PRINSIP-PRINSIP ABSOLUT PERNIKAHAN KRISTEN
Samuel T. Gunawan, S.Th., S.E., M.Th.
PRINSIP-PRINSIP ABSOLUT PERNIKAHAN KRISTEN . “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:4-6)
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap” (2 Korintus 6:14)
Telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Pernikahan itu merupakan ide Tuhan untuk mempersatukan seorang pria dan wanita.
Perhatikan frase “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”.
Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelas bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga pernikahan dan memberkatinya (Kejadian 1:28).
Karena itu pernikahan adalah hal mulia yang dikaruniakan Tuhan sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa (Kejadian 1:28). Karena itu, pernikahan harus ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Walaupun dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semua itu berada dalam atau sesuai dengan ketetapan Tuhan yang permisif atau mengizinkan. Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip ideal (absolut) dalam memilih pasangan hidup untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia.
Siapapun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip-prinsip firman Tuhan, maka pastilah keluarganya akan berbahagia. Kebahagiaan pernikahan tidak bergantung kepada “teologi takdir” ataupun “teologi kebebasan” dalam memilih jodoh, tetapi pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip yang ditentukan Tuhan sebagaimana yang tertulis di dalam Alkitab.
Prinsip-prinsip absolut yang dimaksud bagi pernikahan Kristen adalah seperti berikut : (1) Pernikahan bersifat monogami antara pria dan wanita; (2) Keduanya haruslah orang yang beriman kepada Yesus Kristus; (3) Keduanya bertekad mengikat perjanjian seumur hidup di hadapan Tuhan; (4) Keduanya bertekad memelihara kekudusan dan kesetiaan seumur hidup; (5) Suami mengasihi istri dan istri tunduk kepada suami; (6) Keduanya bertekad untuk mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran dan nasihat Tuhan; (7) Semua persoalan diselesaikan berdasarkan kebenaran firman Tuhan.
PRINSIP 1 # PERNIKAHAN HARUS BERSIFAT MONOGAMI ANTARA PRIA DAN WANITA
Pernikahan, khususnya pernikahan Kristen itu bersifat monogami. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakanNya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”.
Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24.
Jadi, pernikahan alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu, pernikahan dengan sesama jenis (homoseksual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan.
Karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita. Rasul Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai istrinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). Monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama.
Monogami adalah rancangan Tuhan “sejak semula”, yaitu ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian bukanlah ideal (rancangan) Allah.
Poligami adalah konsensi bukan konstitusi; diizinkan bukan diperintahkan. Hal ini terjadi karena ketegaran atau kekerasan hati manusia, tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).
PRINSIP 2 # PERNIKAHAN HARUS ANTARA YANG SEIMAN
Seseorang yang menaruh imannya dalam Kristus sudah dilahirkan kembali (Yohanes 3:3-16), sehingga “siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Korintus 5: 17). Perubahan yang demikian mendasar dalam kehidupan rohani kita seharusnya berdampak sangat kuat terhadap prioritas, tujuan, gaya hidup dan hubungan antar pribadi kita, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.
Rasul Paulus menasehati, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” (2 Korintus 6: 14-15).
“Jangan kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang” adalah frase Yunani yang secara harafiah diterjemahkan “Jangan kamu menjadi pasangan yang memakai kuk yang berbeda (mê ginesthe heterozugountes apistois)”. Kata Yunani “heterozugountes” yang dipakai rasul Paulus disini berasal dari kata “heterozugeô”. Dalam Perjanjian Lama bahasa Yunani (Septuaginta) kata ini digunakan untuk melarang pengawinan ternak dengan jenis ternak yang berbeda (Imamat 19:19).
Ketika Rasul Paulus menuliskan kata-kata tersebut di atas, ia memang tidak secara khusus berbicara tentang pernikahan, tetapi prinsip yang terkandung di dalamnya tepat dan dapat diterapkan dalam hal pernikahan. Paulus menggambarkan dalam suatu analogi agar orang percaya jangan mengenakan kuk bersama orang yang tidak percaya.
Kuk adalah potongan kayu yang panjang dan berat, yang dipasang tepat di bagian belakang leher dua ekor lembu (atau dua keledai) dengan tujuan menyatukan keduanya untuk membajak ladang, menarik gerobak, dan lain sebagainya. Kuk tidak boleh putus, dan begitu di kunci di tempatnya, kedua lembu itu pasti terhubung satu dengan yang lain. Kemanapun yang satu pergi, yang lain pasti mengikuti. Dengan kata lain, setiap langkah atau gerakan yang dilakukan oleh seekor lembu juga diikuti oleh lembu lainnya.
Jadi kuk sebenarnya membuat kedua lembu itu menjadi satu, yang membuat keduanya kehilangan otonomi dan kebebasan diri begitu kuk dipasang. Analogi rasul Paulus tersebut jelas mengingatkan orang percaya untuk tidak mengenakan kuk bersama orang yang tidak mengikut Tuhan.
Sama mustahilnya bagi kedua lembu yang dipasang kuk bersama untuk pergi kedua arah yang berbeda, maka mustahil bagi orang Kristen dan bukan orang Kristen, yang menuju dua arah yang berbeda, untuk dipasangi kuk dalam pernikahan dan tidak menjadi sangat menderita. Dengan kata lain adalah kekeliruan jika seorang Kristen menikah dengan orang yang tidak beriman dan mengharapkan kehidupan rumah tangganya bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan.
Meskipun rasul Paulus dan rasul Petrus pernah membicarakan kemungkinan memenangkan pasangan yang tidak seiman sehingga percaya pada Tuhan, lebih baik menganggap hal tersebut sebagai kekecualian dan bukan modus (1 Korintus 7:12-16; 1 Petrus 3:1-2). Tidaklah bijaksana memutuskan menikah dengan seseorang yang tidak seiman, karena hal ini akan lebih rumit dan membawa banyak masalah.
R.C. Sproul dalamnya buku Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen mengatakan, “Pernikahan merupakan ketetapan penciptaan. Seseorang tidak perlu menjadi orang Kristen untuk menerima anugerah umum dari lembaga ini. Pada waktu semua laki-laki dan perempuan boleh menikah, orang Krisen dipanggil untuk menikah hanya ‘di dalam Tuhan’. Firman Tuhan jelas melarang orang Kristen menikah dengan yang bukan Kristen”.
Hal yang sama ditekankan oleh Herman Ridderbos dalam bukunya Paulus: Pemikiran Utama Teologinya, ia mengatakan demikian, “Aplikasi spesifik dari motif umum pengudusan di dalam pernikahan dinyatakan di tempat lain. 1 Korintus 7:39 misalnya, menuntut orang percaya untuk tidak menikah selain di dalam Tuhan, yaitu dengan orang percaya”.
Seorang Kristen yang menikah dengan orang yang bukan Kristen, mungkin akan menghadapi masalah rohani seumur hidup dan pergumulan bagi kesejahteraan rohani anak-anak mereka.
Karena itu, orang yang akan dipilih sebagai pasangan hidup haruslah: (1) Percaya dan menyembah Kristus serta memiliki komitmen pada iman tersebut (Baca: 2 Korintus 6:14-18; Efesus 4:17; 5:20; Filipi 3:7-16; 1 Yohanes 2: 15-17); (2) Memiliki keyakinan yang benar. Jangan menikah dengan seorang penganut bidat atau ajaran sesat! Anda tidak harus sepaham dalam hal-hal yang tidak pokok (esensi), tetapi pastikan bahwa Anda memegang doktrin yang alkitabiah (1 Yohanes 4: 1-6); (3) Komitmen untuk bergereja. Allah tidak memaksudkan hidup Kekristenan sebagai cara untuk hidup menyendiri. Dia merancang gereja untuk memenuhi kebutuhan dan sebagai wadah kita melayani sesama. Anda harus setuju dalam hal yang satu ini dengan calon pasangan Anda (Efesus 4: 1-16; Ibrani 10:24-25).
PRINSIP 3 # BERTEKAD MENGIKAT PERJANJIAN DIHADAPAN TUHAN
Sebuah perjanjian menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sangat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. Kata Ibrani yang digunakan untuk “perjanjian” adalah “berith”, sedangkan kata Yunaninya adalah “diathêkê” dan “suntithêmai”.
Kata Ibrani “berith” berarti “sebuah kesatuan yang dibuat dengan membelah potongan-potongan daging”, yang menujukkan pada pemikiran tentang keputusan sebuah perjanjian (bandingkan Kejadian 15:17; Yeremia 34:18).
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan “berith” adalah “sebuah perjanjian, persetujuan, ikrar, dan sebuah penyatuan”. Contoh penggunaan kata ini adalah Keluaran 23:32 yang diterjemahkan dengan “perjanjian”; Yosua 9:6; Hosea 10:4 yang diterjemahkah dengan “ikat janji”. Contoh penggunaan kata ini yang berhubungan dengan pernikahan adalah Amsal 2:17 dan Maleakhi 2:14 yang diterjemahkan “Ikrar atau perjanjian”.
Kata Yunani “diathêkê” berarti “keinginan terakhir dan perjanjian” yang menujuk pada pernyataan kehendak terakhir dan perjanjian seseorang. Namun “diathêkê” juga berarti “suatu pengaturan yang dibuat oleh satu pihak dengan kuasa penuh di mana pihak lain dapat menerima atau menolaknya, tetapi tidak dapat mengubahnya. Contoh penggunaan kata ini terdapat dalam Matius 26:28; Efesus 2:12; Ibrani 7:22; dan lainnya yang diterjemahkan dengan “perjanjian”.
Sedangkan kata Yunani “suntithêmai” berarti “meletakkan bersama-sama, menempatkan bersama-sama, dan mengatur”. Kata ini mengacu pada suatu pengaturan antara manusia. Tetapi kata ini tidak pernah digunakan untuk mengacu pada perjanjian yang dibuat oleh Allah dengan manusia. Di dalam Alkitab disebutkan perjanjian dengan manusia dengan sesamanya dalam berbagai hal, misalnya Lukas 22:5. Tetapi kata “suntithêmai” ini tidak digunakan untuk ikat janji pernikahan.
Jadi, istilah Ibrani “berith” dan istilah Yunani “diathêkê” yang diterjemahkan sebagai “perjanjian” seperti tersebut di atas inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan.
Kata “perjanjian” ini di dalam bahasa Inggris adalah “covenant” menunjuk kepada sikap saling pengertian di antara dua pihak atau lebih, masing-masing pihak mengikat dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan. Dengan kata lain “perjanjian” tersebut adalah semacam suatu kontrak hukum, suatu ikatan persetujuan, atau suatu persetujuan tertulis.
Di dalam Alkitab, jelas bahwa pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian berdasarkan suatu janji-janji yang timbal balik. Perjanjian pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14).
Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).
Jadi, pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”.
Kuatnya ikat jajni pernikahan ditegaskan oleh Kristus ketika Ia menyatakan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19).
PRINSIP 4 # BERTEKAD MEMELIHARA KEKUDUSAN DAN KESETIAAN SEUMUR HIDUP
Menurut Alkitab, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan dengan jelas dan tegas dinyatakan oleh Kristus ketika Ia mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Jadi Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11).
Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).
Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4).
Pernikahan bukanlah hal yang boleh diremehkan! Pernikahan juga tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi. Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya”. (Kejadian 2:24).
Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri sehingga “yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Ketidaksetiaan dilarang dalam hubungan pernikahan. Kesetiaan pernikahann harus dihargai oleh kedua belah pihak. Tuhan melalui nabi Maleakhi mengingatkan, “Dan kamu bertanya: ‘Oleh karena apa?’ Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu.
Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya” (Maleakhi 2:14-15). Pasangan suami istri yang telah mengikat janji pernikahan disebut sebagai orang yang telah dimeteraikan.
Tidak heran jika wanita dalam syair kitab Kidung Agung mengajukan satu permintaan tertinggi kepada kekasihnya demikian, “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” (Kidung Agung 8:6). Karena itu salah satu prinsip terpenting dalam pernikahan Kristen adalah komitmen pasangan suami istri untuk memelihara kekudusan dan kesetiaan mutlak satu dengan lainnya.
PRINSIP 5 # SUAMI MENGASIHI ISTRI DAN ISTRI TUNDUK KEPADA SUAMI
Sebelum upacara pernikahan, seorang pria dan seorang wanita berada di bawah otoritas orang tua atau walinya masing-masing. Setelah upacara pernikahan, seorang pria sebagai suami diperintahkan untuk memiliki otoritas yang lain atas seorang wanita, yaitu istrinya sendiri. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3).
Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari suami adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya.
Selanjutnya, rasul Paulus dalam Efesus 5:22-25 menjelaskan bentuk relasi suami dan istri, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya” .
Mengapa Paulus memberi perintah “istri tunduk kepada suami” dan “suami mengasihi istri”. Bahkan hal ini diulangi lagi dalam Kolose 3:18-19, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”
Perlu diketahui, suami yang dihormati oleh istrinya akan merasa hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, jika suami kurang dihormati oleh istrinya, maka ia merasa hidup kurang berarti.
Namun perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh berlaku sewenang-wenang dan berbuat sembarangan terhadap istrinya, melainkan disinilah keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala.
Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Karena sikap tunduk dari istri inilah yang dibutuhkan pria (Efesus 5:33).
Istri lebih mementingkan cinta, itu sebabnya diperintahkan agar “suami mengasihi istri”. Cinta adalah segala-galanya bagi istri, melebihi apapun; tetapi bukan berarti ia tidak memerlukan penghargaan. Seorang wanita merasa dihargai, apabila suaminya mencintainya. Dapat dikatakan bahwa cinta merupakan seluruh hidup dari istri, tetapi hanya sebagian dari hidup pria.
Tetapi ini bukan berarti pria tidak memerlukan cinta, atau bukan berarti cinta seorang pria (suami) boleh dibagi kepada beberapa orang, tetapi justru seutuhnya dari yang sebagian ini hanya boleh diberikan kepada istrinya. Jadi kita melihat, bahwa yang dibutuhkan pria adalah dihormati, sedang bagi wanita yang dibutuhkannya adalah perhatian dan kasih sayang.
Kebutuhan-kebutuhan ini bisa diberikan oleh pasangan masing-masing di dalam pernikahan. Sebab itu suami dan istri masing-masing perlu mengoreksi diri dengan bertanya pada diri sendiri. Istri perlu bertanya “apakah aku telah menghormati suamiku dalam segala hal?” dan suami perlu bertanya “apakah aku telah mengasihi dan menyayangi istriku dengan sepenuhnya?“
Karena seorang pria lebih mementingkan otoritas atau wibawa, sedang seorang wanita lebih mementingkan cinta, maka hal itu tidak hanya menjadi kelebihan dan ciri khas masing-masing, tetapi juga menjadi kelemahannya. Suami yang tidak dihormati oleh istrinya ada kemungkinan besar untuk “menyalahgunaan otoritas” atau bahkan “membagi” cintanya pada wanita yang lain.
Sedangkan istri yang tidak dicintai suaminya ada kemungkinan akan berusaha mengambil “kendali”. Atau, jika ia tidak mendapatkan cinta dari suaminya, maka ia berusaha mendapatkan perhatian dari pria lain. Disinilah bahayanya jika suami dan istri tidak memahami dan tidak mengerti prinsip Alkitab mengenai “tunduk dan mengasihi” ini!
Suami dan istri juga memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab suami terhadap istri yang berhubungan dengan mengasihinya ialah: memberi perhatian dan menyayangi istrinya; memelihara dan melindungi istrinya; menerima dan menghargai istrinya; peduli dan penuh pengertian pada istrinya; memimpin istrinya dan berkorban baginya.
Sedangkan tanggung jawab istri terhadap suami yang berhubungan dengan sikap tunduk kepadanya ialah: mendukung dan menolong suaminya; menerima dan mengagumi suaminya; mempercayai dan menaati suaminya; menghormati dan lebih menghormati suaminya.
Tanggung jawab di atas dapat dikembangkan lagi oleh suami dan istri dengan cara: menjadi teman dan sahabat; saling melayani dan merawat; dan mengatur seisi rumah bersama-sama; rendah hati dan murah hati; memperhatikan pertumbuhan pribadi lebih dari hal lahiriah; dan lain sebagainya (bandingkan 1 Korintus 13:1-8; 1 Petrus 3:1-7).
PRINSIP 6 # BERTEKAD UNTUK MENDIDIK ANAK-ANAK SESUAI AJARAN DAN NASIHAT TUHAN
Secara khusus dengan hadirnya anak sebagai karunia dari Tuhan, relasi suami istri dalam pernikahan akan bertambah. Kehadiran anak akan membentuk relasi orangtua dengan anak. Suami dan istri yang telah mempunyai anak, kini menjadi orangtua. Relasi ini disertai suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab orangtua terhadap anak dan tanggung jawab anak-anak terhadap orangtua.
Rasul Paulus mengingatkan, “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:1-4; Bandingkan Ulangan 6:5-9). Hal yang sama disampaikan rasul Paulus dalam Kolose 3:20-21, “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”.
Dahulu di beberapa budaya cara orangtua mendidik anak berbeda-beda. Menurut Mary Setiawan dalam buku Menerobos dunia Anak bahwa di Sparta demi rasa kepatriotan bangsa, orangtua mendidik anak dengan cara menyiksa. Anak yang sehat dipilih untuk dilatih khusus sedangkan yang lemah di bunuh.
Di Papua Nugini memiliki suatu adat tradisi yang buruk, yaitu tidak suka mendidik anak. Anak-anak harus dikubur bersama dengan orangtuanya yang meninggal. Di India Utara, jika orangtua sakit kronis dan tidak dapat disembuhkan, mereka mandi dengan darah anaknya untuk memperoleh kesembuhan. Tetapi tidak demikian halnya bagi orangtua Kristen. Tanggung jawab mendidik anak didasarkan pada hikmat Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab.
Di dalam Alkitab ditegaskan bahwa orangtua bertanggung dalam hal mendidik anak-anak mereka. Di dalam Perjanjian Lama, orangtua harus mendidik anak-anaknya dengan tekun (Ulangan 6:6-7). Mendidik anak untuk mengenal perintah Tuhan (Mazmur 78:5-6) dan mendidiknya di jalan yang benar (Amsal 22:6).
Mendidik anak-anak merupakan keharusan karena anak merupakan warisan Allah kepada orangtua (Mazmur 127:3), bahkan bila perlu mendidik disertai dengan disiplin (Amsal 22:15; 19:18; 23:13-14; 29:15,19). Di dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwa bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama sangat mementingkan pendidikan terhadap anak karena itu merupakan perintah Tuhan. Menurut penulis-penulis Yahudi yang hidup se zaman dengan Yesus, orangtua Yahudi mendidik anak-anak mereka dalam hukum Taurat.
Flavious Josephus, seorang ahli sejarah Yahudi abad pertama mengatakan “di atas semuanya kami membanggakan diri kami sendiri dalam bidang pendidikan kepada anak-anak kami dan memandang pengamalan hukum Taurat dan praktik kesalehan yang dibangun darinya, yang kami warisi, sebagai tugas penting dalam kehidupan”. Selanjutnya Yosephus juga mengatakan “(Hukum Taurat) memerintahkan agar (anak-anak) diajar membaca supaya dapat belajar hukum Taurat maupun perbuatan nenek moyang mereka”.
Serupa dengan Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru juga disebutkan bahwa pendidikan anak merupakan tanggung jawab orangtua. Rasul Paulus dalam Kolose 3:21 dan Efesus 6:4b menasehati bahwa orangtua harus mendidik anak sesuai ajaran firman Tuhan. Kewajiban orangtua dalam mendidik anak termasuk di dalamnya kewajiban untuk: memelihara mereka, mencukupkan kebutuhan materi dan emosi mereka, membantu mereka untuk bertumbuh, memberi rasa aman, menyekolahkan mereka, serta menjadikan mereka manusia yang dewasa dan mandiri.
PRINSIP 7 # SEMUA PERSOALAN DISELESAIKAN BERDASARKAN KEBENARAN FIRMAN TUHAN
Keluarga bahagia bukan keluarga yang tanpa masalah tetapi keluarga yang dapat menyelesaikan masalah berdasarkan prinsip firman Tuhan. Karena itu, suami dan istri serta seluruh anggota keluarga harus berpusat pada Allah (theocentric family) dan menjadikan firman Tuhan (Alkitab) sebagai prinsip utama dalam mengatur dan menjalankan rumah tangga (bible oriented family).
Jika suami dan istri, serta semua anggota keluarga taat kepada Kristus dan menjalankan prinsip firman Tuhan, maka hasilnya Tuhan akan menganugerahkan kebahagiaan sejati (Bandingkan 2 Timotius 3:14-17).
Setiap keputusan dan tindakan yang diambil untuk menyelesaikan masalah seharusnya bukan merupakan keputusan emosional tetapi berdasarkan pertimbangan yang cukup, yaitu berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Mengapa demikian? Pikiran kita berperan penting dalam menentukan apa yang benar.
Manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan sesuatu yang baik, kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya.
Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar. Harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup.
Menghargai emosi untuk mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium. Emosi tidak memiliki muatan dan informasi di mana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini.
Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya.
Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral. Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin kita dalam jalan Allah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).
Manusia yang mencoba membangun rumah tangga tanpa mengandalkan Tuhan dan firmanNya, akan mengalami kehancuran. Karena semua yang menjadi idaman manusia dan diinginkan ada dalam rumah tangga, seperti: keharmonisan, kesetiaan, cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, anak-anak yang taat, kesehatan jasmani, berkat materi; sesungguhnya terletak dalam tangan Tuhan.
Siapa yang bersandar dan berharap kepadaNya akan dikaruniakan semuanya itu. Semua prinsip di atas adalah absolut (mutlak). Artinya, siapapun, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak firman Tuhan di atas, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan rumah tangganya. PRINSIP-PRINSIP ABSOLUT PERNIKAHAN KRISTEN