PENGERTIAN DAN TITIK AWAL AJARAN TENTANG KEDAULATAN ALLAH
Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE., M.Th
“Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan, yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusan-Ku dari negeri yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya” (Yesaya 46:9-11)
PENDAHULUAN
Nas dalam Yesaya 46:9-11 di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, adalah Allah yang berkuasa dan mengendalikan sejarah. Ia akan menggenapi apa yang Ia nubuatkan (katakan) dan melaksanakan apa yang Ia rencanakan (tetapkan). Apa yang dilakukannya adalah berdasarkan keputusan dan kehendakNya. Karena Ia Allah maka semua pasti akan terlaksana, dan disini Ia mengajak Israel untuk percaya mutlak kepadaNya.[1] Jadi ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah itu berdaulat!
Ajaran tentang kedaulatan Allah (sovereighnty of God) adalah suatu ajaran Kristen yang penting. Tetapi sangat disayangkan, mendengar kata “kedaulatan Allah” ini beberapa orang langsung bersikap dogmatis, saat berpikir dan menghubungkannya dengan teologi Calvinis-Reformed. Ini adalah pikiran yang keliru! Mengapa? Karena kedaulatan Allah adalah ajaran Alkitab. Charles C. Ryrie, seorang pakar teologi Dispensasional, menyebutkan kedaulatan Allah sebagai salah satu dari karakteristik kesempurnaan Allah.[2] Memang harus diakui bahwa teologi Calvinis-Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah.[3] Karena dalam teologi Calvinis-Reformed kedaulatan Allah dianggap sebagai prinsip dasar dan inti teologinya, atau sebagaimana yang Arthur Pink amati, bahwa doktrin kedaulatan Allah merupakan “fondasi teologi Kristen... pusat gravitasi dalam sistem kebenaran Kristen; matahari yang menjadi pusat tata surya”.[4] Tetapi, sekali lagi, kita tidak boleh mengabaikan apalagi membuang begitu saja ajaran kedaulatan Allah ini hanya karena teologi Calvinis-Reformed telah menggunakannya sebagai terminologi khusus (istilah teknis) dalam sistem teologinya, karena ajaran tentang kedaulatan Allah ini memang diajarkan dalam Alkitab. Paul Enns mengatakan, “Pengakuan Wesminster yang historis menerangkan kedaulatan Allah: ‘Keputusan (kedaulatan atau rencana) Allah adalah tujuan kekalNya, menurut dorongan kemauanNya sendiri, dan dengan itu, demi kemuliaanNya sendiri, Ia menentukan sebelumnya apa yang terjadi’. Pernyataan seperti itu mencengangkan, bukan? Itulah pernyataan yang akurat, seluruhnya berdasarkan Kitab Suci”.[5] Tetapi beberapa orang mendapat kesulitan dengan gagasan ini. Charles C. Ryrie mengatakan “Kedaulatan Allah sepertinya bertentangan dengan kebebasan atau tanggung jawab manusia. Tetapi meskipun hal itu mungkin tampaknya memang demikian, kesempurnaan kedaulatan adalah jelas diajarkan dalam Kitab Suci, maka itu tidak boleh disangkal karena ketidaksanggupan kita untuk mempertemukannya dengan kekebasan atau tanggung jawab”.[6] Jadi disini, baik Paul Enns maupun Charles C. Ryrie, yang jelas-jelas bukan teolog Calvinis-Reformed, sama-sama menekankan bahwa ajaran tentang kedaulatan Allah ini penting karena diajarkan dalam Alkitab.
ARTI DAN DEFINISI KEDAULATAN ALLAH
W.J.S Poerwadarminta menyebutkan berdaulat sebagai “mempunyai kekuasaan yang tertinggi atau hak dipertuan”, dan kedaulatan sebagai “kekuasaan yang tertinggi atau hak dipertuan atas suatu pemerintahan”. [7] Webster’s mengartikan kata berdaulat (sovereign) sebagai “yang berkuasa; pemerintahan/kedaulatan tertinggi”.[8] Kata berdaulat ini berasal dari kata Latin “superanus” yang berarti “diatas, melebihi atau melampaui”. Henk Ten Napel mengartikan sovereighnty sebagai “kuasa tertinggi; kedaulatan”.[9] James M. Boice menjelaskan kedaulatan Allah sebagai berikut, “Ia memiliki otoritas yang mutlak dan memerintah atas ciptaanNya”. [10]
Louis Berkhof saat membahas atribut-atribut kedaulatan Allah menyatakan, “kedaulatan Allah sangat ditekankan di dalam Alkitab. Allah adalah Pencipta, dan kehendakNya adalah sebab dari segala sesuatu. Dalam hubungan dengan karya penciptaanNya maka langit dan bumi dan segala sesuatu adalah miliknya. Ia berjubahkan otoritas mutlak atas malaikat-malaikat di surga dan manusia di bumi. Ia memegang segala sesuatu dalam kuasaNya, dan menentukan akhir dari segalanya sebagaimana mereka telah ditentukan untuk demikian. Ia memerintah sebagai Raja dalam arti yang sebenar-benarnya, dan segala sesuatu bergantung padaNya, dan segalanya harus melayani Dia”. [11] Selanjutnya Berkhof menyatakan, “Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah dalam arti bahwa Ia telah dengan penuh kedaulatan sejak dari kekekalan menetapkan apa saja yang akan terjadi dan melakukan karya kedaulatanNya dalam kehendakNya atas semua ciptaan, baik yang alamiah maupun yang rohaniah, sesuai dengan rencana yang telah Ia tetapkan sejak semula. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Paulus ketika ia berkata bahwa Allah ‘di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya’” (Ef 1:11). [12]
Charles C. Ryrie mengartikan kedaulatan sebagai berikut: “Kata ini berarti keutamaan, kepala, yang tertinggi. Kedaulatan mula-mula berbicara tentang kedudukan (Allah adalah Pribadi yang utama di alam semesta), kemudian tentang kuasa (Allah adalah yang tertinggi kekuasaanNya di alam semesta”.[13] Selanjutnya Ryrie manambahkan, “Seseorang yang berdaulat dapat menjadi seorang diktator (Allah tidak), atau seorang yang berdaulat dapat melepaskan tanggung jawab penggunaan kuasaNya (Allah tidak). Akhirnya Allah sepenuhnya menguasai segala sesuatu, walaupun Ia mungkin memilih untuk membiarkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditentukanNya”. [14]
Tony Evans menuliskan, “Kedaulatan Allah berkaitan dengan peraturanNya dan pengawasanNya yang mutlak atas segala ciptaanNya. Allah menguasai secara mutlak kejadian dan peristiwa manusia. Sebagai Allah Dia duduk di atas tahta semesta alam. Segala sesuatu yang terjadi, terlaksana entah karena secara langsung disebabkanNya atau dengan sadar diizinkanNya. Tiada satupun yang masuk dalam atau ada di luar sejarah yang tidak ada dalam pengawasan Allah yang sempurna”.[15]
Sementara itu ahli lainnya, mengartikan kedaulatan Allah sebagai berikut: “kedaulatan Allah berarti bahwa Allah Pencipta dan Pemelihara, Sumber, Mahakuasa atau berkuasa mutlak, bebas dan tidak bergantung pada siapa dan apapun, Transenden dan Imanen, menyatakan diriNya dan kehendakNya, menyatakan diriNya dalam tiga Pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. [16]
Ringkasnya, kedaulatan Allah berarti “ bahwa Ia adalah Pribadi yang utama di alam semesta dan yang tertinggi kekuasaanNya di alam semesta. Ia mencipta, memelihara, dan memerintah segala sesuatu secara sempurna. Ia sepenuhnya menguasai segala sesuatu, dan semua mahluk ciptaan berada dibawahNya, dan ia berbuat segala sesuatu kepada mereka sesuai dengan yang dikehendakiNya. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah itu sewenang-wenang, karena segala sesuatu yang dilaksanakanNya sesuai dengan rencanaNya dalam kekekalan menurut kehendakNya. Dengan demikian Allah bebas dan tidak dibatasi oleh apapun selain oleh kehendakNya sendiri, untuk merencanakan dan bertindak sesuai sesuai dengan yang dikehendakiNya.”.[17]
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MENDASAR SEBAGAI TITIK AWAL DARI AJARAN TENTANG KEDAULATAN ALLAH
Sebelum lebih jauh membahas perspektif Alkitab tentang kedaulatan Allah, kiranya perlu memperhatikan pemikiran-pemikiran mendasar sebagai berikut: Pertama, kedaulatan Allah berarti bahwa Allah adalah Pribadi yang utama dan yang tertinggi kekuasaanNya di alam semesta. Ia mencipta, memelihara, dan memerintah segala sesuatu secara sempurna. Ia sepenuhnya menguasai segala sesuatu, dan semua mahluk ciptaan berada dibawah kendaliNya, dan ia berbuat segala sesuatu kepada mereka sesuai dengan yang dikehendakiNya.
Kedua, satu-satunya sumber informasi yang benar tentang kedaulatan Allah adalah Allah sendiri. Karena Allah adalah satu-satunya Pribadi yang benar secara absolut dan dapat dipercaya. Ia telah mewahyukan (menyatakan) diriNya dan penyataan itu secara akurat dinyatakan dalam ke enam puluh enam kitab dari Kitab Suci (Alkitab). Dengan demikian, maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia akan Allah, dan Alkitab harus dipandang sebagai kebenaran yang mutlak (absolut). Alkitab memberikan pandangan tentang kedaulatan Allah. Walau pun tidak memberikan deskripsinya secara lengkap, tetapi fakta-fakta (pernyataan) yang ada di Alkitab sudah cukup bagi kita untuk mengerti bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat.
Ketiga, ajaran tentang kedaulatan Allah bukanlah ajaran dan rekayasa manusia, bukan juga hak eksklusif pandangan teologi tertentu, melainkan ajaran yang dinyatakan (diwahyukan) Allah di dalam Alkitab. Ada begitu banyak ayat Alkitab yang mangacu pada kedaulatan Tuhan, berikut ini beberapa diantaranya: Kejadian 14:19; 17:1; Kejadian 45:5-8; Keluaran 18:11; Ulangan 10:14,17; 1 Tawarikh 29:11,12; 2 Tawarikh 20:6; Nehemia 9:6; Mazmur 22:28; 47:2-8; 50:10-12; 95:3-5; 115:3; 135:5-6; 145:11-13; Amsal 16:33; 19:21; Yesaya 46:9-11; Yeremia 27:5; 29:11; Daniel 4:35; Matius 10:29-31; Lukas 1:51-53; Kisah Para Rasul 1:16-20; 17:24-26; Efesus 1:4-5; Wahyu 19:6.
Keempat, mustahil dapat secara sempurna memahami Allah yang tidak terbatas dengan pemikiran manusia yang terbatas. Allah adalah Pencipta dan kita adalah mahluk ciptaan, dan manusia hanya dapat mengenal Allah sejauh Ia memperkenalkan diriNya dan kehendakNya melalui firmanNya. Harus disadari bahwa ada hal-hal yang tidak akan pernah kita pahami sepenuhnya (secara tuntas) tentang Allah dan itu akan tetap menjadi misteri, karena melampuai kemampuan kita untuk memahaminya. Dalam hal ini kita harus berani untuk secara jujur mengakui keterbatasan kita tersebut. Kita perlu menyadari bahwa keterbatasan sistem teologi sama dengan keterbatasan dari pernyataan Kitab Suci. (Bandingkan Ulangan 29:29). Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan dengan cara (memaksa) menafsirkan bagian-bagian tertentu dari Alkitab apabila hal itu tidak didukung oleh pernyataan Alkitab. Tidaklah bijaksana memasukan atau memaksakan pendapat dengan bukti Alkitabiah yang tidak dapat dijamin kebenarannya.
Kelima, bahwa di dalam membicarakan tentang kedaulatan Allah, kita perlu menghindari dua pandangan ekstrim, yaitu: Hiper-Calvinisme dan Arminianisme. Kedua pandangan teologi ini tidak pernah mencapai titik temu, karena keduanya berada pada garis yang berlawanan. Pandangan Hiper-Calvinis berpegang pada takdir atau disebut juga determinisme, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa setiap kejadian sudah ditentukan, dan manusia hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa. Menurut pandangan ini, manusia hanyalah “wayang” yang melakoni apa saja yang dikehendaki oleh “sang dalang”. Orang-orang yang begitu saja menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai nasib (takdir) yang ditentukan, bersikap pasrah pada nasib dan tak ingin merubahnya, disebut fatalistik. Sebaliknya, pandangan Arminian lebih menekankan pada kehendak bebas (free will) manusia. Kehendak bebas adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk membuat pilihan secara sukarela, bebas, dari segala kendala ataupun tekanan yang ada. Berbagai pilihan hanya melibatkan keputusan dan kehendak manusia tanpa melibatkan Tuhan. Pilihan diartikan sebagai penentuan atau pengambilan sesuatu berdasarkan keputusan atau kehendak sendiri. Disini, Allah hanya sebagai Pribadi yang merestui dan melegitimasi apa yang menjadi keputusan dan pilihan manusia. Jadi, sementara Hiper-Calvinisme menekankan kedaulatan Allah dan mengabaikan tanggung jawab manusia, sebaliknya Arminianisme justru menekankan tanggung jawab manusia dan mengabaikan kedaulatan Allah.[18]
REFERENSI
Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology, terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta.
Berkhof, Louis., 2011. Teologi sistematika. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Boice, James M., 2011. Dasar-Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Conner, Kevin J., 2004. The Fondation of Christian Doctrine. Terjemahan, Pernerbit Gandum Mas: Malang.
Cornish, Rick., 2007. Five Minute Theologian. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Douglas, J.D., ed, 1996. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I dan II. Terj, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, 2 jilid. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
_________., 2000. Approaching God, 2 jilid. Terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Evans, Tony., 1999. Teologi Allah: Allah Kita Maha Agung. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. Jilid 1 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary of Theology. jilid 1, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House: Grand Rapids, Michigan.
____________., 2009. Christian Beliefs. Terjemahan, Penerbit Metanonia Publising: Jakarta.
Morris, Leon., 2006. Teologi Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Napel, Henk Ten., 2006. Kamus Teologi Inggris-Indonesia. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta
Palmer. Edwin., 2005. Lima pokok Calvinisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. The Wycliffe Bible Commentary, volume 2, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Poerwadarminta, W.J.S, Penyusun., 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. 2 Jilid, Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Susilowati, Daru & Lyndon Saputra, Penyusun., 2008. Webster’s Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. Diterbitkan Karisma Publising Group: Tangerang.
Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Williamson, G.I., 2012. Westminster Confession of Faith. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
[1] Lihat, Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. The Wycliffe Bible Commentary, volume 2, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 523.
[2] Ryrie, Charles. C., 1992. Teologi Dasar, Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Yayasan Andi: Yogyakarta, hal 45-57.
[3] Berkhof, Louis., 2011. Teologi Sistematika. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 179.
[4] Boice, James M., 2011. Dasar-Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 122.
[5] Enns, Paul, 2002., Approacing God, Jilid 1, terjemahan, Interaksara: Batam, hal 82.
[6] Off.cit, hal 57.
[7] Poerwadarminta, W.J.S, Penyusun., 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, hal 269-270.
[8] Susilowati, Daru & Lyndon Saputra, Penyusun., 2008. Webster’s Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. Diterbitkan, Karisma Publising Group: Tangerang, hal 285.
[9] Napel, Henk Ten., 2006. Kamus Teologi Inggris-Indonesia. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal 293.
[10] Boice, James M., Dasar-Dasar Iman Kristen, hal. 121.
[11] Berkhof, Louis., Systematic Theology,jilid 1, hal. 128.
[12] Ibid, hal. 179.
[13] Ryrie, Charles. C., Teologi Dasar, dilid 1, hal 57.
[14] Ibid, hal 57.
[15] Evans, Tony., 1999. Teologi Allah: Allah Kita Maha Agung. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal 105-106.
[16] Dirangkum dari berbagai sumber.
[17] Gunawan, Samuel T., Ajaran Tentang Makanan Halal dan Haram Menurut Pandangan Alkitab. Materi Khotbah Ibadah Raya GBAP Bintang Fajar Palangka Raya, tanggal 23 & 30 Maret 2014, hal 4.
[18] Bandingkan. Palmer. Edwin., 2005. Lima pokok Calvinisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 127-133.