PENGANTAR KEPADA TEOLOGI SALIB

Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th.
PENGANTAR KEPADA TEOLOGI SALIB
PENGANTAR KEPADA TEOLOGI SALIB . “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Korintus 1:22-24). SALIB SEBAGAI INTI DARI INJIL DAN KEKRISTENAN
Membahas tentang teologi salib berarti berbicara tentang kematian Kristus. Jika pengertian teologi dipahami sebagai “suatu interpretasi yang rasional mengenai iman Kristen” sebagaimana yang didefinisikan oleh pakar teologi Charles C. Ryrie,[1] maka teologi salib adalah suatu interpretasi yang rasional mengenai inti iman Kristen, yaitu salib. Teologi salib akan menjelaskan secara teratur, sistematis, dan logis berdasarkan pernyataan Alkitab tentang arti, makna, manfaat, dan jangkauan kematian Kristus di kayu salib. Namun perlu diketahui bahwa dari sejak awalnya ajaran tentang salib memang tidak disukai dan dianggap sebagai kebodohan oleh banyak orang. Rasul Paulus mengatakan, “tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1 Korintus 1:23). Padahal menurut Alkitab, salib adalah pusat dari Injil, karena itu adalah pusat dari Kekristenan, sebagaimana disimpulkan oleh Leon Morris, “Sama sekali tidak diragukan bahwa saliblah pusat dari Injil Kristen sebagaimana dipahami oleh Paulus”.[2] Karena itu Rasul Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus demikian, “Saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Korintus 2:1-2). Kepada jemaat di Galatia rasul Paulus berkata, “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu?” (Galatia 3:1). Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa salib sangat penting bagi rasul Paulus, dan seluruh dinamika surat-suratnya mengarisbawahi hal ini.[3] Karena itu tepat seperti yang disimpulkan oleh J. Knox Chamblin bahwa salib terletak di pusat Injil rasul Paulus ketika ia mengatakan, “Salib terletak di pusat euangelion Paulus. Injilnya adalah berita salib (1 Korintus 1:17-18)”.[4] Namun yang terutama, Kristus sendiri yang berkali-kali menyinggung tentang salib dalam pengajaranNya, karena untuk itulah Ia datang ke dalam dunia, yaitu mati di kayu salib (Yohanes 12:23-27). Yesus sendiri mengatakan bahwa Dia datang bukan semata-mata untuk hidup dalam ketaatanNya, melainkan untuk memberikan nyawanya (Markus 10:45; Yohanes 10:11-18). Dia datang untuk mati bagi dosa-dosa manusia. Hal ini dijelaskan sendiri olehNya sebelum ia disalibkan (Yohanes 10:15-18). Peristiwa itulah yang membedakan korban dan pengorbanan Yesus dari semua korban lain yang pernah disebutkan oleh Alkirab. Karena itulah, satu-satunya peristiwa yang ditetapkan oleh Kristus sendiri untuk kita peringati ialah kematianNya yang mendamaikan itu (Markus 14:22-14). Itu sebabnya kita tidak perlu heran mengapa semua penulis kitab Injil kanonik berfokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada minggu terakhir kehidupan Yesus dan mengabadikan sebagian besar tulisan mereka seputar peristiwa-peristiwa tersebut. Matius menggunakan 8 pasal dari 28 pasal dalam tulisannya; Markus menggunakan 6 pasal dari 16 pasal dalam tulisannya; Lukas menggunakan 6 pasal dari 24 pasal dalam tulisannya; dan Yohanes menggunakan 10 pasal dari 21 pasal dalam tulisannya. Begitu penting dan utamanya kematian Kristus sehingga Chales C. Ryrie mengingatkan kita agar tidak kehilangan fokus, bahwa “hanya penderitaan di kayu saliblah yang merupakan penebusan. Pada saat terjadi kegelapan selama tiga jam ketika Allah meletakkan dosa seluruh dunia ke atas Kristus, penebusan itu terjadi. Siksaan dan pukulan yang dialamiNya sebelum Dia berada di kayu salib merupakan bagian penderitaan dalam hidupNya”.[5] Jadi, masih menurut Chales C. Ryrie yang dengan tegas mengatakan, “meskipun para ahli teologi telah membedakan antara penderitaan-penederitaan dalam kehidupan dan kematian Kristus (Ketaatan yang aktif dan pasif), itu tidak terlalu penting, karena hanya penderitaan dalam kematianNya dan ketaatanNya sebagai Anak Domba yang dikorbankanlah yang menebus dosa manusia”.[6] Hal senada juga dikatakan oleh Leon Morris seorang pakar Perjanjian Baru demikian, “Yang mendatangkan keselamatan bagi orang-orang berdosa adalah kematian Kristus yang membawa pendamaian dan bukan kehidupanNya yang patut diteladani itu”.[7] Perhatikanlah, bahwa Leon Morris menghubungkan doktrin pendamaian dengan salib (kematian) Kristus. Itulah sebabnya di dalam seri Teologi Salib ini saya memfokuskan diri mengajarkan tentang kematian Kristus yang mendamaikan ini sebagai doktrin utama dan menentukan dalam soteriologi Kristen. PENDAMAIAN BESAR PADA SALIB KRISTUS MERUPAKAN DOKTRIN UTAMA DALAM SOTERIOLOGI Doktrin pendamaian besar (the great atonement) dalam Perjanjian Baru adalah khas rasul Paulus, suatu cara memandang salib yang tidak kita temukan pada penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya. Ada empat bagian utama dimana rasul Paulus membicarakan pendamaian ini (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:11-16; Kolose 1:19-22). Walau pendamaian ini merupakan khas rasul Paulus, justru pendamaian ini merupakan hal yang hakiki pada peristiwa kematian Kristus, karena konsepsi dari pendamaian itu sendiri dipahami rasul Paulus dari Perjanjian Lama dengan baik dan sarat dengan makna yang baru. Selaku seorang Yahudi dan ahli dalam hukum Taurat, rasul Paulus tentu saja mengenal Perjanjian Lama dengan sangat baik. Kita tahu bahwa rasul Paulus lahir dan dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang ketat terhadap hukum Taurat dan tradisi Yahudi. Ia adalah seorang lulusan terbaik dari sekolah Farisi di Yerusalem, dibawah bimbingan Gamaliel (Filipi 3:5; Galatia 1:13-14; Kisah Para Rasul 5:34). Kita juga tahu, bahwa Gamaliel yang membimbing Paulus dalam hukum Taurat dan tradisi Yahudi adalah seorang pakar hukum Taurat, satu-satunya dari tujuh sarjana dalam sejarah bangsa Yahudi yang menerima sebutan “Rabban (tuan kami)”. Karena itu istilah pendamaian Perjanjian Lama seperti kata kerja Ibrani “Kippér (mengadakan pendamaian)”, kata benda “kóper (pendamaian)” dan kata lainnya “kappóret (tutup pendamaian” merupakan sangat dipahami rasul Paulus.[8] Istilah“kappóret” atau “tutup pendamaian” yang dipakai kepada tutup emas dari Tabut Perjanjian yaitu benda paling suci dalam seluruh Kemah Suci itu merupakan istilah yang diterapkan khusus, dimana pada Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) imam besar besar mengambil darah dari sesekor lembu jantan dan seekor kambing lalu memercikkan darahnya ke atas tutup pendamaian itu (Imamat 16:11-15). Inilah satu-satunya saat dimana Imam Besar dapat masuk ke tempat Mahakudus itu, dan upacara agama Yahudi inilah yang dipahami rasul Paulus paling dekat maknanya dengan karya Kristus yang mendamaikan itu (bandingkan Ibrani 9:12). Karena itulah rasul Paulus menyatakan bahwa “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya (2 Korintus 5:18)” dan “Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus (2 Korintus 5:19)”. Kata “mendamaikan” dalam ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata Yunani “katallasso” yang berarti “mengubah permusuhan menjadi persahabatan”.[9] Kata “katallasso” ini digunakan pada pendamaian antara manusia dengan Allah dan antara seorang wanita yang kembali kepada suaminya (Roma 5:10,11; 11:15; dan 1 Korintus 7:11).[10] George W. Peters mengatakan, “Paulus telah menanamkan banyak kebenaran, yang tak terhapuskan, kepada dunia. Yang paling menonjol diantaranya ialah kenyataan bahwa ‘Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus’. Dengan kata lain, Allah telah menyediakan di dalam Kristus keselamatan yang cukup untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaannya yang mutlak dan kekal serta menawarkan kemuliaan yang tak terkatakan serta tak terlukis. Paulus menekankan bahwa Allah telah memberikan seorang Juruselamat dan keselamatan yang cukup untuk semua manusia”.[11] Seperti halnya rasul Paulus, banyak para teolog dan ahli Alkitab telah melihat bahwa doktrin pendamaian besar merupakan doktrin utama, paling penting dan menentukan dalam soteriologi Alkitabiah. Millard J. Millard J.Erickson mengatakan, “doktrin pendamaian ini merupakan doktrin yang paling menentukan bagi kita karena di dalamnya kita berhadapan dengan titik balik dari, katakanlah, unsur obyektif kepada unsur subyektif dari teologi Kristen. Di dalam doktrin ini kita menggeser fokus kita dari sifat Kristus kepada karyaNya yang aktif demi kita; di dalam doktrin ini teologi sistematika diterapkan langsung pada kehidupan kita. Pendamaian telah memungkinkan keselamatan kita”.[12] Leon Morris, walau terkesan ekstrem, mengatakan demikian “Pendamaian merupakan doktrin yang paling penting dari iman Kristen. Kecuali pemahaman kita benar mengenai pendamaian ini, setidak-tidaknya bagi saya, maka tidak terlalu penting lagi pemahaman kita tentang doktrin yang lain”.[13] Morris Juga menyatakan, “Yang sangat penting dalam beberapa diskusi belakangan ini adalah konsep Paulus tentng pendamaian. Istilah ini dipakai dalam sejumlah kecil bagian (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:16; Kolose 1:20-22), tetapi tersirat dalam banyak ayat lainnya, misalnya bagian-bagian yang berbicara tentang perdamaian yang terjadi antara Allah dengan manusia. Pendamaian ini dapat dipastikan merupakan suatu konsep yang penting dan adalah sangat berarti bahwa Paulus melihat kematian Kristus telah menyelesaikan permusuhan yang diakibatkan oleh dosa, dan membawa khasiat pendamaian yang berjangkauan jauh”.[14] Donald Guthrie mengatakan tentang doktrin pendamaian demikian, “Ini merupakan salah satu wawasan paling asasi dari amanat Kristen, karena amanat itu bertolak dari asumsi keterasingan manusia dari Allah dan lebih lanjut memperlihatkan bagaimana manusia dan Allah dapat didamaikan. Bila kita dapat mengerti pendamaian dalam kerangka pemikiran seluas ini, maka dapat dikatakan bahwa seluruh pekerjaan Kristus bersangkut paut dengan pendamaian”.[15] Sementara itu, Kevin J. Conner dalam menanggapi berbagai teori keliru tentang kematian Kristus seperti teori kecelakaan, teori martir, teori pengaruh moral, teori pemerintahan, teori komersial, dan teori penghapusan, mengatakan demikian, “Semua teori-teori ini tidak tepat dan dan memiliki elemen-elemen yang keliru di dalamnya. Teori-teori tersebut merupakan pikiran alami yang berupaya menjelaskan kematian Kristus yang unik sehingga menyimpangkan kebenaran. Kristus benar-benar mati sebagai hasil kesetiaan kepada kebenaran yang Dia ajarkan dan yakini. Dia benar-benar mati sebagai ekspresi kasih Allah. Dia benar-benar mati untuk menegakkan kebenaran dari pemerintahan Allah. Dia mati untuk membayar harga pembebasan dosa. Tetapi semuanya ini hanyalah sebagian aspek dari kematianNya. Mereka semua menghilangkan tujuan utama dari kematianNya yakni pendamaian. Menghilangkan kematian Kristus yang mendamaikan berarti menghilangkan kebenaran mendasar dari karya Kristus”.[16] Disini Kevin J. Conner mengakui bahwa tujuan utama kematian Kristus adalah pendamaian. Dan apa yang dinyatakan oleh Kevin J. Conner tersebut di atas selaras dengan seluruh kebenaran Alkitab. Istilah-istilah teologis dan alkitabiah seperti pengorbanan (sakrifasi), pengantaraan (mediasi) , pencurahan darah, peredaan murka (propisiasi), penghapusan kesalahan (ekspiasi), korban pengganti (substitusi), penebusan (rendempsi) dan pengampunan (amnesti) merupakan bagian-bagian penting dari pendamaian besar (the great atonement) yang dikerjakan Kristus melalui kematianNya di kayu salib. PENDAMAIAN MELALUI KEMATIAN DI KAYU SALIB SEBAGAI TUJUAN INKARNASI KRISTUS KE DALAM DUNIA Ketika Kristus mengatakan kepada murid-muridNya , “sama seperti Bapa telah mengutus Aku,..” (Yohanes 2O:21), kita langsung teringat pada kata “misi”. Istilah “misi” atau “mission (Inggris)” berasal dari kata Latin “missio” yang berarti “mengutus”, hampir sama dengan kata dalam bahasa Yunani “apostello”, yang artinya “mengutus”.[17] Kata “apostello” muncul sebanyak 135 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, di mana sebanyak 123 kali digunakan dalam Kitab Injil dan Kisah Para rasul.[18] George W. Peter, seorang pakar misiologi mengatakan, “kata kerja ‘apostello’ mengandung arti pengutusan seorang duta dengan satu tugas khusus. Karenanya kata itu dipakai untuk misi dari anak Allah, dan untuk rasul-rasulNya.”[19] Sebagai Anak, Kristus telah diutus oleh Bapa ke dalam dunia dengan satu tugas khusus, karena itu Ia disebut dengan sebutan “Rasul” (Apostle). Penulis Kitab Ibrani dengan jelas mengatakan demikian, “Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus” (Ibrani 3:1). Jadi, Allah telah mengutus Kristus ke dalam dunia melalui inkarnasiNya untuk melaksanakan tugas khusus, yaitu misi pendamaian. Injil Yohanes menyebut Yesus dengan gelar “Anak Domba Allah” (Yohanes 1:29,36). Pada sebutan pertama, gelar ini diperjelas dengan keterangan tambahan “yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Gelar itu memberitahukan kita betapa pentingnya misi Yesus itu. W. Hall Harris mengatakan, “Bahwa misi itu berkaitan dengan pendamaian sangat sejalan dengan penghapusan dosa dan juga dengan pernyataan-pernyataan lain di bagian selanjutnya dalam Injil Yohanes : ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkanNya oleh Dia’ (Yohanes 3:17); dan ‘kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, tetapi sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia’ (Yohanes 4:42)”.[20] Millard J. Erickson menjelaskan tentang maksud pengutusan Yesus ke dalam dunia ini demikian, “Yesus cukup menyadari bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan bahwa Ia harus melakukan pekerjaan Sang Bapa. Dia menyatakan dalam Yohanes 10:36 bahwa Bapa telah mengutusNya ke dalam dunia ini. Dalam Yohanes 3:38 Yesus mengatakan, ‘Sebab Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakKu, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku’. Rasul Yohanes juga dengan jelas menghubungkan pengutusan oleh Bapa dengan karya penebusan dan pendamaian Anak, ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia’ (Yohanes 3:17). Jelas bahwa maksud kedatangan Kristus adalah untuk mengadakan pendamaian, dan Allah Bapa ikut terlibat dalam karya tersebut. Yang dimaksud dengan menekankan bahwa kedatangan Anak adalah karena diutus oleh Bapa ialah untuk menjelaskan bahwa karya Anak tidaklah terlepas dari, atau tidak bertentangan dengan, apa yang dilakukan Bapa.”[21] Misi pendamaian besar itu telah selesai dikerjakan Kristus, karena dunia telah didamaikan dengan Allah oleh Kristus melalui kematianNya (2 Korintus 5:15-20). Kapan misi itu selesai? Ketika disalib sebelum mati Yesus berkata “sudah selesai” (Yohanes 19:30). Kata “sudah selesai” adalah kata Yunani “τετελεσται - tetelestai” ini berasal dari kata kerja τελεω – teleô, artinya "mencapai tujuan akhir, menyelesaikan, menjadi sempurna”. Kata ini menyatakan keberhasilan akhir dari sebuah tindakan. Paul Enns menyatakan, “Karya Kristus sesuai dengan tujuanNya datang ke dunia, digenapkan dalam Yohanes 19:30. Setelah enam jam di atas kayu salib Yesus berseru ‘sudah selesai!’ (Yunani: Tetelestai). Yesus tidak mengatakan ‘saya telah selesai!’, tetapi ‘sudah selesai!’. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepadaNya; karya keselamatan telah diselesaikan. Tensa bentuk lampau dari kata kerja ‘tetelestai’ dapat diterjemahkan ‘hal itu akan tetap selesai’, artinya pekerjaan itu untuk selamanya selesai dan akibat dari selesainya pekerjaan itu terus berlaku”.[22] Ditempat lain, Paul Enns mengatakan, “bagaimana Kristus mencapai pendamaian? Melalui kematianNya (Roma 5:10). Karena Kristus adalah Allah, kematianNya tak ternilai hargaNya, menyediakan pendamaian bagi dunia. Hal ini signifikan karena kematian Kristus menjadikan dunia bisa diselamatkan”.[23] Berita pendamaian besar yang sudah selesai Yesus kerjakan itu harus disampaikan kepada dunia oleh orang-orang percaya melalui pemberitaan Injil dengan panggilan “berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Korintus 5:20), dan “percayalah kepada Yesus Kristus maka engkau akan selamat” (Kisah Para Rasul 16:31). Jadi meskipun dunia telah didamaikan dengan Allah melalui kematian Kristus, tetapi setiap orang secara pribadi harus memberi dirinya sendiri untuk didamaikan dengan Allah dengan percaya kepada Kristus. Dan hanya dengan cara demikianlah, maka keadaannya dihadapan Allah diubah. Karena pendamaian yang terjadi di dalam kematian Kristus, maka sekarang manusia dapat diselamatkan. Tetapi hal itu sendiri tidak menyelamatkan satu manusia pun, sebab pelayanan pendamaian itu harus dilaksanakan dengan setia melalui pemberitaan Injil. Pada saat seseorang menjadi percaya, maka ia menerima pendamaian yang diberikan Allah di dalam kematian Kristus (2 Korintus 5:18-21). Dunia telah didamaikan, tetapi setiap orang secara pribadi perlu didamaikan. Pendamaian secara universal ini mengubah keadaan dunia dari tidak dapat diselamatkan menjadi dapat diselamatkan. Pendamaian secara pribadi melalui iman benar-benar membawa pendamaian itu dalam hidup orang yang bersangkutan dan mengubah keadaan orang itu dari tidak diselamatkan menjadi diselamatan. Berlanjut ....... Lihat disini: https://www.facebook.com/notes/samuel-t-gunawan/memahami-doktrin-pendamaian-yang-besar/1136328699749643
dan ..... https://www.facebook.com/notes/samuel-t-gunawan/makna-pendamaian-di-dalam-kematian-kristus-di-kayu-salib/1136349186414261 FOOTNOTE:[1] Lihat: Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, 15-16. [2] Morris, Leon., 2006. Teologi Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 89. [3] Ibid, hal. 88. [4] Chamblin, J. Knox.,2006. Paulus dan Diri: Ajaran Rasul Paulus Bagi Keutuhan Pribadi. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 66. [5] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, 25. [6] Ibid. [7] Morris, Leon., Teologi Perjanjian Baru, hal. 88. [8] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 44. [9] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 460. [10] Ibid. [11] Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 180. [12] Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 449-450. [13] Ibid, hal. 450. [14] Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 79. [15] Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2 Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 109. [16] Conner J. Kevin., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 479-480. [17] Enos, I. Nyoman,. 2012. Penuntun Praktis Misiologi Modern. Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal. 23. [18] Selain kata “apostello”, kata Yunani lainnya “pempo” juga diterjemahkan dengan “mengutus” muncul sebanyak 80 kali dalam Perjanjian Baru. Kedua kata ini dipakai untuk Kristus dan juga untuk para rasul. Ada perbedaan sedikit dalam penekanan dan kedalaman. Kata “pempo” lebih menekankan tindakan mengutus dan mengekpresikan hubungan antara pengutusan dengan yang diutus. Kata “apostello” selain mengandung gagasan tentang pengutusan yang berwibawa dengan satu misi, istilah ini juga mencakup maksud yang pasti dalam pengutusan tersebut (Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 302-303). [19] Peter, George W., A Biblical Theology of Missions, hal. 303. [20] Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 219. [21] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 484. [22] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 167. [23] Enns, Paul., 2000. Approaching God. Jilid 2 Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 124. PENGANTAR KEPADA TEOLOGI SALIB
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url