KISAH HABAKUK (HABAKUK 2:4)
Bacaan: Habakuk pasal 1-3
"Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya." (Habakuk 2:4)
Kemana orang biasanya menggantungkan hidup? Kebanyakan orang akan memilih untuk meletakkan seluruh hidupnya bertumpu pada kelimpahan finansial. Kemakmuran dengan harta banyak dipercaya bisa menjamin hidup yang berbahagia. Tanyakan kepada mereka, bukankah segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang? Dan itulah memang yang terus diajarkan oleh dunia. Ada yang hidup dengan mengandalkan jabatan, status, koneksi, menilai bahwa hidup yang berhasil adalah hidup yang melimpah harta dan memegang jabatan mentereng. Itulah yang membuat mereka merasa benar-benar 'hidup', itulah yang menjadi dasar hidup mereka. Semakin lama semakin jarang ada orang yang bisa hidup tanpa mengejar semua itu dan meletakkan pondasi kehidupan mereka kepada keyakinan atau kepercayaan mereka kepada Tuhan.
Buktinya mudah. Ada berapa banyak orang yang bisa tetap bertahan untuk percaya tanpa kehilangan pengharapan saat jawaban atas doa tidak kunjung datang? Sebagian besar akan kecewa dan menuduh Tuhan yang bukan-bukan. Kalau ternyata pil pahit yang harus diterima, maka kepahitan pun segera dirasakan. Kita hanya mau menerima yang baik tapi marah kalau harus menerima yang buruk.
Kita tidak mau melihat kebaikan apa yang akan datang nanti menurut rencana Tuhan lewat masalah yang tengah diijinkan masuk ke dalam diri kita. Itu kalau kita memang sudah benar-benar hidup sesuai kebenaran. Malah banyak orang yang marah menghujat Tuhan atas penderitaan yang tengah menimpanya, padahal jangan-jangan itu akibat dari kesalahan mereka sendiri. Dengan apa kita hidup hari ini? Apakah kita hidup oleh harta, kekuasaan, sanjungan atau oleh iman?
Hari ini kita akan membahas mengenai kisah Habakuk. Siapakah Habakuk? Alkitab sama sekali tidak mencatat secara detail siapakah Habakuk. Penulis kitab Habakuk sendiri mempoerkenalkan dirinya sebagai “nabi Habakuk” (Habakuk 1:1; 3:1), dan sama sekali tidak menceritakan latar belakang pribadi atau keluarganya. Nama “habakuk” berarti “merangkul” juga tidak muncul dalam bagian lain di Alkitab. Acuan Habakuk kepada "pemimpin biduan" (Habakuk 3:19) memberi kesan bahwa dia mungkin juga dari suku Lewi dan pemusik di Yerusalem.
Habakuk adalah seorang nabi yang hidup di jaman yang sangat berat, penuh dengan krisis moral yang sudah sangat keterlaluan. Pada saat itu Habakuk meratap melihat bangsa Yehuda tengah berada dalam bahaya. Habakuk menyadari bahwa penyebabnya adalah akibat ketidaksetiaan. (Habakuk 1:2-4). Lebih lanjut, dikatakan bahwa bangsa Yehuda tengah menghadapi ancaman serius dari orang Kasdim (bangsa Babel) yang terkenal kejam dan ganas. Orang-orang Kasdim siap untuk membantai mereka. (ayat 6-11).
Situasinya mengerikan. Dan Habakuk secara terbuka mengaku tidak mengerti mengapa Allah yang Mahakudus bisa berdiam diri melihat orang-orang fasik menghancurkan umatNya. "Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa. Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?" (ayat 12-13). Habakuk mempertanyakan dimana kiranya keadilan Tuhan yang seolah berdiam diri membiarkan saja semua bahaya yang sedang menanti momen untuk menelan bangsa Yehuda hidup-hidup.
Bukankah kita juga sering mempertanyakan hal yang sama, terutama di saat kita tengah berada dalam kondisi buruk? Habakuk secara terbuka menyatakan hal tersebut. Tidak mengerti, itu satu hal. Memang kemampuan kita terbatas untuk bisa menyelami rencana Tuhan secara utuh. Tetapi jangan biarkan hal itu berlanjut kepada ketidakpercayaan kita kepada Tuhan dan kemudian menolakNya. Habakuk ternyata cepat menyadari itu. Kita segera mendapatinya berkata: "Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya." (Habakuk 2:4).
Jiwa dari orang-orang yang menyombongkan diri tidak lurus di dalam dirinya, tetapi orang-orang yang benar tanpa kompromi akan hidup oleh iman dan kesetiaannya. Itulah yang akhirnya menjadi kesimpulan dari Habakuk. Iman yang bisa percaya penuh, iman yang tidak tergoyahkan dan tetap setia tanpa memandang apapun yang terjadi, itulah yang seharusnya menjadi dasar penggerak sebuah kehidupan. Bukan iman yang mudah diombang-ambingkan oleh berbagai hal duniawi dan bermacam pengajaran sesat. Bukan pula iman yang mudah tergoncang oleh masalah-masalah dalam hidup, apalagi yang sebenarnya tidak berat-berat amat.
Berbicara mengenai iman yang teguh dan tak tergoyahkan, kita pun bisa meneladaninya melalui iman Sadrakh, Mesakh danAbernego yang tetap teguh dan tenang saat dimasukkan ke dalam api meski mereka belum tahu apakah Tuhan mau menyelamatkan mereka atau tidak. Mari kita lihat kembali ayat yang menunjukkan hal itu dengan sangat jelas. "Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." (Daniel 3:17-18). Kalau Tuhan berkenan, tentu Dia akan melepaskan dari maut. Tetapi kalaupun tidak, kami tidak akan pernah mau menggadaikan iman kami. Itu seruan ketiga tokoh luar biasa ini. Kita tahu apa yang terjadi pada akhirnya, seperti yang sering dikatakan Yesus, iman mereka telah menyelamatkan mereka.
Demikian pula dengan iman Habakuk,meskipun ia tidak mengerti mengapa Tuhan terkesan membiarkan bencana siap menghancurkan bangsa Yehuda, tapi Habakuk tahu pasti bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan orang-orang yang meletakkan hidupnya dalam iman yang secara setia dan radikal diaplikasikan dalam hidup, iman yang teguh dan disertai rasa percaya sepenuhnya kepada keputusan atau kehendak Tuhan tanpa kompromi.
Di akhir kitab Habakuk, kita melihat bagaimana tingginya iman nabi yang satu ini. Iman Habakuk adalah iman yang tidak tergoncang oleh situasi apapun, bahkan dalam ketidak-mengertiannya akan keputusan Tuhan sekalipun. Habakuk mengakhiri doanya dengan keyakinan teguh. "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kaki-ku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku." (Habakuk 3:17-19).
Lihatlah dalam keadaan krisis, tekanan, ketakutan, ancaman yang kelihatannya mengerikan sekalipun, Habakuk memutuskan untuk bersikap positif dengan menggantungkan hidupnya pada iman yang setia dan percaya pada Tuhan. Itulah yang membuatnya bisa tetap bersukacita dan bersorak-sorak pada Tuhan. Sikap Habakuk didasarkan pada imannya yang secara penuh berserah pada keputusan Tuhan. Meski situasi yang ia hadapi mungkin akan terus menjadi lebih parah, namun imannya pada Tuhan ternyata radikal dan tidak goyah. Dia tetap bersorak-sorak dalam Allah yang menyelamatkan, dan itu semua terjadi karena Allah ia jadikan sebagai sumber kekuatannya.
Jika saat ini anda merasakan iman anda mulai goyah akibat tekanan demi tekanan yang terus memukuli diri anda, kesulitan hidup yang makin meningkat, persoalan yang belum memiliki jalan keluar, atau mungkin apabila ada yang sedang merasa sulit mengerti mengapa Tuhan seolah diam terhadap persoalan anda, mari belajar dari Habakuk. Iman seteguh iman Habakuk yang tidak goncang sama sekali dalam kondisi apapun bisa membuat anda tetap beria-ria di dalam Tuhan dalam segala kondisi.
Percayalah bahwa Tuhan mampu membuat kaki anda selincah kaki rusa untuk melompati masalah-masalah itu. Meski mungkin jawaban dari Tuhan belum anda terima, iman yang percaya tidak akan pernah putus pengharapan dan tahu bahwa apapun itu tentu merupakan yang terbaik dari Tuhan bagi kita. Percayalah sepenuhnya pada Tuhan dengan segenap hati, jalanilah hidup dengan itu. Pada suatu ketika nanti anda akan bersyukur bahwa anda tidak sampai salah mengambil langkah dan tidak harus luput dari keselamatan yang sudah Dia anugerahkan lewat Kristus. Amin.