya tidak mempercayai segala mujizat dan hal-hal yang supranatural di dalam Alkitab. Misalnya tidak mempercayai Tuhan Yesus dilahirkan melalui anak dara Maria, tidak mempercayai kebangkitan tubuh, menyangkal kedatangan Yesus yang kedua kali, dan lain-lain.[17] KEMBALI PADA DOKTRIN YANG BENAR DAN SEHAT Di Indonesia ada slogan yang dipopulerkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu “teliti sebelum membeli”. Tujuannya adalah agar konsumen atau pembeli tidak salah membeli sehingga mendapatkan barang jelek atau rusak. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dengan cermat. Jika untuk barang-barang jasmani yang sifatnya sementara dan tidak kekal kita disarankan untuk berbuat demikian, apalagi terhadap perkara-perkara rohani. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”, atau secara harafiah berarti “membuktikan dengan menguji”. Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang yang mengaku digerakan oleh roh ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja (Markus 13:22). Karena itu, ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah sangat dibutuhkan, apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Kita harus bisa membedakan mana yang gerakan dan mana yang ekses. Hal ini penting supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Beberapa pertanyaan diagnostik berikut dapat digunakan untuk menguji hal tersebut. Pertama, apakah hal tersebut sesuai dengan firman Tuhan atau ajaran Alkitab? Kedua, apakah hal tersebut meninggikan dan memuliakan Tuhan Yesus, karena pelayanan Roh Kudus tidak pernah lepas dari memuliakan Kristus (Yohanes 16:14)? Ketiga, apakah hal tersebut mendatangkan pertobatan dan damai sejahtera? Atau sebaliknya justru menimbulkan keresahan, ketakutan, kerusakan dan kehancuran? Kristus mengingatkan, “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” (2 Petrus 2:1-22) yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21). Maksud dari ayat ini jelaslah bukan untuk menyatakan bahwa semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” yang terjadi saat ini palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”. Ajukan ketiga pertanyaan tersebut di atas, bersikaplah kritis, jujur dan terbuka, serta belajarlah tanggap terhadap tuntunan Roh Kudus. Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut ”tidak” maka kita harus dengan tegas dan berani menolak ajaran atau praktek yang mengatasnamakan Roh Kudus. Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Kebenaran sejati harus diuji dan tidak perlu takut bila menghadapi ujian atau kritikan. Dapat dipastikan, hanya mereka yang keliru dan tidak benar yang takut terhadap ujian. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Saat ini, ada serangan yang hebat terhadap doktrin yang sehat. Ada upaya dan ajakan untuk berpaling dari ajaran yang sehat kepada filsafat-filsafat manusia dan ajaran-ajaran setan. Banyak pemimpin gereja tidak memiliki waktu mengkhotbahkan atau mengajarkan doktrin. Mereka telah berpaling kepada pidato, politik, etika, khotbah injil sosial yang mengatakan bahwa doktrin tidak berguna lagi dan ketinggalan zaman. Rasul Paulus mengingatkan “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Timotius 4:3). John Piper mengingatkan, “Diantara kaum Injili hari ini, ada cara-cara lain yang secara efektif merendahkan kuasa dan otoritas khotbah yang Alkitabiah. Ada epistemonologi-epistemonologi subjektif yang merendahkan pernyataan proporsional. Ada teori-teori linguistik yang mengembangkan admosfir eksegetis yang ambigu. Dan ada relaivisme kultural yang populer, yang memungkinkan bagi jemaat untuk membuang sekehendaknya pengajaran Alkitabiah yang dirasakan tidak nyaman oleh mereka”.[1] Selanjutnya John Piper mengatakan, “Dimana hal-hal semacam ini berakar, Alkitab akan dibungkam dalam gereja, dan khotbah akan menjadi sebuah refleksi tentang isu-isu terkini dan opini-opini agamawi. Tentu saja bukan ini yang Paulus maksud ketika ia berkata kepada Timotius, ‘Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”.[2] Perkataan John Piper tersebut di atas sesungguhnya merupakan teguran yang positif bagi para pemimpin gereja, pendeta, pengkhotbah dan pengajar Alkitab saat ini. Mengingat bahwa pada akhir zaman kapasitas doktrin iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat, maka kita perlu mengetahui doktrin yang benar. Doktrin iblis bisa berupa: filsafat, takhyul dan tradisi-tradisi manusia (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. REFERENSI: [1] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 28. [2] Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 30. [3] Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20). [4] Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8. [5] Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan. [6] Conner, Kevin. J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 15-37; Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. [7] Kata Yunani “doktrin” adalah “διδασκαλια (didaskalia); διδαχη (didakhê) dari akar kata “διδασκω (didaskô) yang berarti “mengajar”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. [8] Conner, Kevin. J., A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, hal. 17 [9] Ibit. [10] Ibit. [11] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 180-182. [12] Beberapa ahli teologi pada masa lalu mengamati perbedaan teologi Pentakostal dari teologi Protestan-Injili antara lain: (1) Teologi Pentakostal didasarkan pada Kitab Kisah Para Rasul dan Kitab-Kitab Injil; Sedangkan teologi Protestan didasarkan pada Surat-Surat Rasul Paulus. (2) Implikasi dari perbedaan tersebut, maka teologi Pentakostal dianggap bersifat naratif-praktis; sedangkan teologi Protestan bersifat normatif-didaktik. Tetapi penelitian beberapa pakar teologi Injili terkini menunjukkan bahwa Kisah Para Rasul dan Injil Lukas bukan hanya bersifat naratif-praktis tetapi juga bersifat teologis-didaktif. (Lihat: Menzies, William W & Robert P., 2005. Roh Kudus dan Kuasa. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 49-62). [13] Karena itu, saya mengajak orang-orang Kristen merekonstruksi kembali alat yang dipakai untuk menilai bahwa suatu ajaran itu sesat. Karena jika alat untuk menilai itu merupakan suatu pandangan teologi-dogmatis tertentu, maka alat penilai itu bukan standar dan bisa jadi justru alat yang keliru. [14] Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Daun Family: Manado, hal. 21-29. [15] Purnomo, David Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Pernerbit SAAT: Malang, hal. 23. [16] Scotland, Nigel., 2013. Buku Wajib Cara Menangkal Sekte dan Agama Baru. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta; Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Apologetika. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung; Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado. [17] Purnomo, Devid Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, hal. 23-25. [18] Piper, John., 2009. Supremasi Allah Dalam Khotbah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 28. [19] Ibit, hal. 29. Pandangan teologi adalah suatu sistem pemahaman teologi yang dikembangkan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu masa atau generasi tertentu, yang kemudian diwariskan kepada pengikut atau generasi berikutnya. Sistem ini membentuk sebuah sudut pandang tertentu yang unik serta dianggap dan diyakini benar sehingga membentuk komunitas dengan sejarah pemikiran yang sama dan gerakan yang sama. Contoh dari sistem pandangan teologi seperti : teologi covenantal, teologi dispensasional, teologi arminian, teologi lutheran, teologi calvinik, teologi pentakostal, dan lain sebagainya. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah, bahwa suatu pandangan teologi juga merupakan suatu tafsiran terhadap Kitab Suci, dengan demikian pandangan teologi tidak ada yang sempurna karena dirumuskan oleh manusia dengan rasio yang terbatas. Jadi setiap pandangan teologi memiliki sisi kelemahan. Suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak. Misalnya, apa yang benar menurut pandangan teologi dispensasional belum tentu benar menurut pandangan teologi covenantal; kebenaran pandangan teologi calvik belum tentu benar menurut pandangan teologi arminian. Karena itu, suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak, tetapi merupakan pendapat, tafsiran dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu terhadap firman Tuhan. Hanya firman Tuhan (Kitab Suci) dalam naskah aslinya (otografi) yang layak disebut sebagai kebenaran mutlak (absolut), yang tidak bisa salah, tidak boleh diubah, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jadi suatu pandangan teologi itu penting tetapi bukan kebenaran mutlak dan bukan juga penentu kebenaran. MENGAPA PANDANGAN TEOLOGI BISA BERBEDA? Pertanyaannya ialah : “mengapa pandangan teologi bisa berbeda satu dengan yang lainnya”? Jawabannya, pastilah karena hal ini sangat berhubungan dengan masalah eksegesis, hermeneutika dan metode-metode teologi. Lalu, “apakah standar untuk menilai bahwa suatu pandangan teologi itu benar atau sesat, alkitabiah atau tidak?” Tentu saja dengan memperhatikan dan meneliti metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menafsirkan dan mengembangkan pandangan teologi itu apakah benar-benar absah dan alkitabiah. Karena itu, untuk menilai apakah pandangan teologi seseorang itu benar atau tidak, maka ia harus diuji berdasarkan Alkitab. Disinilah diperlukannya prinsip-prinsip, aturan-aturan atau norma-norma yang universal dan diterima sebagai alat penilai yang sah dalam menguji kebenaran. Sebagaimana di dalam logika seseorang dituntut untuk memenuhi aturan dan prinsip yang harus ditaati agar menghasilkan kesimpulan yang absah, demikian juga dalam menafsirkan Alkitab, seseorang dituntut untuk melakukannya dengan berpedoman pada aturan dan norma yang harus ditaati. Aturan-aturan atau norma-norma dalam penafsiran Alkitab tersebut disebut hermenutika, sedangkan penerapan aturan-aturan itu disebut eksegesis. Jadi yang perlu diperhatikan pada saat menyimpulkan benar atau sesat suatu ajaran adalah dengan meneliti “apakah ia telah menerapkan eksegesis yang sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika yang sehat dan wajar?” Dengan demikian, untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau sesat tidak hanya sekedar kesimpulan logis, yaitu berdasarkan penalaran yang sehat dan absah, tetapi juga alkitabiah, yaitu berdasarkan penafsiran yang sehat dan wajar. Mengapa? Karena kesimpulan logis belum tentu Alkitabiah dan benar. OTORITAS ALKITAB Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Disini saya berpegang pada kayakinan Protestan Konservatif bahwa Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Charles C. Ryrie menjelaskan keyakinan tersebut demikian, “Kitab Suci berisi pernyataan (wahyu) Allah yang objektif dan karena itu menjadi dasar otoritas bagi kaum Protestan konservatif”.[1] Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan.[2] Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab. Pengetahuan kita tentang Allah pertama dan terutama datang melalui Kitab Suci. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita, harus dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada otoritasnya, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang tersesat karena memulai dari titik awal yang salah. Karena itu, saat membahas tentang doktrin apapun, kita perlu memiliki titik awal yang tepat. Dan titik awal yang tepat ini adalah Alkitab. Tetapi tidak semua orang Kristen sepakat mengenai tafsiran terhadap ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. Disinilah letak permasalahannya: perbedaan dalam tafsiran! Perbedaan ini sangat dipengaruhi sistem hermeneutika dan metode eksegesis yang digunakan saat menafsir bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. Karena itu perlu bagi kita mengetahui alat yang bernilai untuk menafsirkan Alkitab. 1. Setiap Ajaran Utama dalam Alkitab Selalu Ditemukan dalam Perkataan Tuhan Yesus. Setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[3] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya. Alkitab mencatat “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat (semeiois te kai terasin) dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan (dunamesin) dan karunia Roh Kudus (pneumatos hagiou merismois), yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya” (Ibrani 2:3-4). Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[4] 2. Ajaran Yesus Ini Kemudian Dikembangkan Melalui Pewahyuan Roh Kudus dalam Tulisan Injil dan Surat-Surat Apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka. “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkatan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. 3. Roh Kudus Memberikan Kemampuan Kepada Kita Untuk Memahami Ajaran Kristus, Ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[5] Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). Tetapi sangat disayangkan, beberapa orang dengan berlindung di balik peran Roh Kudus tersebut, secara sengaja telah mengabaikan pembelajaran yang bertanggung jawab terhadap Alkitab. Roh Kudus dianggap dapat memberikan secara langsung pengertian kepada seseorang tanpa harus bersusah payah melakukan pembelajaran dan disiplin hermeneutik yang ketat. Memang benar bahwa Roh Kudus berdaulat dan mampu melakukan hal demikian, tetapi bukan untuk mendukung sifat malas dan tidak bertanggung jawab tersebut. Karena itu, dua kesalahan yang harus dihindari, yaitu : (1) Kecenderungan mengabaikan pentingnya hermeneutika dan eksegesis yang bertanggung jawab dengan alasan mementingkan peran Roh Kudus; (2) Kencenderungan menyandarkan diri pada kemampuan hermeneutik dan eksegesis semata-mata dengan mengabaikan peran Roh Kudus. Dengan demikian, di dalam proses mempelajari Alkitab dengan bergantung kepada Roh Kudus selaku “Sang Iluminator” dan pembimbing, kita tidak seharusnya bersikap pasif tetapi justru diharapkan menggunakan pikiran kita secara bertanggung jawab. Karena dalam hal membaca Alkitab, penerangan Ilahi bukanlah dimaksudkan sebagai pengganti tanggung jawab manusia untuk berpikir. Jadi, kita harus berusaha berpikir berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika. Hal ini melibatkan pemikiran secara eksegetis sehingga dapat memahami arti yang tepat, secara sistematis untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama, secara kritis untuk dapat mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan dan secara sintesis untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran secara keseluruhan. Tetapi, intelek saja tidak akan menjadikan seorang mengerti Alkitab dengan benar. Seorang penafsir Alkitab harus bergantung pada pengajaran Roh Kudus (Yohanes 16:12-15). Diperlukan sikap yang sadar untuk bergantung kepada Roh Kudus yang dinyatakan dalam kerendahan hati, pikiran dan keinginan dalam mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Roh kepada orang lain di sepanjang sejarah. Ringkasnya, di dalam hermeneutika, sebagaimana telah disebutkan diatas, kita dituntut untuk memahami konteks, latar belakang historis, budaya, tata bahasa (gramatika), dan maksud penulis Alkitab, ini sangat penting! Tetapi, tak seorangpun dapat mengklaim sistem hermenutika yang benar jika pengertiannya kurang dari tiga pengertian dasar yang disebutkan di atas. Lagi pula kita perlu menyadari bahwa keterbatasan hermeneutika sama dengan keterbatasan dari pernyataan Kitab Suci. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu tidak didukung oleh pernyataan Alkitab. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab. MENAFSIRKAN DOKTRIN 1. Pengertian Doktrin. Istilah “doktrin” berasal dari kata Yunani “didaskalia” dan “didakhe” yang berarti “ajaran” yang berasal dari akar kata “didaskô” yang berarti “mengajar atau mengajarkan”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. Perjanjian Baru menggunakan kata “didaskalia” ini sebanyak 21 kali, kata “didakhe” sebanyak 30 kali dan kata “didasko” sebanyak 97 kali. Salah satunya terdapat di dalam Kisah Para Rasul 2:42, di mana dikatakan bahwa para petobat gereja yang mula-mula bertekun dalam pengajaran (didakhe) para rasul.[6] Jadi, kata doktrin berarti sesuatu yang diajarkan, pengajaran, instruksi; prinsip-prinsip agama yang diajarkan; atau lebih harfiah doktrin berarti mengajarkan yang dasar.[7] Dari pengertian di atas maka doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan. Dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab yang adalah Firman Allah. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Jadi, dalam pengertian yang sempit doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan; dan dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Di dalam teologi Kristen, upaya untuk menyusun secara logis dan sistematis semua doktrin yang sudah tersedia di Alkitab disebut dengan istilah “teologi sistematika”. Teologi sistematika adalah bidang kajian teologi yang berkaitan dengan pengajaran Alkitab yang sudah diformulasikan secara sistematis dan logis dalam doktrin-doktrin mengenai Allah, Kristus, Roh Kudus, Manusia, Malaikat, Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, dan lain sebagainya. Teologi sistematika ini bertujuan untuk menemukan, merumuskan, dan mempertahankan dasar pengajaran iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab. 2. Tujuan Doktrin. Tujuan doktrin sebagaimana yang disebutkan oleh Kevin J. Conner adalah sebagai berikut: ”Permulaan Injil Lukas berkaitan dengan maksud tujuan doktrin. Lukas 1:1-4 dikatakan : ”..berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita... supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”[8] Berdasarkan ayat tersebut Conner memberikan penjelasan terhadap kata-kata dari ayat-ayat tersebut sebagai berikut: (1) ”berusaha” adalah dengan upaya; (2) ”Menyusun” berarti diatur secara berurutan; (3) ”Suatu berita” berarti kabar yang lengkap, yang penuh dan menyeluruh; (4) ”Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, yaitu yang berkaitan dengan Injil Tuhan Yesus Kristus; (5) ”Diajarkan” berarti diinstruksikan secara lisan. Kata ini berasal dari kata Yunani “katecheo” yang artinya menginstruksikan dengan cara bertanya dan mengoreksi jawaban-jawaban. (Kata katekisasi berasal dari kata ini, yang digunakan juga di dalam Kisah Para Rasul 18:25; dan Roma 2:18).[9] Kemudian Conner menyimpulkan bahwa maksud dan tujuan doktrinal teologi ialah “guna menyusun secara sistematis peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara orang-orang percaya yang sejati. Yakni untuk menginstruksikan orang percaya supaya ia dapat mengetahui bahwa apa yang diajarkan sungguh benar. Untuk memberikan dorongan pada orang percaya guna mempertahankan ”iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (lihat : Yudas 3).[10] 3. Sumber Doktrin. Sumber doktrin Kristen adalah Kitab Suci. Pengakuan ini didasarkan atas keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan (menyatakan) diriNya dan penyataan itu secara akurat dinyatakan dalam ke enam puluh enam kitab dari Kitab Suci (Alkitab). Dengan demikian, maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia akan Allah. Selanjutnya, sumber-sumber lainnya dalam penyusunan teologi dan doktrin Kristen, yaitu: (1) Pengakuan-pengakuan doktrinal, seperti: Kredo Rasuli, Kredo Nicea, Kredo, dan pengakuan iman lain. Hal ini penting untuk mengerti bagaimana orang-orang Kristen sepanjang abad memahami konsep teologis dan memformulasi doktrin-doktrin Alkitab; (2) Tradisi gereja, meskipun bisa salah, namun penting untuk dapat memahami afirmasi tentang iman Kristen. Apa yang individu, gereja-gereja, dan denominasi telah ajarkan merupakan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan pernyataan teologis; (3) Penalaran, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah juga suatu sumber teologi. Namun penalaran tetap harus takluk pada supranatural, daripada berusaha untuk menjelaskannya. 4. Persyaratan Doktrin. Paul Enns dalam The Moody Handbook of Theology menyebut persyaratan dari teologi (doktrinal), yaitu : (1) Inspirasi dan Inneransi Alkitab. Tidak ada teologi yang cukup dan mungkin tanpa suatu kepercayaan pada inspirasi dan inneransi Kitab Suci. Apabila doktrin inspirasi dan inneransi ini ditinggalkan, maka hal itu akan menjadikan penalaran sebagai sumber otoritas dan penalaran akan duduk sebagai hakim atas teks Kitab Suci; (2) Aplikasi dan Prinsip-Prinsip Hermeneutika Yang Tepat. Aplikasi dan prinsip-prinsip hermeneutika yang tepat akan mendorong objektivitas, serta memaksa penafsir untuk mengesampingkan bias-bias dan ekstrim-ekstrim; (3) Pendekatan Ilmiah. Teologi harus ilmiah, dalam arti menerapkan seni secara umum, budaya, dan bahasa Alkitab dalam menarik kesimpulan teologis; (4) Objektivitas. Teologi harus berdasarkan pada riset induktif dan kesimpulan-kesimpulan, bukan berdasarkan penalaran secara deduktif. Teologi harus mendekati kitab suci dengan tabulasi rasa, suatu pikiran yang terbuka, mengizinkan Kitab Suci untuk berbicara bagi dirinya tanpa membentuk opini yang bersifat prejudis tentang apa yang seharusnya dikatakan oleh Kitab Suci; (5) Wahyu Progresif. Meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diinspirasikan, namun keduanya merupakan suatu kanon yang pewahyuannya bersifat progresif. Karena itu, dalam merumuskan kebenaran tentang Allah dan bagaimana Ia berhadapan dengan manusia, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama; (6) Iluminasi. Pada waktu menerapkan hermeneutika dan metode yang tepat, unsur ilahi untuk memahami kebenaran Allah tidak boleh diabaikan. Orang-orang percaya dibantu oleh pelayanan Roh Kudus, yaitu iluminasi untuk membimbing orang percaya pada suatu pengertian akan kebenaran ilahi; (7) Pengakuan Akan Keterbatasan Manusia. Pada waktu menerapkan metode yang tepat, harus disadari akan keterbatasan. Manusia tidak akan pernah dapat memahami Allah secara total. Ia harus puas dengan pengetahuan yang terbatas.[11] 4. Penafsiran doktrin. Bagaimana dengan penafsiran doktrinal? Pengajaran atau doktrin, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis. Alkitab adalah sumber dari semua doktrin Kristen yang Tuhan inginkan untuk diajarkan kepada kita. Doktrin-doktrin Alkitab merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling bertentangan satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. Berikut ini beberapa petunjuk untuk menafsir doktrin: (1) Dasarkan penafsiran doktrin pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas; (2) Dasarkan doktrin pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran;[12] (3) Dasarkan doktrin pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran. Tidaklah bijaksana jika merumuskan doktrin dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; (4) Pakailah semua prinsip-prinsip umum hermeneutika untuk menafsirkan doktrin; (5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam menafsirkan doktrin. CIRI-CIRI DOKTRIN YANG BENAR Pada akhir zaman kapasitas doktrin Iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat. Doktrin ini bisa berupa filsafat, tahyul dan tradisi-tradisi manusia. (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. Berikut ini adalah ciri-ciri dari doktrin yang benar. 1. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Alkitabiah (2 Timotius 3:14-17). Doktrin yang Alkitabiah adalah doktrin yang bersumber pada seluruh Firman Allah. Doktrin seperti ini tidak hanya bermanfaat untuk pengajaran tetapi juga untuk menyatakan kesalahan, mendidik dan memperbaiki agar orang percaya memiliki hidup yang berkenan kepada Allah. Untuk menghasilkan doktrin yang Alkitabiah diperlukan interpretasi yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar, benar dan dapat dipertanggunjawabkan sehingga menghasilkan doktrin yang sehat. 2. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Sehat (1 Timotius 1:10; 2 Timotius 4:2-4; Titus 1:9; 2:1). Doktrin yang benar adalah doktrin yang sehat. Doktrin yang sehat akan memelihara orang percaya agar tetap sehat dan terhindar dari kekeliruan. Doktrin yang sehat menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan rohani yang sehat bagi orang percaya. Doktrin sehat menghasilkan paktek kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Doktrin dan pengajaran yang sehat selalu diharapkan untuk menghasilkan kehidupan yang kudus. Doktrin yang sehat tidak hanya dinyatakan melalui pengakuan iman atau kredo, tetapi melalui kehidupan yang berbuah-buah. 3. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Murni (2 Timotius 4:6). Murni artinya bebas dari campuran. Kita tahu bahwa Alkitab dalam naskah aslinya itu benar, bebas dari kesalahan dan tanpa kekeliruan. Hal ini dikarenakan Alkitab itu adalah wahyu Allah melalui ilham kepada penulis-penulis Alkitab. Dengan demikian Alkitab itu murni dan keasliannya terjamin. Alkitab dikatakan asli karena memang ditulis penulis yang namanya dipakai untuk kitab dan tulisannya tepat pada zaman dimaksud. Doktrin yang murni bersumber hanya pada Firman Allah (Alkitab). Ujian dari kemurnian doktrin adalah kemurnian dan kekudusan hidup yang dihasilkannya. 4. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Menghasilkan Karakter yang Kudus (Titus 2:1). Merupakan fakta yang sudah terbukti bahwa doktrin mempengaruhi karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya. Jika seseorang menerima dan mengikuti doktrin yang sehat maka doktrin itu akan menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius agar “awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:6,13,16). Selanjutnya Paulus berbicara tentang “ajaran yang sesuai dengan ibadah kita” (1 Timotius 6:1-3), yakni serupa dengan Allah dalam hal karakter dan kehidupan yang kudus. Saya memperhatikan, dan ini sangat memprihatinkan, bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang memutlakkan pandanganya dan langsung menuduh sesat atau berbahaya suatu pemikiran yang tidak sama dengan pandangannya. Saya setuju apabila pandangan yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar kepercayaan Kristen Ortodoksi dan Konservatif disebut sebagai pandangan yang berbahaya. Tetapi, saya tidak setuju apabila alat penilaian itu didasarkan pada pandangan atau paham teologi tertentu.[13] Paulus Daun, seorang pengajar dan teolog Injili, memberikan kriteria atau ciri-ciri ajaran sesat (bidat) sebagai berikut: (1) Mengemukakan kebenaran baru; (2) Mengemukakan penafsiran baru; (3) Mengemukakan sumber otoritas non Alkitabih; (4) Mengemukakan Yesus yang lain; (5) Mengemukakan doktrin non ortodoks; (6) Mengemukakan kepalsuan; (7) Mengkultuskan (memuja) pemimpinnya.[14] David Pan Purnomo menyatakan bahwa bidat sebenarnya adalah ajaran atau aliran atau sekte yang menyimpang dari ajaran Kristen yang benar.[15] Pada umumnya bidat muncul karena ada sekelompok orang yang berkumpul bersama untuk mengikuti seseorang yang keliru menginterpretasikan Alkitab. Misalnya, Saksi-Saksi Yehovah, adalah orang-orang yang mengikuti interpretasi Charles T. Russel dan J.F. Rutherford. Mormonisme adalah orang-orang yang mempercayai interpretasi Joseph Smith dan Brigham Young. Penganut Christian Science merupakan murid Mary Baker Eddy yang sangat mempercayai interpretasi Alkitabnya. Saat ini beraneka macam bidat[16] telah timbul di kalangan gereja-gereja Kristen, dan mereka mempunyai ciri-ciri yang hampir sama satu dengan yang lain, yaitu: (1) Mereka mempercayai auto-soterisme, yaitu manusia yang sanggup menyelamatkan diri sendiri. Memang banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa manusia diselamatkan karena anugerah Tuhan, tetapi keselamatan itu masih diberi syarat-syarat tertentu. Misalnya, Seventh Day Adventist mengira bahwa memegang hari Sabat “membantu” seseorang untuk diselamatkan, padahal Alkitab mengajarkan “sola gratia”, yaitu hanya oleh anugerah manusia diselamatkan (Efesus 2:8-9); (2) Menyangkal keilahian Kristus yang mutlak. Misalnya Saksi-Saksi Yehovah menyangkal bahwa Kristus yang setara dengan Allah Bapa. Mereka tidak mempercayai Allah Tritunggal, menganggap Kristus sebagai ciptaan Allah yang tertinggi, tetapi bukan anak Allah yang kekal; (3) Tidak memerlukan pertobatan yang total. Misalnya, Mormonisme beranggapan bahwa melalui pembaptisan di gereja Mormon, dosa seseorang dapat diampuni. Christian Science bahkan menyangkal adanya dosa, mereka menganggap dosa hanyalah fantasi manusia yang fana; (4) Menjadi anggota gereja mereka merupakan jalan menunju keselamatan. Orang Mormon mengatakan bahwa menjadi anggota gereja Mormon berarti diselamatkan. (5) Selain Alkitab mereka masih mempunyai buku-buku lain yang otoritasnya sama atau melebihi Alkitab. Misalnya Christian Science menyamakan buku-buku karangan Mary Baker Eddy dengan Alkitab. Begitu juga dengan saksi-saksi Yehovah yang menganggap buku-buku karangan Charles T. Russel setara dengan Alkitab. Orang Mormon mempunyai tiga macam buku yang berotoritas seperti Alkitab yaitu The Book of Mormon, Doctines and Covenants dan Pearl or Great Price. Karena itu, sebaiknya kita harus berpegang teguh pada semboyan para reformator “Sola Scriptura”, yang berarti bahwa hanya Alkitab yang menjadi pedoman dan dasar iman kepercayaan dan kehidupan orang Kristen; (6)Di antara mereka ada yang memfitnah Yesus. Pemimpin Mormon yang bernama Brigham Youm mengatakan bahwa Yesus adalah Polygamis. Ia mempunyai beberapa istri, termasuk Maria Magdalena serta Marta dan Maria dari Betania. Ia juga mengatakan bahwa pesta pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11), adalah salah satu pesta pernikahan Tuhan Yesus; (7) Banyak bidat yang memakai alasan rohani untuk melampiaskan hawa nafsu mereka. Misalnya aliran The Children of God menganjurkan umatnya mempergunakan hubungan seks untuk “menyelamatkan jiwa” orang lain. Mereka juga menyetujui bahwa anak-anak yang belum dewasa hendaknya mempunyai pengalaman seks; (8) Salah menafsirkan Alkitab. Misalnya, Alkitab mengatakan, “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23), Saksi-saksi Yehovah berpendapat bahwa “maut” yang dimaksud di sini adalah “lenyap atau tidak ada lagi”. Mereka menyangkal adanya penghukuman orang berdosa pada akhir zaman, menyangkal adanya neraka, sebab dianggap bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan kasih Allah; (9) Mereka mengira bahwa pemimpin-pemimpin mereka mendapat wahyu dan urapan yang khusus. Misalnya gereja Roma Katolik di dalam konferensi di Vatican pada tahun 1870 memutuskan suatu kaidah bahwa Paus Katolik itu tidak mungkin berbuat salah. Mereka terlalu mengagungkan pemimpin mereka. Demikian juga dengan Christian Science yang menganggap Mary Baker Eddy adalah “nabi”. Bagi orang Mormon, mereka percaya bahwa Joseph Smith telah menerima wahyu dari malaikat untuk menulis buku Mormon. (10) Bidat-bidat yang berkaitan dengan Modernisme atau Liberalisme pada umumnya tidak mempercayai segala mujizat dan hal-hal yang supranatural di dalam Alkitab. Misalnya tidak mempercayai Tuhan Yesus dilahirkan melalui anak dara Maria, tidak mempercayai kebangkitan tubuh, menyangkal kedatangan Yesus yang kedua kali, dan lain-lain.[17] KEMBALI PADA DOKTRIN YANG BENAR DAN SEHAT Di Indonesia ada slogan yang dipopulerkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu “teliti sebelum membeli”. Tujuannya adalah agar konsumen atau pembeli tidak salah membeli sehingga mendapatkan barang jelek atau rusak. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dengan cermat. Jika untuk barang-barang jasmani yang sifatnya sementara dan tidak kekal kita disarankan untuk berbuat demikian, apalagi terhadap perkara-perkara rohani. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”, atau secara harafiah berarti “membuktikan dengan menguji”. Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang yang mengaku digerakan oleh roh ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja (Markus 13:22). Karena itu, ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah sangat dibutuhkan, apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Kita harus bisa membedakan mana yang gerakan dan mana yang ekses. Hal ini penting supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Beberapa pertanyaan diagnostik berikut dapat digunakan untuk menguji hal tersebut. Pertama, apakah hal tersebut sesuai dengan firman Tuhan atau ajaran Alkitab? Kedua, apakah hal tersebut meninggikan dan memuliakan Tuhan Yesus, karena pelayanan Roh Kudus tidak pernah lepas dari memuliakan Kristus (Yohanes 16:14)? Ketiga, apakah hal tersebut mendatangkan pertobatan dan damai sejahtera? Atau sebaliknya justru menimbulkan keresahan, ketakutan, kerusakan dan kehancuran? Kristus mengingatkan, “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” (2 Petrus 2:1-22) yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21). Maksud dari ayat ini jelaslah bukan untuk menyatakan bahwa semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” yang terjadi saat ini palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”. Ajukan ketiga pertanyaan tersebut di atas, bersikaplah kritis, jujur dan terbuka, serta belajarlah tanggap terhadap tuntunan Roh Kudus. Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut ”tidak” maka kita harus dengan tegas dan berani menolak ajaran atau praktek yang mengatasnamakan Roh Kudus. Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Kebenaran sejati harus diuji dan tidak perlu takut bila menghadapi ujian atau kritikan. Dapat dipastikan, hanya mereka yang keliru dan tidak benar yang takut terhadap ujian. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Saat ini, ada serangan yang hebat terhadap doktrin yang sehat. Ada upaya dan ajakan untuk berpaling dari ajaran yang sehat kepada filsafat-filsafat manusia dan ajaran-ajaran setan. Banyak pemimpin gereja tidak memiliki waktu mengkhotbahkan atau mengajarkan doktrin. Mereka telah berpaling kepada pidato, politik, etika, khotbah injil sosial yang mengatakan bahwa doktrin tidak berguna lagi dan ketinggalan zaman. Rasul Paulus mengingatkan “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Timotius 4:3). John Piper mengingatkan, “Diantara kaum Injili hari ini, ada cara-cara lain yang secara efektif merendahkan kuasa dan otoritas khotbah yang Alkitabiah. Ada epistemonologi-epistemonologi subjektif yang merendahkan pernyataan proporsional. Ada teori-teori linguistik yang mengembangkan admosfir eksegetis yang ambigu. Dan ada relaivisme kultural yang populer, yang memungkinkan bagi jemaat untuk membuang sekehendaknya pengajaran Alkitabiah yang dirasakan tidak nyaman oleh mereka”.[1] Selanjutnya John Piper mengatakan, “Dimana hal-hal semacam ini berakar, Alkitab akan dibungkam dalam gereja, dan khotbah akan menjadi sebuah refleksi tentang isu-isu terkini dan opini-opini agamawi. Tentu saja bukan ini yang Paulus maksud ketika ia berkata kepada Timotius, ‘Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”.[2] Perkataan John Piper tersebut di atas sesungguhnya merupakan teguran yang positif bagi para pemimpin gereja, pendeta, pengkhotbah dan pengajar Alkitab saat ini. Mengingat bahwa pada akhir zaman kapasitas doktrin iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat, maka kita perlu mengetahui doktrin yang benar. Doktrin iblis bisa berupa: filsafat, takhyul dan tradisi-tradisi manusia (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. (Sumber: Diadaptasi Dari Buku APOLOGETIKA KHARISMATIK: KHARISMATIK YANG KUKENAL DAN KUYAKINI By Samuel T. Gunawan) REFERENSI: [1] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 28. [2] Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 30. [3] Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20). [4] Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8. [5] Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan. [6] Conner, Kevin. J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 15-37; Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. [7] Kata Yunani “doktrin” adalah “διδασκαλια (didaskalia); διδαχη (didakhê) dari akar kata “διδασκω (didaskô) yang berarti “mengajar”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. [8] Conner, Kevin. J., A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, hal. 17 [9] Ibit. [10] Ibit. [11] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 180-182. [12] Beberapa ahli teologi pada masa lalu mengamati perbedaan teologi Pentakostal dari teologi Protestan-Injili antara lain: (1) Teologi Pentakostal didasarkan pada Kitab Kisah Para Rasul dan Kitab-Kitab Injil; Sedangkan teologi Protestan didasarkan pada Surat-Surat Rasul Paulus. (2) Implikasi dari perbedaan tersebut, maka teologi Pentakostal dianggap bersifat naratif-praktis; sedangkan teologi Protestan bersifat normatif-didaktik. Tetapi penelitian beberapa pakar teologi Injili terkini menunjukkan bahwa Kisah Para Rasul dan Injil Lukas bukan hanya bersifat naratif-praktis tetapi juga bersifat teologis-didaktif. (Lihat: Menzies, William W & Robert P., 2005. Roh Kudus dan Kuasa. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 49-62). [13] Karena itu, saya mengajak orang-orang Kristen merekonstruksi kembali alat yang dipakai untuk menilai bahwa suatu ajaran itu sesat. Karena jika alat untuk menilai itu merupakan suatu pandangan teologi-dogmatis tertentu, maka alat penilai itu bukan standar dan bisa jadi justru alat yang keliru. [14] Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Daun Family: Manado, hal. 21-29. [15] Purnomo, David Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Pernerbit SAAT: Malang, hal. 23. [16] Scotland, Nigel., 2013. Buku Wajib Cara Menangkal Sekte dan Agama Baru. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta; Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Apologetika. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung; Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado. [17] Purnomo, Devid Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, hal. 23-25. [18] Piper, John., 2009. Supremasi Allah Dalam Khotbah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 28. [19] Ibit, hal. 29.
MENILAI SUATU PANDANGAN TEOLOGI ATAU DOKTRIN
PENDAHULUAN : MENILAI SUATU PANDANGAN TEOLOGI ATAU DOKTRIN . Pandangan teologi adalah suatu sistem pemahaman teologi yang dikembangkan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu masa atau generasi tertentu, yang kemudian diwariskan kepada pengikut atau generasi berikutnya. Sistem ini membentuk sebuah sudut pandang tertentu yang unik serta dianggap dan diyakini benar sehingga membentuk komunitas dengan sejarah pemikiran yang sama dan gerakan yang sama. Contoh dari sistem pandangan teologi seperti : teologi covenantal, teologi dispensasional, teologi arminian, teologi lutheran, teologi calvinik, teologi pentakostal, dan lain sebagainya. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah, bahwa suatu pandangan teologi juga merupakan suatu tafsiran terhadap Kitab Suci, dengan demikian pandangan teologi tidak ada yang sempurna karena dirumuskan oleh manusia dengan rasio yang terbatas. Jadi setiap pandangan teologi memiliki sisi kelemahan. Suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak. Misalnya, apa yang benar menurut pandangan teologi dispensasional belum tentu benar menurut pandangan teologi covenantal; kebenaran pandangan teologi calvik belum tentu benar menurut pandangan teologi arminian. Karena itu, suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak, tetapi merupakan pendapat, tafsiran dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu terhadap firman Tuhan. Hanya firman Tuhan (Kitab Suci) dalam naskah aslinya (otografi) yang layak disebut sebagai kebenaran mutlak (absolut), yang tidak bisa salah, tidak boleh diubah, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jadi suatu pandangan teologi itu penting tetapi bukan kebenaran mutlak dan bukan juga penentu kebenaran. MENGAPA PANDANGAN TEOLOGI BISA BERBEDA? Pertanyaannya ialah : “mengapa pandangan teologi bisa berbeda satu dengan yang lainnya”? Jawabannya, pastilah karena hal ini sangat berhubungan dengan masalah eksegesis, hermeneutika dan metode-metode teologi. Lalu, “apakah standar untuk menilai bahwa suatu pandangan teologi itu benar atau sesat, alkitabiah atau tidak?” Tentu saja dengan memperhatikan dan meneliti metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menafsirkan dan mengembangkan pandangan teologi itu apakah benar-benar absah dan alkitabiah. Karena itu, untuk menilai apakah pandangan teologi seseorang itu benar atau tidak, maka ia harus diuji berdasarkan Alkitab. Disinilah diperlukannya prinsip-prinsip, aturan-aturan atau norma-norma yang universal dan diterima sebagai alat penilai yang sah dalam menguji kebenaran. Sebagaimana di dalam logika seseorang dituntut untuk memenuhi aturan dan prinsip yang harus ditaati agar menghasilkan kesimpulan yang absah, demikian juga dalam menafsirkan Alkitab, seseorang dituntut untuk melakukannya dengan berpedoman pada aturan dan norma yang harus ditaati. Aturan-aturan atau norma-norma dalam penafsiran Alkitab tersebut disebut hermenutika, sedangkan penerapan aturan-aturan itu disebut eksegesis. Jadi yang perlu diperhatikan pada saat menyimpulkan benar atau sesat suatu ajaran adalah dengan meneliti “apakah ia telah menerapkan eksegesis yang sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika yang sehat dan wajar?” Dengan demikian, untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau sesat tidak hanya sekedar kesimpulan logis, yaitu berdasarkan penalaran yang sehat dan absah, tetapi juga alkitabiah, yaitu berdasarkan penafsiran yang sehat dan wajar. Mengapa? Karena kesimpulan logis belum tentu Alkitabiah dan benar. OTORITAS ALKITAB Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Disini saya berpegang pada kayakinan Protestan Konservatif bahwa Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Charles C. Ryrie menjelaskan keyakinan tersebut demikian, “Kitab Suci berisi pernyataan (wahyu) Allah yang objektif dan karena itu menjadi dasar otoritas bagi kaum Protestan konservatif”.[1] Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan.[2] Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab. Pengetahuan kita tentang Allah pertama dan terutama datang melalui Kitab Suci. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita, harus dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada otoritasnya, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang tersesat karena memulai dari titik awal yang salah. Karena itu, saat membahas tentang doktrin apapun, kita perlu memiliki titik awal yang tepat. Dan titik awal yang tepat ini adalah Alkitab. Tetapi tidak semua orang Kristen sepakat mengenai tafsiran terhadap ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. Disinilah letak permasalahannya: perbedaan dalam tafsiran! Perbedaan ini sangat dipengaruhi sistem hermeneutika dan metode eksegesis yang digunakan saat menafsir bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. Karena itu perlu bagi kita mengetahui alat yang bernilai untuk menafsirkan Alkitab. 1. Setiap Ajaran Utama dalam Alkitab Selalu Ditemukan dalam Perkataan Tuhan Yesus. Setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[3] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya. Alkitab mencatat “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat (semeiois te kai terasin) dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan (dunamesin) dan karunia Roh Kudus (pneumatos hagiou merismois), yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya” (Ibrani 2:3-4). Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[4] 2. Ajaran Yesus Ini Kemudian Dikembangkan Melalui Pewahyuan Roh Kudus dalam Tulisan Injil dan Surat-Surat Apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka. “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkatan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. 3. Roh Kudus Memberikan Kemampuan Kepada Kita Untuk Memahami Ajaran Kristus, Ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[5] Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). Tetapi sangat disayangkan, beberapa orang dengan berlindung di balik peran Roh Kudus tersebut, secara sengaja telah mengabaikan pembelajaran yang bertanggung jawab terhadap Alkitab. Roh Kudus dianggap dapat memberikan secara langsung pengertian kepada seseorang tanpa harus bersusah payah melakukan pembelajaran dan disiplin hermeneutik yang ketat. Memang benar bahwa Roh Kudus berdaulat dan mampu melakukan hal demikian, tetapi bukan untuk mendukung sifat malas dan tidak bertanggung jawab tersebut. Karena itu, dua kesalahan yang harus dihindari, yaitu : (1) Kecenderungan mengabaikan pentingnya hermeneutika dan eksegesis yang bertanggung jawab dengan alasan mementingkan peran Roh Kudus; (2) Kencenderungan menyandarkan diri pada kemampuan hermeneutik dan eksegesis semata-mata dengan mengabaikan peran Roh Kudus. Dengan demikian, di dalam proses mempelajari Alkitab dengan bergantung kepada Roh Kudus selaku “Sang Iluminator” dan pembimbing, kita tidak seharusnya bersikap pasif tetapi justru diharapkan menggunakan pikiran kita secara bertanggung jawab. Karena dalam hal membaca Alkitab, penerangan Ilahi bukanlah dimaksudkan sebagai pengganti tanggung jawab manusia untuk berpikir. Jadi, kita harus berusaha berpikir berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika. Hal ini melibatkan pemikiran secara eksegetis sehingga dapat memahami arti yang tepat, secara sistematis untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama, secara kritis untuk dapat mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan dan secara sintesis untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran secara keseluruhan. Tetapi, intelek saja tidak akan menjadikan seorang mengerti Alkitab dengan benar. Seorang penafsir Alkitab harus bergantung pada pengajaran Roh Kudus (Yohanes 16:12-15). Diperlukan sikap yang sadar untuk bergantung kepada Roh Kudus yang dinyatakan dalam kerendahan hati, pikiran dan keinginan dalam mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Roh kepada orang lain di sepanjang sejarah. Ringkasnya, di dalam hermeneutika, sebagaimana telah disebutkan diatas, kita dituntut untuk memahami konteks, latar belakang historis, budaya, tata bahasa (gramatika), dan maksud penulis Alkitab, ini sangat penting! Tetapi, tak seorangpun dapat mengklaim sistem hermenutika yang benar jika pengertiannya kurang dari tiga pengertian dasar yang disebutkan di atas. Lagi pula kita perlu menyadari bahwa keterbatasan hermeneutika sama dengan keterbatasan dari pernyataan Kitab Suci. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu tidak didukung oleh pernyataan Alkitab. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab. MENAFSIRKAN DOKTRIN 1. Pengertian Doktrin. Istilah “doktrin” berasal dari kata Yunani “didaskalia” dan “didakhe” yang berarti “ajaran” yang berasal dari akar kata “didaskô” yang berarti “mengajar atau mengajarkan”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. Perjanjian Baru menggunakan kata “didaskalia” ini sebanyak 21 kali, kata “didakhe” sebanyak 30 kali dan kata “didasko” sebanyak 97 kali. Salah satunya terdapat di dalam Kisah Para Rasul 2:42, di mana dikatakan bahwa para petobat gereja yang mula-mula bertekun dalam pengajaran (didakhe) para rasul.[6] Jadi, kata doktrin berarti sesuatu yang diajarkan, pengajaran, instruksi; prinsip-prinsip agama yang diajarkan; atau lebih harfiah doktrin berarti mengajarkan yang dasar.[7] Dari pengertian di atas maka doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan. Dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab yang adalah Firman Allah. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Jadi, dalam pengertian yang sempit doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan; dan dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Di dalam teologi Kristen, upaya untuk menyusun secara logis dan sistematis semua doktrin yang sudah tersedia di Alkitab disebut dengan istilah “teologi sistematika”. Teologi sistematika adalah bidang kajian teologi yang berkaitan dengan pengajaran Alkitab yang sudah diformulasikan secara sistematis dan logis dalam doktrin-doktrin mengenai Allah, Kristus, Roh Kudus, Manusia, Malaikat, Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, dan lain sebagainya. Teologi sistematika ini bertujuan untuk menemukan, merumuskan, dan mempertahankan dasar pengajaran iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab. 2. Tujuan Doktrin. Tujuan doktrin sebagaimana yang disebutkan oleh Kevin J. Conner adalah sebagai berikut: ”Permulaan Injil Lukas berkaitan dengan maksud tujuan doktrin. Lukas 1:1-4 dikatakan : ”..berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita... supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”[8] Berdasarkan ayat tersebut Conner memberikan penjelasan terhadap kata-kata dari ayat-ayat tersebut sebagai berikut: (1) ”berusaha” adalah dengan upaya; (2) ”Menyusun” berarti diatur secara berurutan; (3) ”Suatu berita” berarti kabar yang lengkap, yang penuh dan menyeluruh; (4) ”Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, yaitu yang berkaitan dengan Injil Tuhan Yesus Kristus; (5) ”Diajarkan” berarti diinstruksikan secara lisan. Kata ini berasal dari kata Yunani “katecheo” yang artinya menginstruksikan dengan cara bertanya dan mengoreksi jawaban-jawaban. (Kata katekisasi berasal dari kata ini, yang digunakan juga di dalam Kisah Para Rasul 18:25; dan Roma 2:18).[9] Kemudian Conner menyimpulkan bahwa maksud dan tujuan doktrinal teologi ialah “guna menyusun secara sistematis peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara orang-orang percaya yang sejati. Yakni untuk menginstruksikan orang percaya supaya ia dapat mengetahui bahwa apa yang diajarkan sungguh benar. Untuk memberikan dorongan pada orang percaya guna mempertahankan ”iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (lihat : Yudas 3).[10] 3. Sumber Doktrin. Sumber doktrin Kristen adalah Kitab Suci. Pengakuan ini didasarkan atas keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan (menyatakan) diriNya dan penyataan itu secara akurat dinyatakan dalam ke enam puluh enam kitab dari Kitab Suci (Alkitab). Dengan demikian, maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia akan Allah. Selanjutnya, sumber-sumber lainnya dalam penyusunan teologi dan doktrin Kristen, yaitu: (1) Pengakuan-pengakuan doktrinal, seperti: Kredo Rasuli, Kredo Nicea, Kredo, dan pengakuan iman lain. Hal ini penting untuk mengerti bagaimana orang-orang Kristen sepanjang abad memahami konsep teologis dan memformulasi doktrin-doktrin Alkitab; (2) Tradisi gereja, meskipun bisa salah, namun penting untuk dapat memahami afirmasi tentang iman Kristen. Apa yang individu, gereja-gereja, dan denominasi telah ajarkan merupakan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan pernyataan teologis; (3) Penalaran, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah juga suatu sumber teologi. Namun penalaran tetap harus takluk pada supranatural, daripada berusaha untuk menjelaskannya. 4. Persyaratan Doktrin. Paul Enns dalam The Moody Handbook of Theology menyebut persyaratan dari teologi (doktrinal), yaitu : (1) Inspirasi dan Inneransi Alkitab. Tidak ada teologi yang cukup dan mungkin tanpa suatu kepercayaan pada inspirasi dan inneransi Kitab Suci. Apabila doktrin inspirasi dan inneransi ini ditinggalkan, maka hal itu akan menjadikan penalaran sebagai sumber otoritas dan penalaran akan duduk sebagai hakim atas teks Kitab Suci; (2) Aplikasi dan Prinsip-Prinsip Hermeneutika Yang Tepat. Aplikasi dan prinsip-prinsip hermeneutika yang tepat akan mendorong objektivitas, serta memaksa penafsir untuk mengesampingkan bias-bias dan ekstrim-ekstrim; (3) Pendekatan Ilmiah. Teologi harus ilmiah, dalam arti menerapkan seni secara umum, budaya, dan bahasa Alkitab dalam menarik kesimpulan teologis; (4) Objektivitas. Teologi harus berdasarkan pada riset induktif dan kesimpulan-kesimpulan, bukan berdasarkan penalaran secara deduktif. Teologi harus mendekati kitab suci dengan tabulasi rasa, suatu pikiran yang terbuka, mengizinkan Kitab Suci untuk berbicara bagi dirinya tanpa membentuk opini yang bersifat prejudis tentang apa yang seharusnya dikatakan oleh Kitab Suci; (5) Wahyu Progresif. Meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diinspirasikan, namun keduanya merupakan suatu kanon yang pewahyuannya bersifat progresif. Karena itu, dalam merumuskan kebenaran tentang Allah dan bagaimana Ia berhadapan dengan manusia, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama; (6) Iluminasi. Pada waktu menerapkan hermeneutika dan metode yang tepat, unsur ilahi untuk memahami kebenaran Allah tidak boleh diabaikan. Orang-orang percaya dibantu oleh pelayanan Roh Kudus, yaitu iluminasi untuk membimbing orang percaya pada suatu pengertian akan kebenaran ilahi; (7) Pengakuan Akan Keterbatasan Manusia. Pada waktu menerapkan metode yang tepat, harus disadari akan keterbatasan. Manusia tidak akan pernah dapat memahami Allah secara total. Ia harus puas dengan pengetahuan yang terbatas.[11] 4. Penafsiran doktrin. Bagaimana dengan penafsiran doktrinal? Pengajaran atau doktrin, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis. Alkitab adalah sumber dari semua doktrin Kristen yang Tuhan inginkan untuk diajarkan kepada kita. Doktrin-doktrin Alkitab merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling bertentangan satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. Berikut ini beberapa petunjuk untuk menafsir doktrin: (1) Dasarkan penafsiran doktrin pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas; (2) Dasarkan doktrin pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran;[12] (3) Dasarkan doktrin pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran. Tidaklah bijaksana jika merumuskan doktrin dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; (4) Pakailah semua prinsip-prinsip umum hermeneutika untuk menafsirkan doktrin; (5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam menafsirkan doktrin. CIRI-CIRI DOKTRIN YANG BENAR Pada akhir zaman kapasitas doktrin Iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat. Doktrin ini bisa berupa filsafat, tahyul dan tradisi-tradisi manusia. (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. Berikut ini adalah ciri-ciri dari doktrin yang benar. 1. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Alkitabiah (2 Timotius 3:14-17). Doktrin yang Alkitabiah adalah doktrin yang bersumber pada seluruh Firman Allah. Doktrin seperti ini tidak hanya bermanfaat untuk pengajaran tetapi juga untuk menyatakan kesalahan, mendidik dan memperbaiki agar orang percaya memiliki hidup yang berkenan kepada Allah. Untuk menghasilkan doktrin yang Alkitabiah diperlukan interpretasi yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar, benar dan dapat dipertanggunjawabkan sehingga menghasilkan doktrin yang sehat. 2. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Sehat (1 Timotius 1:10; 2 Timotius 4:2-4; Titus 1:9; 2:1). Doktrin yang benar adalah doktrin yang sehat. Doktrin yang sehat akan memelihara orang percaya agar tetap sehat dan terhindar dari kekeliruan. Doktrin yang sehat menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan rohani yang sehat bagi orang percaya. Doktrin sehat menghasilkan paktek kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Doktrin dan pengajaran yang sehat selalu diharapkan untuk menghasilkan kehidupan yang kudus. Doktrin yang sehat tidak hanya dinyatakan melalui pengakuan iman atau kredo, tetapi melalui kehidupan yang berbuah-buah. 3. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Murni (2 Timotius 4:6). Murni artinya bebas dari campuran. Kita tahu bahwa Alkitab dalam naskah aslinya itu benar, bebas dari kesalahan dan tanpa kekeliruan. Hal ini dikarenakan Alkitab itu adalah wahyu Allah melalui ilham kepada penulis-penulis Alkitab. Dengan demikian Alkitab itu murni dan keasliannya terjamin. Alkitab dikatakan asli karena memang ditulis penulis yang namanya dipakai untuk kitab dan tulisannya tepat pada zaman dimaksud. Doktrin yang murni bersumber hanya pada Firman Allah (Alkitab). Ujian dari kemurnian doktrin adalah kemurnian dan kekudusan hidup yang dihasilkannya. 4. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Menghasilkan Karakter yang Kudus (Titus 2:1). Merupakan fakta yang sudah terbukti bahwa doktrin mempengaruhi karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya. Jika seseorang menerima dan mengikuti doktrin yang sehat maka doktrin itu akan menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius agar “awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:6,13,16). Selanjutnya Paulus berbicara tentang “ajaran yang sesuai dengan ibadah kita” (1 Timotius 6:1-3), yakni serupa dengan Allah dalam hal karakter dan kehidupan yang kudus. Saya memperhatikan, dan ini sangat memprihatinkan, bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang memutlakkan pandanganya dan langsung menuduh sesat atau berbahaya suatu pemikiran yang tidak sama dengan pandangannya. Saya setuju apabila pandangan yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar kepercayaan Kristen Ortodoksi dan Konservatif disebut sebagai pandangan yang berbahaya. Tetapi, saya tidak setuju apabila alat penilaian itu didasarkan pada pandangan atau paham teologi tertentu.[13] Paulus Daun, seorang pengajar dan teolog Injili, memberikan kriteria atau ciri-ciri ajaran sesat (bidat) sebagai berikut: (1) Mengemukakan kebenaran baru; (2) Mengemukakan penafsiran baru; (3) Mengemukakan sumber otoritas non Alkitabih; (4) Mengemukakan Yesus yang lain; (5) Mengemukakan doktrin non ortodoks; (6) Mengemukakan kepalsuan; (7) Mengkultuskan (memuja) pemimpinnya.[14] David Pan Purnomo menyatakan bahwa bidat sebenarnya adalah ajaran atau aliran atau sekte yang menyimpang dari ajaran Kristen yang benar.[15] Pada umumnya bidat muncul karena ada sekelompok orang yang berkumpul bersama untuk mengikuti seseorang yang keliru menginterpretasikan Alkitab. Misalnya, Saksi-Saksi Yehovah, adalah orang-orang yang mengikuti interpretasi Charles T. Russel dan J.F. Rutherford. Mormonisme adalah orang-orang yang mempercayai interpretasi Joseph Smith dan Brigham Young. Penganut Christian Science merupakan murid Mary Baker Eddy yang sangat mempercayai interpretasi Alkitabnya. Saat ini beraneka macam bidat[16] telah timbul di kalangan gereja-gereja Kristen, dan mereka mempunyai ciri-ciri yang hampir sama satu dengan yang lain, yaitu: (1) Mereka mempercayai auto-soterisme, yaitu manusia yang sanggup menyelamatkan diri sendiri. Memang banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa manusia diselamatkan karena anugerah Tuhan, tetapi keselamatan itu masih diberi syarat-syarat tertentu. Misalnya, Seventh Day Adventist mengira bahwa memegang hari Sabat “membantu” seseorang untuk diselamatkan, padahal Alkitab mengajarkan “sola gratia”, yaitu hanya oleh anugerah manusia diselamatkan (Efesus 2:8-9); (2) Menyangkal keilahian Kristus yang mutlak. Misalnya Saksi-Saksi Yehovah menyangkal bahwa Kristus yang setara dengan Allah Bapa. Mereka tidak mempercayai Allah Tritunggal, menganggap Kristus sebagai ciptaan Allah yang tertinggi, tetapi bukan anak Allah yang kekal; (3) Tidak memerlukan pertobatan yang total. Misalnya, Mormonisme beranggapan bahwa melalui pembaptisan di gereja Mormon, dosa seseorang dapat diampuni. Christian Science bahkan menyangkal adanya dosa, mereka menganggap dosa hanyalah fantasi manusia yang fana; (4) Menjadi anggota gereja mereka merupakan jalan menunju keselamatan. Orang Mormon mengatakan bahwa menjadi anggota gereja Mormon berarti diselamatkan. (5) Selain Alkitab mereka masih mempunyai buku-buku lain yang otoritasnya sama atau melebihi Alkitab. Misalnya Christian Science menyamakan buku-buku karangan Mary Baker Eddy dengan Alkitab. Begitu juga dengan saksi-saksi Yehovah yang menganggap buku-buku karangan Charles T. Russel setara dengan Alkitab. Orang Mormon mempunyai tiga macam buku yang berotoritas seperti Alkitab yaitu The Book of Mormon, Doctines and Covenants dan Pearl or Great Price. Karena itu, sebaiknya kita harus berpegang teguh pada semboyan para reformator “Sola Scriptura”, yang berarti bahwa hanya Alkitab yang menjadi pedoman dan dasar iman kepercayaan dan kehidupan orang Kristen; (6)Di antara mereka ada yang memfitnah Yesus. Pemimpin Mormon yang bernama Brigham Youm mengatakan bahwa Yesus adalah Polygamis. Ia mempunyai beberapa istri, termasuk Maria Magdalena serta Marta dan Maria dari Betania. Ia juga mengatakan bahwa pesta pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11), adalah salah satu pesta pernikahan Tuhan Yesus; (7) Banyak bidat yang memakai alasan rohani untuk melampiaskan hawa nafsu mereka. Misalnya aliran The Children of God menganjurkan umatnya mempergunakan hubungan seks untuk “menyelamatkan jiwa” orang lain. Mereka juga menyetujui bahwa anak-anak yang belum dewasa hendaknya mempunyai pengalaman seks; (8) Salah menafsirkan Alkitab. Misalnya, Alkitab mengatakan, “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23), Saksi-saksi Yehovah berpendapat bahwa “maut” yang dimaksud di sini adalah “lenyap atau tidak ada lagi”. Mereka menyangkal adanya penghukuman orang berdosa pada akhir zaman, menyangkal adanya neraka, sebab dianggap bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan kasih Allah; (9) Mereka mengira bahwa pemimpin-pemimpin mereka mendapat wahyu dan urapan yang khusus. Misalnya gereja Roma Katolik di dalam konferensi di Vatican pada tahun 1870 memutuskan suatu kaidah bahwa Paus Katolik itu tidak mungkin berbuat salah. Mereka terlalu mengagungkan pemimpin mereka. Demikian juga dengan Christian Science yang menganggap Mary Baker Eddy adalah “nabi”. Bagi orang Mormon, mereka percaya bahwa Joseph Smith telah menerima wahyu dari malaikat untuk menulis buku Mormon. (10) Bidat-bidat yang berkaitan dengan Modernisme atau Liberalisme pada umumnya tidak mempercayai segala mujizat dan hal-hal yang supranatural di dalam Alkitab. Misalnya tidak mempercayai Tuhan Yesus dilahirkan melalui anak dara Maria, tidak mempercayai kebangkitan tubuh, menyangkal kedatangan Yesus yang kedua kali, dan lain-lain.[17] KEMBALI PADA DOKTRIN YANG BENAR DAN SEHAT Di Indonesia ada slogan yang dipopulerkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu “teliti sebelum membeli”. Tujuannya adalah agar konsumen atau pembeli tidak salah membeli sehingga mendapatkan barang jelek atau rusak. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dengan cermat. Jika untuk barang-barang jasmani yang sifatnya sementara dan tidak kekal kita disarankan untuk berbuat demikian, apalagi terhadap perkara-perkara rohani. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”, atau secara harafiah berarti “membuktikan dengan menguji”. Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang yang mengaku digerakan oleh roh ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja (Markus 13:22). Karena itu, ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah sangat dibutuhkan, apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Kita harus bisa membedakan mana yang gerakan dan mana yang ekses. Hal ini penting supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Beberapa pertanyaan diagnostik berikut dapat digunakan untuk menguji hal tersebut. Pertama, apakah hal tersebut sesuai dengan firman Tuhan atau ajaran Alkitab? Kedua, apakah hal tersebut meninggikan dan memuliakan Tuhan Yesus, karena pelayanan Roh Kudus tidak pernah lepas dari memuliakan Kristus (Yohanes 16:14)? Ketiga, apakah hal tersebut mendatangkan pertobatan dan damai sejahtera? Atau sebaliknya justru menimbulkan keresahan, ketakutan, kerusakan dan kehancuran? Kristus mengingatkan, “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” (2 Petrus 2:1-22) yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21). Maksud dari ayat ini jelaslah bukan untuk menyatakan bahwa semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” yang terjadi saat ini palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”. Ajukan ketiga pertanyaan tersebut di atas, bersikaplah kritis, jujur dan terbuka, serta belajarlah tanggap terhadap tuntunan Roh Kudus. Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut ”tidak” maka kita harus dengan tegas dan berani menolak ajaran atau praktek yang mengatasnamakan Roh Kudus. Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Kebenaran sejati harus diuji dan tidak perlu takut bila menghadapi ujian atau kritikan. Dapat dipastikan, hanya mereka yang keliru dan tidak benar yang takut terhadap ujian. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Saat ini, ada serangan yang hebat terhadap doktrin yang sehat. Ada upaya dan ajakan untuk berpaling dari ajaran yang sehat kepada filsafat-filsafat manusia dan ajaran-ajaran setan. Banyak pemimpin gereja tidak memiliki waktu mengkhotbahkan atau mengajarkan doktrin. Mereka telah berpaling kepada pidato, politik, etika, khotbah injil sosial yang mengatakan bahwa doktrin tidak berguna lagi dan ketinggalan zaman. Rasul Paulus mengingatkan “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Timotius 4:3). John Piper mengingatkan, “Diantara kaum Injili hari ini, ada cara-cara lain yang secara efektif merendahkan kuasa dan otoritas khotbah yang Alkitabiah. Ada epistemonologi-epistemonologi subjektif yang merendahkan pernyataan proporsional. Ada teori-teori linguistik yang mengembangkan admosfir eksegetis yang ambigu. Dan ada relaivisme kultural yang populer, yang memungkinkan bagi jemaat untuk membuang sekehendaknya pengajaran Alkitabiah yang dirasakan tidak nyaman oleh mereka”.[1] Selanjutnya John Piper mengatakan, “Dimana hal-hal semacam ini berakar, Alkitab akan dibungkam dalam gereja, dan khotbah akan menjadi sebuah refleksi tentang isu-isu terkini dan opini-opini agamawi. Tentu saja bukan ini yang Paulus maksud ketika ia berkata kepada Timotius, ‘Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”.[2] Perkataan John Piper tersebut di atas sesungguhnya merupakan teguran yang positif bagi para pemimpin gereja, pendeta, pengkhotbah dan pengajar Alkitab saat ini. Mengingat bahwa pada akhir zaman kapasitas doktrin iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat, maka kita perlu mengetahui doktrin yang benar. Doktrin iblis bisa berupa: filsafat, takhyul dan tradisi-tradisi manusia (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. REFERENSI: [1] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 28. [2] Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 30. [3] Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20). [4] Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8. [5] Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan. [6] Conner, Kevin. J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 15-37; Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. [7] Kata Yunani “doktrin” adalah “διδασκαλια (didaskalia); διδαχη (didakhê) dari akar kata “διδασκω (didaskô) yang berarti “mengajar”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. [8] Conner, Kevin. J., A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, hal. 17 [9] Ibit. [10] Ibit. [11] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 180-182. [12] Beberapa ahli teologi pada masa lalu mengamati perbedaan teologi Pentakostal dari teologi Protestan-Injili antara lain: (1) Teologi Pentakostal didasarkan pada Kitab Kisah Para Rasul dan Kitab-Kitab Injil; Sedangkan teologi Protestan didasarkan pada Surat-Surat Rasul Paulus. (2) Implikasi dari perbedaan tersebut, maka teologi Pentakostal dianggap bersifat naratif-praktis; sedangkan teologi Protestan bersifat normatif-didaktik. Tetapi penelitian beberapa pakar teologi Injili terkini menunjukkan bahwa Kisah Para Rasul dan Injil Lukas bukan hanya bersifat naratif-praktis tetapi juga bersifat teologis-didaktif. (Lihat: Menzies, William W & Robert P., 2005. Roh Kudus dan Kuasa. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 49-62). [13] Karena itu, saya mengajak orang-orang Kristen merekonstruksi kembali alat yang dipakai untuk menilai bahwa suatu ajaran itu sesat. Karena jika alat untuk menilai itu merupakan suatu pandangan teologi-dogmatis tertentu, maka alat penilai itu bukan standar dan bisa jadi justru alat yang keliru. [14] Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Daun Family: Manado, hal. 21-29. [15] Purnomo, David Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Pernerbit SAAT: Malang, hal. 23. [16] Scotland, Nigel., 2013. Buku Wajib Cara Menangkal Sekte dan Agama Baru. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta; Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Apologetika. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung; Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado. [17] Purnomo, Devid Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, hal. 23-25. [18] Piper, John., 2009. Supremasi Allah Dalam Khotbah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 28. [19] Ibit, hal. 29. Pandangan teologi adalah suatu sistem pemahaman teologi yang dikembangkan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam suatu masa atau generasi tertentu, yang kemudian diwariskan kepada pengikut atau generasi berikutnya. Sistem ini membentuk sebuah sudut pandang tertentu yang unik serta dianggap dan diyakini benar sehingga membentuk komunitas dengan sejarah pemikiran yang sama dan gerakan yang sama. Contoh dari sistem pandangan teologi seperti : teologi covenantal, teologi dispensasional, teologi arminian, teologi lutheran, teologi calvinik, teologi pentakostal, dan lain sebagainya. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah, bahwa suatu pandangan teologi juga merupakan suatu tafsiran terhadap Kitab Suci, dengan demikian pandangan teologi tidak ada yang sempurna karena dirumuskan oleh manusia dengan rasio yang terbatas. Jadi setiap pandangan teologi memiliki sisi kelemahan. Suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak. Misalnya, apa yang benar menurut pandangan teologi dispensasional belum tentu benar menurut pandangan teologi covenantal; kebenaran pandangan teologi calvik belum tentu benar menurut pandangan teologi arminian. Karena itu, suatu pandangan teologi bukanlah kebenaran mutlak, tetapi merupakan pendapat, tafsiran dan keyakinan seseorang atau kelompok tertentu terhadap firman Tuhan. Hanya firman Tuhan (Kitab Suci) dalam naskah aslinya (otografi) yang layak disebut sebagai kebenaran mutlak (absolut), yang tidak bisa salah, tidak boleh diubah, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jadi suatu pandangan teologi itu penting tetapi bukan kebenaran mutlak dan bukan juga penentu kebenaran. MENGAPA PANDANGAN TEOLOGI BISA BERBEDA? Pertanyaannya ialah : “mengapa pandangan teologi bisa berbeda satu dengan yang lainnya”? Jawabannya, pastilah karena hal ini sangat berhubungan dengan masalah eksegesis, hermeneutika dan metode-metode teologi. Lalu, “apakah standar untuk menilai bahwa suatu pandangan teologi itu benar atau sesat, alkitabiah atau tidak?” Tentu saja dengan memperhatikan dan meneliti metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menafsirkan dan mengembangkan pandangan teologi itu apakah benar-benar absah dan alkitabiah. Karena itu, untuk menilai apakah pandangan teologi seseorang itu benar atau tidak, maka ia harus diuji berdasarkan Alkitab. Disinilah diperlukannya prinsip-prinsip, aturan-aturan atau norma-norma yang universal dan diterima sebagai alat penilai yang sah dalam menguji kebenaran. Sebagaimana di dalam logika seseorang dituntut untuk memenuhi aturan dan prinsip yang harus ditaati agar menghasilkan kesimpulan yang absah, demikian juga dalam menafsirkan Alkitab, seseorang dituntut untuk melakukannya dengan berpedoman pada aturan dan norma yang harus ditaati. Aturan-aturan atau norma-norma dalam penafsiran Alkitab tersebut disebut hermenutika, sedangkan penerapan aturan-aturan itu disebut eksegesis. Jadi yang perlu diperhatikan pada saat menyimpulkan benar atau sesat suatu ajaran adalah dengan meneliti “apakah ia telah menerapkan eksegesis yang sesuai dengan prinsip-prinsip hermeneutika yang sehat dan wajar?” Dengan demikian, untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau sesat tidak hanya sekedar kesimpulan logis, yaitu berdasarkan penalaran yang sehat dan absah, tetapi juga alkitabiah, yaitu berdasarkan penafsiran yang sehat dan wajar. Mengapa? Karena kesimpulan logis belum tentu Alkitabiah dan benar. OTORITAS ALKITAB Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Disini saya berpegang pada kayakinan Protestan Konservatif bahwa Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Charles C. Ryrie menjelaskan keyakinan tersebut demikian, “Kitab Suci berisi pernyataan (wahyu) Allah yang objektif dan karena itu menjadi dasar otoritas bagi kaum Protestan konservatif”.[1] Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan.[2] Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab. Pengetahuan kita tentang Allah pertama dan terutama datang melalui Kitab Suci. Alkitab harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita, harus dihormati dan ditaati. Pada waktu kita tunduk kepada otoritasnya, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang tersesat karena memulai dari titik awal yang salah. Karena itu, saat membahas tentang doktrin apapun, kita perlu memiliki titik awal yang tepat. Dan titik awal yang tepat ini adalah Alkitab. Tetapi tidak semua orang Kristen sepakat mengenai tafsiran terhadap ayat-ayat atau bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. Disinilah letak permasalahannya: perbedaan dalam tafsiran! Perbedaan ini sangat dipengaruhi sistem hermeneutika dan metode eksegesis yang digunakan saat menafsir bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. Karena itu perlu bagi kita mengetahui alat yang bernilai untuk menafsirkan Alkitab. 1. Setiap Ajaran Utama dalam Alkitab Selalu Ditemukan dalam Perkataan Tuhan Yesus. Setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[3] Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya. Alkitab mencatat “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat (semeiois te kai terasin) dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan (dunamesin) dan karunia Roh Kudus (pneumatos hagiou merismois), yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya” (Ibrani 2:3-4). Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[4] 2. Ajaran Yesus Ini Kemudian Dikembangkan Melalui Pewahyuan Roh Kudus dalam Tulisan Injil dan Surat-Surat Apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka. “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkatan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. 3. Roh Kudus Memberikan Kemampuan Kepada Kita Untuk Memahami Ajaran Kristus, Ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[5] Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). Tetapi sangat disayangkan, beberapa orang dengan berlindung di balik peran Roh Kudus tersebut, secara sengaja telah mengabaikan pembelajaran yang bertanggung jawab terhadap Alkitab. Roh Kudus dianggap dapat memberikan secara langsung pengertian kepada seseorang tanpa harus bersusah payah melakukan pembelajaran dan disiplin hermeneutik yang ketat. Memang benar bahwa Roh Kudus berdaulat dan mampu melakukan hal demikian, tetapi bukan untuk mendukung sifat malas dan tidak bertanggung jawab tersebut. Karena itu, dua kesalahan yang harus dihindari, yaitu : (1) Kecenderungan mengabaikan pentingnya hermeneutika dan eksegesis yang bertanggung jawab dengan alasan mementingkan peran Roh Kudus; (2) Kencenderungan menyandarkan diri pada kemampuan hermeneutik dan eksegesis semata-mata dengan mengabaikan peran Roh Kudus. Dengan demikian, di dalam proses mempelajari Alkitab dengan bergantung kepada Roh Kudus selaku “Sang Iluminator” dan pembimbing, kita tidak seharusnya bersikap pasif tetapi justru diharapkan menggunakan pikiran kita secara bertanggung jawab. Karena dalam hal membaca Alkitab, penerangan Ilahi bukanlah dimaksudkan sebagai pengganti tanggung jawab manusia untuk berpikir. Jadi, kita harus berusaha berpikir berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika. Hal ini melibatkan pemikiran secara eksegetis sehingga dapat memahami arti yang tepat, secara sistematis untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama, secara kritis untuk dapat mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan dan secara sintesis untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran secara keseluruhan. Tetapi, intelek saja tidak akan menjadikan seorang mengerti Alkitab dengan benar. Seorang penafsir Alkitab harus bergantung pada pengajaran Roh Kudus (Yohanes 16:12-15). Diperlukan sikap yang sadar untuk bergantung kepada Roh Kudus yang dinyatakan dalam kerendahan hati, pikiran dan keinginan dalam mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Roh kepada orang lain di sepanjang sejarah. Ringkasnya, di dalam hermeneutika, sebagaimana telah disebutkan diatas, kita dituntut untuk memahami konteks, latar belakang historis, budaya, tata bahasa (gramatika), dan maksud penulis Alkitab, ini sangat penting! Tetapi, tak seorangpun dapat mengklaim sistem hermenutika yang benar jika pengertiannya kurang dari tiga pengertian dasar yang disebutkan di atas. Lagi pula kita perlu menyadari bahwa keterbatasan hermeneutika sama dengan keterbatasan dari pernyataan Kitab Suci. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu tidak didukung oleh pernyataan Alkitab. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kadang-kadang hal ini didorong oleh keinginan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Alkitab. MENAFSIRKAN DOKTRIN 1. Pengertian Doktrin. Istilah “doktrin” berasal dari kata Yunani “didaskalia” dan “didakhe” yang berarti “ajaran” yang berasal dari akar kata “didaskô” yang berarti “mengajar atau mengajarkan”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. Perjanjian Baru menggunakan kata “didaskalia” ini sebanyak 21 kali, kata “didakhe” sebanyak 30 kali dan kata “didasko” sebanyak 97 kali. Salah satunya terdapat di dalam Kisah Para Rasul 2:42, di mana dikatakan bahwa para petobat gereja yang mula-mula bertekun dalam pengajaran (didakhe) para rasul.[6] Jadi, kata doktrin berarti sesuatu yang diajarkan, pengajaran, instruksi; prinsip-prinsip agama yang diajarkan; atau lebih harfiah doktrin berarti mengajarkan yang dasar.[7] Dari pengertian di atas maka doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan. Dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab yang adalah Firman Allah. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Jadi, dalam pengertian yang sempit doktrin dapat didefinisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar yang diajarkan; dan dalam pengertian yang luas doktrin mencakup semua kebenaran firman Tuhan yang diajarkan. Doktrin itu sendiri bersumber dari Alkitab. Sehingga untuk pemakaian Kristen, doktrin dapat di definisikan sebagai pengajaran-pengajaran dasar Kristen yang diajarkan yang bersumber dari Alkitab. Di dalam teologi Kristen, upaya untuk menyusun secara logis dan sistematis semua doktrin yang sudah tersedia di Alkitab disebut dengan istilah “teologi sistematika”. Teologi sistematika adalah bidang kajian teologi yang berkaitan dengan pengajaran Alkitab yang sudah diformulasikan secara sistematis dan logis dalam doktrin-doktrin mengenai Allah, Kristus, Roh Kudus, Manusia, Malaikat, Dosa, Keselamatan, Gereja, Akhir Zaman, dan lain sebagainya. Teologi sistematika ini bertujuan untuk menemukan, merumuskan, dan mempertahankan dasar pengajaran iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab. 2. Tujuan Doktrin. Tujuan doktrin sebagaimana yang disebutkan oleh Kevin J. Conner adalah sebagai berikut: ”Permulaan Injil Lukas berkaitan dengan maksud tujuan doktrin. Lukas 1:1-4 dikatakan : ”..berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita... supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”[8] Berdasarkan ayat tersebut Conner memberikan penjelasan terhadap kata-kata dari ayat-ayat tersebut sebagai berikut: (1) ”berusaha” adalah dengan upaya; (2) ”Menyusun” berarti diatur secara berurutan; (3) ”Suatu berita” berarti kabar yang lengkap, yang penuh dan menyeluruh; (4) ”Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, yaitu yang berkaitan dengan Injil Tuhan Yesus Kristus; (5) ”Diajarkan” berarti diinstruksikan secara lisan. Kata ini berasal dari kata Yunani “katecheo” yang artinya menginstruksikan dengan cara bertanya dan mengoreksi jawaban-jawaban. (Kata katekisasi berasal dari kata ini, yang digunakan juga di dalam Kisah Para Rasul 18:25; dan Roma 2:18).[9] Kemudian Conner menyimpulkan bahwa maksud dan tujuan doktrinal teologi ialah “guna menyusun secara sistematis peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara orang-orang percaya yang sejati. Yakni untuk menginstruksikan orang percaya supaya ia dapat mengetahui bahwa apa yang diajarkan sungguh benar. Untuk memberikan dorongan pada orang percaya guna mempertahankan ”iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (lihat : Yudas 3).[10] 3. Sumber Doktrin. Sumber doktrin Kristen adalah Kitab Suci. Pengakuan ini didasarkan atas keyakinan bahwa Allah telah mewahyukan (menyatakan) diriNya dan penyataan itu secara akurat dinyatakan dalam ke enam puluh enam kitab dari Kitab Suci (Alkitab). Dengan demikian, maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia akan Allah. Selanjutnya, sumber-sumber lainnya dalam penyusunan teologi dan doktrin Kristen, yaitu: (1) Pengakuan-pengakuan doktrinal, seperti: Kredo Rasuli, Kredo Nicea, Kredo, dan pengakuan iman lain. Hal ini penting untuk mengerti bagaimana orang-orang Kristen sepanjang abad memahami konsep teologis dan memformulasi doktrin-doktrin Alkitab; (2) Tradisi gereja, meskipun bisa salah, namun penting untuk dapat memahami afirmasi tentang iman Kristen. Apa yang individu, gereja-gereja, dan denominasi telah ajarkan merupakan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan pernyataan teologis; (3) Penalaran, dibimbing oleh Roh Kudus, adalah juga suatu sumber teologi. Namun penalaran tetap harus takluk pada supranatural, daripada berusaha untuk menjelaskannya. 4. Persyaratan Doktrin. Paul Enns dalam The Moody Handbook of Theology menyebut persyaratan dari teologi (doktrinal), yaitu : (1) Inspirasi dan Inneransi Alkitab. Tidak ada teologi yang cukup dan mungkin tanpa suatu kepercayaan pada inspirasi dan inneransi Kitab Suci. Apabila doktrin inspirasi dan inneransi ini ditinggalkan, maka hal itu akan menjadikan penalaran sebagai sumber otoritas dan penalaran akan duduk sebagai hakim atas teks Kitab Suci; (2) Aplikasi dan Prinsip-Prinsip Hermeneutika Yang Tepat. Aplikasi dan prinsip-prinsip hermeneutika yang tepat akan mendorong objektivitas, serta memaksa penafsir untuk mengesampingkan bias-bias dan ekstrim-ekstrim; (3) Pendekatan Ilmiah. Teologi harus ilmiah, dalam arti menerapkan seni secara umum, budaya, dan bahasa Alkitab dalam menarik kesimpulan teologis; (4) Objektivitas. Teologi harus berdasarkan pada riset induktif dan kesimpulan-kesimpulan, bukan berdasarkan penalaran secara deduktif. Teologi harus mendekati kitab suci dengan tabulasi rasa, suatu pikiran yang terbuka, mengizinkan Kitab Suci untuk berbicara bagi dirinya tanpa membentuk opini yang bersifat prejudis tentang apa yang seharusnya dikatakan oleh Kitab Suci; (5) Wahyu Progresif. Meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diinspirasikan, namun keduanya merupakan suatu kanon yang pewahyuannya bersifat progresif. Karena itu, dalam merumuskan kebenaran tentang Allah dan bagaimana Ia berhadapan dengan manusia, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama; (6) Iluminasi. Pada waktu menerapkan hermeneutika dan metode yang tepat, unsur ilahi untuk memahami kebenaran Allah tidak boleh diabaikan. Orang-orang percaya dibantu oleh pelayanan Roh Kudus, yaitu iluminasi untuk membimbing orang percaya pada suatu pengertian akan kebenaran ilahi; (7) Pengakuan Akan Keterbatasan Manusia. Pada waktu menerapkan metode yang tepat, harus disadari akan keterbatasan. Manusia tidak akan pernah dapat memahami Allah secara total. Ia harus puas dengan pengetahuan yang terbatas.[11] 4. Penafsiran doktrin. Bagaimana dengan penafsiran doktrinal? Pengajaran atau doktrin, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis. Alkitab adalah sumber dari semua doktrin Kristen yang Tuhan inginkan untuk diajarkan kepada kita. Doktrin-doktrin Alkitab merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling bertentangan satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. Berikut ini beberapa petunjuk untuk menafsir doktrin: (1) Dasarkan penafsiran doktrin pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas; (2) Dasarkan doktrin pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran;[12] (3) Dasarkan doktrin pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran. Tidaklah bijaksana jika merumuskan doktrin dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; (4) Pakailah semua prinsip-prinsip umum hermeneutika untuk menafsirkan doktrin; (5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam menafsirkan doktrin. CIRI-CIRI DOKTRIN YANG BENAR Pada akhir zaman kapasitas doktrin Iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat. Doktrin ini bisa berupa filsafat, tahyul dan tradisi-tradisi manusia. (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. Berikut ini adalah ciri-ciri dari doktrin yang benar. 1. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Alkitabiah (2 Timotius 3:14-17). Doktrin yang Alkitabiah adalah doktrin yang bersumber pada seluruh Firman Allah. Doktrin seperti ini tidak hanya bermanfaat untuk pengajaran tetapi juga untuk menyatakan kesalahan, mendidik dan memperbaiki agar orang percaya memiliki hidup yang berkenan kepada Allah. Untuk menghasilkan doktrin yang Alkitabiah diperlukan interpretasi yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar, benar dan dapat dipertanggunjawabkan sehingga menghasilkan doktrin yang sehat. 2. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Sehat (1 Timotius 1:10; 2 Timotius 4:2-4; Titus 1:9; 2:1). Doktrin yang benar adalah doktrin yang sehat. Doktrin yang sehat akan memelihara orang percaya agar tetap sehat dan terhindar dari kekeliruan. Doktrin yang sehat menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan rohani yang sehat bagi orang percaya. Doktrin sehat menghasilkan paktek kehidupan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Doktrin dan pengajaran yang sehat selalu diharapkan untuk menghasilkan kehidupan yang kudus. Doktrin yang sehat tidak hanya dinyatakan melalui pengakuan iman atau kredo, tetapi melalui kehidupan yang berbuah-buah. 3. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Murni (2 Timotius 4:6). Murni artinya bebas dari campuran. Kita tahu bahwa Alkitab dalam naskah aslinya itu benar, bebas dari kesalahan dan tanpa kekeliruan. Hal ini dikarenakan Alkitab itu adalah wahyu Allah melalui ilham kepada penulis-penulis Alkitab. Dengan demikian Alkitab itu murni dan keasliannya terjamin. Alkitab dikatakan asli karena memang ditulis penulis yang namanya dipakai untuk kitab dan tulisannya tepat pada zaman dimaksud. Doktrin yang murni bersumber hanya pada Firman Allah (Alkitab). Ujian dari kemurnian doktrin adalah kemurnian dan kekudusan hidup yang dihasilkannya. 4. Doktrin yang Benar adalah Doktrin yang Menghasilkan Karakter yang Kudus (Titus 2:1). Merupakan fakta yang sudah terbukti bahwa doktrin mempengaruhi karakter. Apa yang dipercayai seseorang sangat besar mempengaruhi perbuatannya. Jika seseorang menerima dan mengikuti doktrin yang sehat maka doktrin itu akan menghasilkan karakter ilahi dan karakter Kristus. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius agar “awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:6,13,16). Selanjutnya Paulus berbicara tentang “ajaran yang sesuai dengan ibadah kita” (1 Timotius 6:1-3), yakni serupa dengan Allah dalam hal karakter dan kehidupan yang kudus. Saya memperhatikan, dan ini sangat memprihatinkan, bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang memutlakkan pandanganya dan langsung menuduh sesat atau berbahaya suatu pemikiran yang tidak sama dengan pandangannya. Saya setuju apabila pandangan yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-pinsip dasar kepercayaan Kristen Ortodoksi dan Konservatif disebut sebagai pandangan yang berbahaya. Tetapi, saya tidak setuju apabila alat penilaian itu didasarkan pada pandangan atau paham teologi tertentu.[13] Paulus Daun, seorang pengajar dan teolog Injili, memberikan kriteria atau ciri-ciri ajaran sesat (bidat) sebagai berikut: (1) Mengemukakan kebenaran baru; (2) Mengemukakan penafsiran baru; (3) Mengemukakan sumber otoritas non Alkitabih; (4) Mengemukakan Yesus yang lain; (5) Mengemukakan doktrin non ortodoks; (6) Mengemukakan kepalsuan; (7) Mengkultuskan (memuja) pemimpinnya.[14] David Pan Purnomo menyatakan bahwa bidat sebenarnya adalah ajaran atau aliran atau sekte yang menyimpang dari ajaran Kristen yang benar.[15] Pada umumnya bidat muncul karena ada sekelompok orang yang berkumpul bersama untuk mengikuti seseorang yang keliru menginterpretasikan Alkitab. Misalnya, Saksi-Saksi Yehovah, adalah orang-orang yang mengikuti interpretasi Charles T. Russel dan J.F. Rutherford. Mormonisme adalah orang-orang yang mempercayai interpretasi Joseph Smith dan Brigham Young. Penganut Christian Science merupakan murid Mary Baker Eddy yang sangat mempercayai interpretasi Alkitabnya. Saat ini beraneka macam bidat[16] telah timbul di kalangan gereja-gereja Kristen, dan mereka mempunyai ciri-ciri yang hampir sama satu dengan yang lain, yaitu: (1) Mereka mempercayai auto-soterisme, yaitu manusia yang sanggup menyelamatkan diri sendiri. Memang banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa manusia diselamatkan karena anugerah Tuhan, tetapi keselamatan itu masih diberi syarat-syarat tertentu. Misalnya, Seventh Day Adventist mengira bahwa memegang hari Sabat “membantu” seseorang untuk diselamatkan, padahal Alkitab mengajarkan “sola gratia”, yaitu hanya oleh anugerah manusia diselamatkan (Efesus 2:8-9); (2) Menyangkal keilahian Kristus yang mutlak. Misalnya Saksi-Saksi Yehovah menyangkal bahwa Kristus yang setara dengan Allah Bapa. Mereka tidak mempercayai Allah Tritunggal, menganggap Kristus sebagai ciptaan Allah yang tertinggi, tetapi bukan anak Allah yang kekal; (3) Tidak memerlukan pertobatan yang total. Misalnya, Mormonisme beranggapan bahwa melalui pembaptisan di gereja Mormon, dosa seseorang dapat diampuni. Christian Science bahkan menyangkal adanya dosa, mereka menganggap dosa hanyalah fantasi manusia yang fana; (4) Menjadi anggota gereja mereka merupakan jalan menunju keselamatan. Orang Mormon mengatakan bahwa menjadi anggota gereja Mormon berarti diselamatkan. (5) Selain Alkitab mereka masih mempunyai buku-buku lain yang otoritasnya sama atau melebihi Alkitab. Misalnya Christian Science menyamakan buku-buku karangan Mary Baker Eddy dengan Alkitab. Begitu juga dengan saksi-saksi Yehovah yang menganggap buku-buku karangan Charles T. Russel setara dengan Alkitab. Orang Mormon mempunyai tiga macam buku yang berotoritas seperti Alkitab yaitu The Book of Mormon, Doctines and Covenants dan Pearl or Great Price. Karena itu, sebaiknya kita harus berpegang teguh pada semboyan para reformator “Sola Scriptura”, yang berarti bahwa hanya Alkitab yang menjadi pedoman dan dasar iman kepercayaan dan kehidupan orang Kristen; (6)Di antara mereka ada yang memfitnah Yesus. Pemimpin Mormon yang bernama Brigham Youm mengatakan bahwa Yesus adalah Polygamis. Ia mempunyai beberapa istri, termasuk Maria Magdalena serta Marta dan Maria dari Betania. Ia juga mengatakan bahwa pesta pernikahan di Kana (Yohanes 2:1-11), adalah salah satu pesta pernikahan Tuhan Yesus; (7) Banyak bidat yang memakai alasan rohani untuk melampiaskan hawa nafsu mereka. Misalnya aliran The Children of God menganjurkan umatnya mempergunakan hubungan seks untuk “menyelamatkan jiwa” orang lain. Mereka juga menyetujui bahwa anak-anak yang belum dewasa hendaknya mempunyai pengalaman seks; (8) Salah menafsirkan Alkitab. Misalnya, Alkitab mengatakan, “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23), Saksi-saksi Yehovah berpendapat bahwa “maut” yang dimaksud di sini adalah “lenyap atau tidak ada lagi”. Mereka menyangkal adanya penghukuman orang berdosa pada akhir zaman, menyangkal adanya neraka, sebab dianggap bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan kasih Allah; (9) Mereka mengira bahwa pemimpin-pemimpin mereka mendapat wahyu dan urapan yang khusus. Misalnya gereja Roma Katolik di dalam konferensi di Vatican pada tahun 1870 memutuskan suatu kaidah bahwa Paus Katolik itu tidak mungkin berbuat salah. Mereka terlalu mengagungkan pemimpin mereka. Demikian juga dengan Christian Science yang menganggap Mary Baker Eddy adalah “nabi”. Bagi orang Mormon, mereka percaya bahwa Joseph Smith telah menerima wahyu dari malaikat untuk menulis buku Mormon. (10) Bidat-bidat yang berkaitan dengan Modernisme atau Liberalisme pada umumnya tidak mempercayai segala mujizat dan hal-hal yang supranatural di dalam Alkitab. Misalnya tidak mempercayai Tuhan Yesus dilahirkan melalui anak dara Maria, tidak mempercayai kebangkitan tubuh, menyangkal kedatangan Yesus yang kedua kali, dan lain-lain.[17] KEMBALI PADA DOKTRIN YANG BENAR DAN SEHAT Di Indonesia ada slogan yang dipopulerkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu “teliti sebelum membeli”. Tujuannya adalah agar konsumen atau pembeli tidak salah membeli sehingga mendapatkan barang jelek atau rusak. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dengan cermat. Jika untuk barang-barang jasmani yang sifatnya sementara dan tidak kekal kita disarankan untuk berbuat demikian, apalagi terhadap perkara-perkara rohani. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”, atau secara harafiah berarti “membuktikan dengan menguji”. Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang yang mengaku digerakan oleh roh ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja (Markus 13:22). Karena itu, ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah sangat dibutuhkan, apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Kita harus bisa membedakan mana yang gerakan dan mana yang ekses. Hal ini penting supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Beberapa pertanyaan diagnostik berikut dapat digunakan untuk menguji hal tersebut. Pertama, apakah hal tersebut sesuai dengan firman Tuhan atau ajaran Alkitab? Kedua, apakah hal tersebut meninggikan dan memuliakan Tuhan Yesus, karena pelayanan Roh Kudus tidak pernah lepas dari memuliakan Kristus (Yohanes 16:14)? Ketiga, apakah hal tersebut mendatangkan pertobatan dan damai sejahtera? Atau sebaliknya justru menimbulkan keresahan, ketakutan, kerusakan dan kehancuran? Kristus mengingatkan, “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” (2 Petrus 2:1-22) yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21). Maksud dari ayat ini jelaslah bukan untuk menyatakan bahwa semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” yang terjadi saat ini palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”. Ajukan ketiga pertanyaan tersebut di atas, bersikaplah kritis, jujur dan terbuka, serta belajarlah tanggap terhadap tuntunan Roh Kudus. Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut ”tidak” maka kita harus dengan tegas dan berani menolak ajaran atau praktek yang mengatasnamakan Roh Kudus. Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Kebenaran sejati harus diuji dan tidak perlu takut bila menghadapi ujian atau kritikan. Dapat dipastikan, hanya mereka yang keliru dan tidak benar yang takut terhadap ujian. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1). Saat ini, ada serangan yang hebat terhadap doktrin yang sehat. Ada upaya dan ajakan untuk berpaling dari ajaran yang sehat kepada filsafat-filsafat manusia dan ajaran-ajaran setan. Banyak pemimpin gereja tidak memiliki waktu mengkhotbahkan atau mengajarkan doktrin. Mereka telah berpaling kepada pidato, politik, etika, khotbah injil sosial yang mengatakan bahwa doktrin tidak berguna lagi dan ketinggalan zaman. Rasul Paulus mengingatkan “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Timotius 4:3). John Piper mengingatkan, “Diantara kaum Injili hari ini, ada cara-cara lain yang secara efektif merendahkan kuasa dan otoritas khotbah yang Alkitabiah. Ada epistemonologi-epistemonologi subjektif yang merendahkan pernyataan proporsional. Ada teori-teori linguistik yang mengembangkan admosfir eksegetis yang ambigu. Dan ada relaivisme kultural yang populer, yang memungkinkan bagi jemaat untuk membuang sekehendaknya pengajaran Alkitabiah yang dirasakan tidak nyaman oleh mereka”.[1] Selanjutnya John Piper mengatakan, “Dimana hal-hal semacam ini berakar, Alkitab akan dibungkam dalam gereja, dan khotbah akan menjadi sebuah refleksi tentang isu-isu terkini dan opini-opini agamawi. Tentu saja bukan ini yang Paulus maksud ketika ia berkata kepada Timotius, ‘Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”.[2] Perkataan John Piper tersebut di atas sesungguhnya merupakan teguran yang positif bagi para pemimpin gereja, pendeta, pengkhotbah dan pengajar Alkitab saat ini. Mengingat bahwa pada akhir zaman kapasitas doktrin iblis yang menyesatkan dan menghancurkan kehidupan manusia akan semakin meningkat, maka kita perlu mengetahui doktrin yang benar. Doktrin iblis bisa berupa: filsafat, takhyul dan tradisi-tradisi manusia (Matius 22:9; 24:3-13; Galatia 1:6-9). Untuk mengenal doktrin-doktrin yang palsu kita tidak harus mempelajari doktrin palsu tersebut. Hal yang terpenting adalah mengenal dan memahami doktrin yang benar. Dengan mengetahui yang benar kita dapat membedakannya dari yang palsu. (Sumber: Diadaptasi Dari Buku APOLOGETIKA KHARISMATIK: KHARISMATIK YANG KUKENAL DAN KUYAKINI By Samuel T. Gunawan) REFERENSI: [1] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 28. [2] Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 30. [3] Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20). [4] Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8. [5] Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan. [6] Conner, Kevin. J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 15-37; Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. [7] Kata Yunani “doktrin” adalah “διδασκαλια (didaskalia); διδαχη (didakhê) dari akar kata “διδασκω (didaskô) yang berarti “mengajar”. Sehingga “doktrin” secara konseptual adalah hal-hal yang diajarkan. [8] Conner, Kevin. J., A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, hal. 17 [9] Ibit. [10] Ibit. [11] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 180-182. [12] Beberapa ahli teologi pada masa lalu mengamati perbedaan teologi Pentakostal dari teologi Protestan-Injili antara lain: (1) Teologi Pentakostal didasarkan pada Kitab Kisah Para Rasul dan Kitab-Kitab Injil; Sedangkan teologi Protestan didasarkan pada Surat-Surat Rasul Paulus. (2) Implikasi dari perbedaan tersebut, maka teologi Pentakostal dianggap bersifat naratif-praktis; sedangkan teologi Protestan bersifat normatif-didaktik. Tetapi penelitian beberapa pakar teologi Injili terkini menunjukkan bahwa Kisah Para Rasul dan Injil Lukas bukan hanya bersifat naratif-praktis tetapi juga bersifat teologis-didaktif. (Lihat: Menzies, William W & Robert P., 2005. Roh Kudus dan Kuasa. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 49-62). [13] Karena itu, saya mengajak orang-orang Kristen merekonstruksi kembali alat yang dipakai untuk menilai bahwa suatu ajaran itu sesat. Karena jika alat untuk menilai itu merupakan suatu pandangan teologi-dogmatis tertentu, maka alat penilai itu bukan standar dan bisa jadi justru alat yang keliru. [14] Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Daun Family: Manado, hal. 21-29. [15] Purnomo, David Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Pernerbit SAAT: Malang, hal. 23. [16] Scotland, Nigel., 2013. Buku Wajib Cara Menangkal Sekte dan Agama Baru. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta; Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Apologetika. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung; Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado. [17] Purnomo, Devid Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, hal. 23-25. [18] Piper, John., 2009. Supremasi Allah Dalam Khotbah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 28. [19] Ibit, hal. 29.
MENILAI SUATU PANDANGAN TEOLOGI ATAU DOKTRIN